• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #24: Mengakrabi Kemacetan

SAWALA DARI CIBIRU #24: Mengakrabi Kemacetan

Henry Manampiring penulis buku Filosofi Teras telah mengalami sendiri stres dan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya karena banyak marah-marah.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Kendaraan terjebak macet ketika diberlakukan larangan mudik di Cibiru, Bandung, 7 Mei 2021. (Foto dan Desain: Prima Mulia, Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

4 Mei 2023


BandungBergerak.id – Bila kita menyebut daerah Cibiru, maka yang terlintas dalam benak pikiran macet, semrawut, banjir cileuncang.

Salah satu kawan menunjukkan 5 liputan tentang gambar "jalur neraka" untuk wilayah Ujungberung, Bundaran Cibiru, Cileunyi.

Mulai dari berita Ujungberung-Cibiru “Jalur Neraka” (Galamedia, 30 Agustus 2010); Bunderan Cibiru Kawasan Macet, Ini Tips Supaya Terhindari Macet (Jabar News, Rabu, 13 Februari 2019); Cibiru Bandung Kian Macet, Rencana Underpass Kembali Muncul (Pikiran Rakyat, 15 Maret 2022, 10:37 WIB); Jalur Cibiru Macet Total hingga Jelang Dini Hari, Ini Penyebabnya (Portal Bandung Timur, 31 Desember 2022, 06:46 WIB); sampai Bundaran Cibiru-Cileunyi Benar-Benar Jalur "Neraka" Bagi Pengendara, Kemacetan Kian Parah (Kejakimpol News, 20 Februari 2023, 10:54 WIB).

Waktu rawan yang sering terjadi kemacetan pagi pukul 06.00-08.00 WIB, siang pukul 11.30-12.30 WIB, petang pukul 17.00-18.30 WIB. Terutama di batas kota arah timur pertigaan Cibiru Hilir, pertigaan Sindang Leret, Sadang Cinunuk, Ciguruwik, Cipadati, Pool Gunung Sembung.

Ikhtiar menghindari kemacetan polisi kerap mengalihkan jalur kemacetan Bunderan Cibiru ke arah Nasution di putar ke Graha Panyileukan; melalui jalan alternatif: Panyileukan, Manisi, jalan Cibiru Hilir.

Sambil menunggu wacana pembuatan terowongan underpass di Bunderan Cibiru, Kawasan Cileunyi Terpadu (KCT) dan Lingkar Cileunyi (LC) biar tidak mudah stres, marah-marah dan jauh dari perilaku barbar. Saatnya membudayakan kesadaran antre dalam berkendara, ikuti peraturan tertib saat berlalulintas.

Dalam buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini karya Henry Manampiring yang diterbitkan oleh Kompas (2019) dengan Kata Pengantar A. Setyo Wibowo. Om Piring, sapaan akrabnya, berusaha menyembuhkan penyakit akut zaman now: depresi, mudah stres, dan gampang marah?

Ketika memberikan kata pengantar, A. Setyo Wibowo menggambarkan Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring hadir untuk memberikan kepada Anda jalan menuju ketenangan jiwa.

Penulis buku ini telah mengalami sendiri stres dan kesulitan-kesulitan dalam hidupnya karena banyak marah-marah. Meski bukan alumnus Fakultas Ilmu Filsafat, penulis buku berhasil membuat buku menarik tentang filsafat Stoa.

Ini luar biasa. Filsafat sebagai praktik hidup ia jalani dan jalankan betul-betul. Henry Manampiring menjadikan dirinya sendiri kelinci percobaan. Ini adalah sebuah way of life yang sudah dicoba dihayati oleh Henry Manampiring sendiri. Bila Anda hendak mencoba menerapkan filsafat Stoa bagi diri Anda sendiri, percayalah, Marcus Aurelius, James Stockdale, dan penulis buku ini juga telah memetik hasil-hasil yang konkrit. (hal xii)

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #23: Filsafat ke Semua Arah
SAWALA DARI CIBIRU #20: Filsafat pada Generasi Kini
SAWALA DARI CIBIRU #21: Konsumerisme di Bulan Ramadan
SAWALA DARI CIBIRU #22: Lagi-lagi Komodifikasi Pendidikan

Mengatasi Emosi

Setiap manusia mencari kebahagiaan, hidup yang tenang. Filsafat bagi kaum Stoa bukanlah untuk sekadar mengisi waktu, menumpuk ide untuk bergaya di depan kaum awam. Filsafat adalah praktik dan latihan, askesis, sebuah seni hidup.

Epiktetos dalam Enchiridion 46 mengingatkan. “Never call yourself a philosopher, nor talk a great deal among the unlearned about theorems, but act conformabiy to them”. Jangan suka menyebut  diri Anda sendiri sebagai filsuf, jangan banyak berbicara di depan  orang awam tentang teori-teori filsafat. Tidak penting itu semua,  karena yang pokok adalah bagaimana Anda hidup sesuai apa yang Anda pelajari. (hal xii)

Di mata Stoa, bahagia itu sederhananya manakala kita terbebaskan dari emosi, segala rasa perasaan yang mengganggu. Orang Yunani menyebutnya pathos, dari kata kerja paskhein, artinya mengenai, menderita sesuatu.

Bila hasrat akan sesuatu tidak terpenuhi, misalnya hasrat akan gawai terhambat, menghasrati sesuatu yang tidak masuk akal, misalnya berhasrat tidak mati, maka kita jatuh dalam emosi negatif. Bagi kaum Stoa, emosi negatif didefinisikan sebagai hasrat yang eksesif, misalnya saat menghendaki sesuatu yang jelas-jelas tidak masuk akal, menghasrati supaya tidak tua.

Lewat latihan-latihan konkret, filsafat Stoa hendak menolong kita bebas dari hasrat eksesif. Lalu, jelas dengan sendirinya  bahwa hasrat dalam dirinya sendiri tidak dibuang. Kadang memang ada pernyataan-pernyataan Epiktetos yang seolah-olah kita harus "memotong semua hasrat"! Ungkapan ini dikenakan terutama ketika orang baru memulai latihan (askesis). Namun, pada tahap yang lebih lanjut, orang bijak tetap hidup dengan hasratnya, tetapi hasrat yang lurus dan selaras dengan logos universal.

Dalam pergaulan sehari-hari, kita tentu memiliki pengalaman yang tidak enak, manakala hidup diisi oleh rasa marah. Selalu empet sama orang tertentu, sehingga mendengar namanya saja kita sudah misuh-misuh kehilangan kendali diri. Marah muncul karena iri hati, mengapa orang lain lebih baik darinya, karena dari rasa sesal dan pahit, sebab pernah merasa dijahati, difitnah,  dikejami oleh orang yang bersangkutan.

Hidup menjadi sepet menjengkelkan kalau diisi oleh paranoia, selalu melihat ancaman dan kejahatan sedang berkonspirasi melawan diri kita. Orang menjadi paranoid karena dihantui oleh ketakutan di masa depan, oleh bayangan-bayangan fantasinya sendiri bahwa orang-orang dan takdir sedang berusaha menjatuhkannya.

Sebaliknya, jangan dikira bahwa kelekatan pada kesenangan  serba nikmat membawa bahagia. Tidak! Orang yang selalu mencari senang-senang dalam hidupnya adalah orang yang  merana, manakala terlalu banyak waktu luang. Kapan bisa happy-happy lagi? Kapan makan enak lagi? Kapan jalan-jalan lagi? Bagaimana caranya supaya bisa bahagia, terhindar dari rasa campur aduk yang memorak-porandakan batin? Bagaimana bisa tenang, terbebaskan dari rasa perasaan negatif?

Filsafat Stoa mengajarkan untuk mencermati empat jenis emosi negatif yang menjauhkan kita dari kebahagiaan ketenangan batin) yaitu: iri hati, takut, rasa sesal, pahit, dan kesenangan  (kenikmatan).

Insight tajam kaum Stoa memberi tahu kita bahwa emosi negatif bukanlah “perasaan liar”, bukan pula “hal irasional” yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya. Emosi adalah bagian dari rasio. Emosi negatif adalah opini yang mengatakan bahwa sesuatu itu buruk, sehingga muncul rasa sesal dan takut, opini yang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, sehingga ada rasa senang dan rasa mengingininya.

Bila opininya berkenaan dengan masa kini yang muncul adalah rasa senang dan rasa sesal, sedangkan bila berkaitan dengan masa depan yang keluar adalah rasa iri dan takut. Berbagai jenis rasa-merasa yang meruyak dalam hati kita, seperti rasa marah, empet, sepet, paranoid adalah jenis-jenis emosi yang bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam salah satu jenis emosi negatif tadi. Dengan mendefinisikan emosi negatif sebagai opini, sebagai aktivitas rasio, maka kaum Stoa memberi kita kunci untuk mengendalikan emosi negatif.

Walhasil, rupanya filsafat Stoa mengajarkan kita lebih personal, “Tujuan utama dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete) atau hidup bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.” (hal. 33).

Bagi para filusuf Stoa, menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti perlakuan orang lain, opini orang lain, status dan popularitas yang ditentukan orang lain, kekayaan adalah tidak rasional.

Epictetus, salah satu pelopor stoisisme zaman kuno berkata, “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.” (hal. 46)

Belajar dari Om Piring

Uniknya, ada quote dari Hans Seyle, "Bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadapnya.” Karena sebenarnya masalahnya bukan di stres itu sendiri, tetapi persepsi kita. Misalnya, “Duh jalanan macet nih!”, atau, "Utang gue banyak." Itulah yang menyebabkan badan mengeluarkan zat. Pertama, respons adrenalin meningkat. Adrenalin meningkatkan tekanan darah karena jantung menjadi makin berdebar, pembuluh darah menyempit, dan karenanya kepala kita menjadi tegang.

Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan meningkatkan hormon stres, namanya kortisol. Kortisol adalah zat yang sifatnya oksidatif, merusak apa pun di dalam tubuh kita. Jika dia menempel di pankreas, dia meningkatkan insulin. Makanya, ada orang yang kalau stres bawaannya mau makan. Badannya memanggil-manggil karena berpikir dia sedang membutuhkan energi.

Jika stresnya akut atau sementara, maka reaksi tubuh juga sementara. Tetapi jika stresnya lama, maka reaksi tubuh juga  akan lama. Makanya saya suka bilang kepada pasien, jangan  stres lama-lama, nanti adaptasinya berubah. Nanti anda tidak tahu lagi bahwa anda sedang stres, karena sudah terbiasa hidup dalam stres. (hal. 10)

Contoh sederhana bagaimana Stoisisme telah merubah karakter Om Piring, dituliskan secara apik.  

Dahulu saya bisa berubah menjadi orang yang sangat pemarah jika terjebak di dalam...kemacetan. Saya bisa sangat merasa stres, mengalami peningkatan detak jantung, dan sangat emosional di balik kemudi (bayangkan Bruce Banner mau berubah jadi Hulk, tapi minus jadi gede dan ijo aja...). Bahkan, saat saya hanya menjadi penumpang dan tidak perlu  mengemudi pun saya masih mengalami kemarahan ini. Jika berada di tengah kemacetan, saya merasa stuck, terjebak, frustrasi, dan hal ini membuat saya murka. Perilaku saya sudah sampai mengganggu keluarga. Setelah menemukan dan belajar mempraktikkan Stoisisme, saya berubah drastis. Kemacetan sudah tidak membuat saya emosional lagi, bahkan ketika menghadapi perilaku pengguna jalan lain yang terkadang ajaib dan membuat saya ingin mengelus dada ayam.

Efek dari Stoisisme di hidup saya tidak hanya terbatas di situasi jalan raya. Stoisisme membantu saya dalam menjalani hidup  sehari-hari dengan lebih tenteram dan tidak mudah terganggu oleh hal-hal negatif, kesialan, tekanan pekerjaan, sampai ke perilaku orang yang menyebalkan di sekitar. Karena saya telah merasakan manfaat mempraktikkan Stoisisme, saya ingin berbagi kepada orng lain melalui buku ini, siapa tahu Filosofi Teras ini bisa membantu orang-orang lain seperti saya. Minimal, memulai ketertarikan untuk mempelajarinya lebih dalam. (hal 25).

Ingat, kunci kebahagiaan bagi Stoa adalah manakala kita terhindarkan dari nafsu-nafsu gak jelas, kecanduan atau addicted pada sesuatu, angkara murka, kehilangan kendali, dendam kesumat, kecemasan yang obsesif, rasa kesal berlebih-lebihan yang bisa dirangkum dalam empat jenis emosi negatif: iri hati, takut, rasa sesal atau pahit, dan rasa senang-nikmat.

Sudah saatnya kita mengakrabi kemacetan ketika terjebak di jalanan daripada marah-marah tak ada gunanya dan tak menyelesaikan macet. Caranya dengan mengisi waktu sambil membaca e-book, e-paper, portal berita, termasuk membereskan pekerjaan kantor, tugas kuliah, memberikan materi kelas menulis.

Dengan demikian, belajar hidup bebas dari emosi negatif, sedih, marah, cemburu, curiga, baper guna meraih kehidupan yang tentram, damai. Ketenteraman ini hanya bisa diperoleh dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Damai dan tenteram ini kokoh karena berakar dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur, direnggut dari kita. Hayu urang ka Cibiru atuh!

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//