Memahami Wajah Oligarki Media Melalui Buku Ross Tapsell
Para pemilik media memiliki kekuasaan untuk membangun kerajaan bisnis media sekaligus mengumpulkan kekayaan dan memperkuat pengaruhnya dalam dunia politik.
Muhammad Aqshal Monda Ramadhan
Mahasiswa Prodi Digita Content Broadcasting Universitas Telkom
11 Mei 2023
BandungBergerak.id – Buku “Kuasa Media Di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital” karya Ross Tapsell menjadi pengantar yang rasanya pas untuk menyusuri kembali sejarah media di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Indonesia itu sendiri. Kuliah umum mahasiswa Program Studi Digital Content Broadcasting Universitas Telkom membedah isi buku tersebut dengan menggali pandangan Tri Joko Her Riadi, seorang jurnalis juga sekaligus Pimpinan Redaksi BandungBergerak.id, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung.
Ross Tapsell, si penulis buku tersebut merupakan seorang peneliti dari Australian National University. Ia menghabiskan 7 tahun untuk melakukan penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang isinya dibedah dalam kuliah umum yang diselenggarakan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai kuasa media di Indonesia. Kuliah umum pada Jumat (5/5/2023) dipandu Dosen Prodi Digital Content Broadcasting, Telkom University, Twin Agus Pramonojati.
Tri Joko memulai uraiannya dengan data dan fakta bahwa media di Indonesia kini telah dikuasai para pengusaha yang memiliki kepentingan tidak hanya ekonomi tapi juga politik. Gambaran situasi kekinian tersebut mendapatkan benang merahnya dengan mengikuti uraian Ross Tapsell dalam buku tersebut.
Menurut Joko, Ross Tapsell sebagai penulis membahas bahwa media memiliki perjalanan yang naik turun sepanjang sejarah Indonesia, serta mengapa pers menjadi sangat penting bagi perjalanan sejarah Indonesia. Sebagai contoh, pada awal abad 20 sebelum Indonesia merdeka, media cetak berupa koran berperan besar dalam membangun imajinasi bahwa negara Indonesia itu ada. Pada zaman tersebut, Indonesia sebagai negara berdaulat belum lahir. Dengan adanya koran dan pers yang berkembang saat itu, gagasan tentang negara Indonesia dapat tersebar luas dan menginspirasi beberapa tokoh untuk melakukan pergerakan.
Lalu Tapsell menyinggung pada saat demokrasi terpimpin, pada masa itu pers harus mengikuti peraturan negara. Selanjutnya pada masa orde baru, pers dipaksa hidup dalam kekangan seperti halnya partai politik kala itu. Pers dibatasi dalam membuat berita, terlebih lagi berita politik. Saat itu pers sengaja dikekang dan dibatasi demi kepentingan penguasa.
Meskipun tahun 1998 orde baru telah berakhir, namun tidak demikian dengan pengaruhnya. Meski banyak media baru yang lahir, tapi kekhawatiran akan lestarinya budaya yang lekat di masa orde masih membayang. Dalam penelitiannya, Tapsell menandai nama-nama tokoh dan pengusaha baru di Indonesia yang tidak disangka kelak kemudian hari akan menjadi nama besar yang berpengaruh, hingga menjadi penentu arah politik Indonesia. Di antaranya, ada beberapa nama pemilik media besar di Indonesia seperti Surya Paloh, Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie dan Jakoeb Oetama.
Surya Paloh, Chairul Tanjung, Hary Tanoesoedibjo, serta Aburizal Bakrie kala itu memanfaatkan momentum reformasi untuk melakukan investasi ke beberapa media. Sembari membangun anak usaha lainnya, mereka juga turut membangun pengaruh lewat media yang mereka miliki. Hingga belakangan beberapa di antaranya terjun ke dunia politik setelah meraih sukses di bidang ekonomi. Media yang mereka bangun, kemudian menjadi jembatan untuk meraih kesuksesan dalam dunia politik. Dan itulah oligarki, yakni ketika pebisnis dan penguasa negara saling bekerja sama untuk membangun kepentingan kelompoknya.
Baca Juga: Zine, Media Alternatif yang Paling Murah dan Gampang
Kompetisi Media Massa di Era Digital tidak Sehat
Independent Media Accelerator Memilih Lima Media untuk Membangun Inovasi Pemberitaan
Wajah Oligarki Media
Tri Joko menyebutkan beberapa dampak oligarki media. Di antaranya media menjadi makin kuat yang pada gilirannya menjadi tempat bermain kekuasaan. Para pemilik media memiliki kekuasaan untuk membangun kerajaan bisnis media sekaligus mengumpulkan kekayaan dan memperkuat pengaruhnya dalam dunia politik. Lalu dengan memanfaatkan teknologi digital, bisnis media juga bisa merambah ke dalam bisnis-bisnis lain, artinya bisnis yang awalnya befokus pada media kini juga bisa mengembangkan bisnisnya di luar media dan membentuk konglomerasi nasional. Tapsell menyorotinya sebagai kuasa media para konglomerasi
Di sisi yang lain, warga perkembangan teknologi juga bisa dimanfaatkan dalam pemberdayaan warga. Dalam bukunya, Tapsell menggunakan istilah “warga” yang bisa diartikan sebagai netizen.
Teknologi digital berdampak pada inisiatif warga biasa untuk juga menyuarakan kepentingannya. Beberapa contoh kasusnya seperti gerakan koin untuk Prita di platform Facebook, gerakan membela KPK, dan gerakan kawal pemilu untuk menjaga transparansi pada pemilu. Dengan semakin banyaknya warga yang terlibat, setiap orang bisa membagikan pendapat dan bisa berdampak pada opini publik yang terbentuk. Positifnya,warga biasa menjadi penentu atau pengubah kebijakan – semua suara dari bawah bisa digaungkan dengan memanfaatkan teknologi digital.
Selain berdampak kepada para oligarkis media dan warga, perkembangan teknologi yang serba digital memberi dampak balik pada media. Salah satunya pada media cetak yang saat ini ada beberapa yang malah gulung tikar. Penyebabnya, banyak banyak masyarakat yang lebih suka menggunakan media online. Media cetak dinilai tidak ekonomis karena memerlukan banyak tahapan dan waktu yang lebih lama sejak dari produksi hingga distribusinya ke tangan konsumen.
Namun, pergeseran media ke bentuk digital juga memiliki dampak buruk. Banyak media yang menuntut para jurnalisnya menulis berita dengan cepat dan banyak, dan hal itu berdampak kepada kualitas berita yang terkesan dibuat asal-asalan untuk mengejar cepat dan banyak. Tak jarang situasi tersebut membuat satu media dan lainnya memiliki isi pemberitaan yang serupa.
Sebagai penutup, Tri Joko juga memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan peserta kuliah umum mengenai dampak oligarki media kepada kestabilan politik dan kedaulatan negara. Menurutnya, sah-sah saja jika seorang pengusaha media terjun ke dunia politik asalkan media yang dikelolanya terus mengedepankan kepentingan masyarakat terlebih dahulu dan tidak memanfaatkan media yang dimiliki secara berlebihan untuk kepentingan politik dan kelompoknya. Ia juga berharap para peserta kuliah umum yang berasal dari kalangan mahasiswa ini bisa bijak dalam mencari informasi dengan cara menandai serta memilih media-media yang bisa dipercaya karena apa yang disampaikan oleh media memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat luas.