• Kampus
  • Kompetisi Media Massa di Era Digital tidak Sehat 

Kompetisi Media Massa di Era Digital tidak Sehat 

Jumlah media komunikasi massa yang tak terbendung, terutama media online, menyebabkan kompetisi yang terlalu ketat dan praktik tidak sehat dalam produksi informasi.

Webinar Kelompok Diskusi Dosen Stikom Bandung, Sakola Nusa, Sabtu (9/04/2022). (Sumber: Sakola Nusa)

Penulis Iman Herdiana10 April 2022


BandungBergerak.idLanskap media komunikasi massa berubah cepat seiring perubahan masyarakat di Indonesia yang diterpa kemajuan teknologi. Terutama ketika dihapusnya kewajiban surat izin untuk menerbitkan media komunikasi massa, puluhan ribu media bermunculan hingga saat ini.

Demikian paparan redaktur senior Republika biro Jawa Barat, Sandy Ferdiana dalam webinar yang digelar Kelompok Diskusi Dosen Stikom Bandung, Sakola Nusa, Sabtu (9/04/2022).

Sebagai gambaran, pada tahun 2014 Dewan Pers merilis jumlah media radio 674 media, media televisi 523 media. Pada posisi tahun 2015 jumlah media cetak tercatat 2.000 media. Sedangkan jumlah media online (siber) tercatat 43.300. Dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang terverifikasi Dewan Pers. Jumlah tersebut, terutama media online dipastikan meningkat pesat tahun ini.

Dampaknya, menurut Sandy, jumlah media komunikasi massa yang tak terbendung itu, terutama media online, menyebabkan kompetisi yang terlalu ketat dan praktik tidak sehat dalam produksi informasi.

"Model bisnis media saat ini terganggu oleh digitalisasi, sehingga belanja iklan amat kompetitif, masing-masing media kebagian sedikit-sedikit. Maka produksi informasi dibuat seefisien mungkin, yang ujungnya menjadi praktik jurnalisme copy paste," ujarnya.

Sandy yang juga pengurus PWI Jawa Barat menambahkan, jurnalisme copy paste adalah praktik media yang saling mengutip berita antarmedia jaringan, atau dari media lain, termasuk media sosial, tanpa melakukan peliputan sendiri dan memeriksa kembali isi informasi. Ini dilakukan demi meningkatkan kinerja digital medianya.

"Praktik produksi informasi seperti itu dilakukan oleh orang yang disebut content writer atau content creator yang tidak ke lapangan. Seharian di belakang komputer, namun diberi target untuk memproduksi informasi sebanyak mungkin setiap hari, dengan menyalin informasi melalui internet, untuk melayani algoritma mesin pencari," lanjutnya.

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Stikom Bandung, Nursyawal menambahkan, praktik produksi informasi yang nampak mirip dengan kegiatan jurnalistik, namun sebenarnya tanpa pedoman kaidah dan etika jurnalistik tersebut, tentu merugikan hak warga negara yang dijamin oleh Konstitusi dan Undang-undang Pers.

"Praktik produksi informasi seperti itu hanya diketahui oleh internal media, sehingga luput dari pandangan awam. Akibatnya tidak ada aduan ke Dewan Pers," tegas Nursyawal, pada acara yang sama.

Padahal, lanjut mantan Ketua AJI Bandung ini, dampak jurnalisme copy paste buruk sekali. Masyarakat menjadi tidak memiliki pengetahuan terverifikasi untuk membuat keputusan yang baik, jadi mudah dikelabui, tidak cerdas, emosional, mudah terhasut, dan seterusnya.

“Seharusnya praktek seperti itu tidak boleh disebut sebagai kegiatan jurnalistik yang dilindungi Undang-undang,” tandas Nursyawal.

Baca Juga: FISIP UI Memotret Pertarungan Wacana Seksualitas Lewat Buku
Menengok Patung Arntz dan Geise Karya Sunaryo di Unpar
Menimba Inspirasi dari Ramadhan dan Maziyah

Terpaan Teknologi

Perkembangan media massa tidak lepas dari pengaruh teknologi informasi yang berkembang saat ini. Mengutip Jurnal Dewan Pers Edisi No. 4, Januari 2011, perkembangan teknologi informasi berpengaruh kuat pada produksi informasi di ranah internet. Produksi ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di luar jurnalis, seperti blogger, pengguna media sosial seperri Facebook dan lain-lain.

Data Februari 2010, misalnya, Dewan Pers mencatat ada 1 juta blogger di Indonesia, 21 juta pengguna Facebook, dan sedikitnya 5,6 juta pengguna Twitter. Bahkan dalam jumpa pers Pesta Blogger 18 Agustus 2010 terungkap bahwa jumlah blogger tahun tersebut sudah mencapai 2,7 juta dengan tren yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

Pada kurun tersebut, Indonesia memiliki 45 juta orang yang sudah melek internet. Sebanyak 64 persen dari jumlah tersebut berusia 15-19 tahun. Media sosial tumbuh subur di Indonesia dengan komunitas Facebook yang mencapai ranking 3 di seluruh dunia dan diikuti Twitter yang mencapai ranking 5. Setidaknya 85 persen dari 200 juta nomor selular yang dicapai pada 2010 adalah pengguna internet, dan 68 persen dari angka tersebut menggunakannya untuk jejaring sosial.

Angka-angka itu tentu akan berubah lebih besar tahun ini. Sehingga memperlihatkan banjir informasi akan semakin dahsyat. Ironisnya, jika perusahaan media kemudian mengikuti tren copy paste, maka akan memperparah banjir informasi tersebut. Ujungnya, publik semakin dirugikan karena mereka akan sulit membedakan mana informasi yang terverifikasi atau tidak.

Webinar Sakola Nusa tersebut merupakan bagian dari kegiatan rutin diskusi dosen Stikom Bandung, diikuti hampir 100 orang peserta, dengan panitia pelaksana Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikom Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//