Transformasi TV Digital, Membuka Lapangan Kerja Baru atau Privatisasi Frekuensi Publik?
Transformasi TV analog ke TV digital diyakini akan membuka ratusan ribu lapangan kerja. Tetapi dosen jurnalistik dan penyiaran Stikom Bandung melihat sebaliknya.
Penulis Iman Herdiana1 April 2022
BandungBergerak.id - Peringatan Hari Penyiaran Nasional yang jatuh 1 April diwarnai dengan optimisme tinggi bahwa ratusan ribu lapangan kerja baru akan terbuka. Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, pernah menyatakan akan ada 230 ribu lapangan kerja baru di industri penyiaran dan 181 ribu pada unit usaha pendukung.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga optimis dan memprediksi bahwa transformasi TV digital akan membuka sedikitnya 240.000 lapangan kerja baru. Ridwan menyebut profesi kreator konten paling banyak dibutuhkan pada era industri TV digital.
"Dengan transformasi digital akan lahir profesi baru yang menghadirkan sampai 240.000 lapangan kerja, khususnya content creator yang nanti menjadi bagian dari industri TV digital," kata Ridwan Kamil usai malam ramah tamah peringatan Hari Penyiaran Nasional di Gedung Sate Bandung, melalui siaran pers Kamis (31/3/2022).
Sejak awal digulirkan, transformasi TV analog ke digital yang disebut juga proyek Analog Switch Off (ASO), diyakini akan membuka banyak lapangan kerja. Sebab proyek ini diklaim diniatkan untuk menciptakan lapangan kerja.
Namun dosen jurnalistik dan penyiaran Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, Nursyawal mengatakan, hingga beberapa hari menjelang ASO tahap 1 akhir April 2022 nanti, tidak terbukti ada lonjakan permintaan tenaga kerja dari industri penyiaran.
“Alih-alih membangun lapangan kerja, konsolidasi frekuensi publik melalui proyek ASO ini adalah privatisasi frekuensi karena frekuensi yang ditinggalkan televisi analog akan digunakan oleh korporasi penyedia akses internet. Jadi yang dicari negara adalah cuan, bukan menjamin hak warganya,” kata Nursyawal, dikutip dari siaran pers yang diterima BandungBergerak.id, Jumat (1/4/2022).
Privatisasi Frekuensi Publik
Melalui proyek ASO pemerintah dinilai telah menyerahkan pengelolaan ruang publik ke tangan korporasi swasta. Ruang publik sendiri bukan saja lahan-lahan hutan, ruang terbuka hijau, taman-taman kota, ruang-ruang belajar, tetapi juga frekuensi publik.
Menurut Nursyawal, Nursyawal proyek ASO hanya upaya menyembunyikan aksi privatisasi ruang publik dengan jargon pelayanan penyiaran yang lebih bermutu. Karena pada kenyataannya, tidak akan ada peningkatan mutu dalam penyiaran televisi swasta di Indonesia. Kualitas isi siarannya masih akan sama seperti sebelum ASO. Alih-alih gambar dan suara yang jernih, publik selama ini tidak mendapat pelayanan prima dari isi siaran televisi.
Mantan komisioner KPID Jawa Barat ini menjelaskan, proyek ASO yang dipaksakan melalui UU Cipta Kerja itu juga berpeluang melanggar hak konstitusi warga untuk memperoleh informasi. Setelah tertunda hampir setahun, karena ternyata tidak siap secara teknis, mulai 30 April 2022, untuk tahap 1, sebanyak 116 kabupaten dan kota di Indonesia tidak bisa lagi menangkap siaran televisi dengan cara biasa.
Warga di beberapa wilayah tersebut bahkan terancam putus akses informasinya dari televisi, karena infrasturktur pelayanan informasi lain, seperti radio, surat kabar, dan akses internet tidak terjamin.
“Hak-hak lain warga, seperti berekspresi, rekreasi, dan lain-lain juga menjadi berkurang” sambung Nursyawal.
Ia menyebut pemerintah memang menyiapkan hampir 7 juta perangkat tambahan Set Top Box (STB) gratis untuk masyarakat tidak mampu di wilayah-wilayah yang mulai diberlakukan ASO. Namun sampai saat ini Nursyawal tidak melihat adanya laporan yang sahih dari pemerintah daerah ataupun pihak swasta yang diberi tugas untuk menyebarkan STB gratis tersebut.
STB merupakan alat tambahan untuk televisi analog agar bisa beralih ke televisi digital. Di pasaran harga STB mencapai lebih dari Rp 200.000 bahkan ada yang Rp 800 ribu. Belum lagi persoalan di dalam industri penyiaran yang masih belum selesai, sehingga ketika masyarakat memiliki STB sekalipun, atau migrasi dilaksanakan secara simulcast, belum tentu memperoleh hak atas informasi karena pelayanan isi siarannya dimonopoli kelompok media tertentu.
“Sehingga prinsip keragaman isi siaran dalam Undang-undang Penyiaran nomor 32 Tahun 2002, tidak terlaksana,” tegas mantan Ketua AJI Bandung ini.
Baca Juga: Kesenjangan Akses Internet di Era Cakap Digital
Bugar dan Produktif Saat Puasa, Bagaimana Caranya?
Vonis Bebas PN Pekanbaru Berdampak Suram bagi Kelangsungan Hidup Korban Kejahatan Seksual
Pemerintah Daerah hanya Mendata
Mengenai Set Top Box gratis, Gubernur Ridwan Kamil mengatakan bahwa pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika akan membagikan alat khusus yang memungkinkan migrasi TV analog ke TV digital kepada keluarga golongan kurang mampu.
Adapun untuk warga Jawa Barat, Pemda Provinsi Jabar berkewenangan menyerahkan data penerima alat pendukung tersebut ke Kemenkominfo.
"Kewenangan ada di pemerintah pusat, kita hanya menyerahkan data untuk DTKS atau masyarakat menengah kebawah karena sekarang siaran TV digital itu sudah bukan kemewahan, tapi kebutuhan," jelas Ridwan Kamil.
Untuk mempercepat proses migrasi TV digital di Jabar, pihaknya akan membantu pemerintah pusat melalui instrumen legal formal yang dimiliki. Dalam proses migrasi ini, Ridwan Kamil berharap pemerintah pusat agar menyediakan sinyal digital di beberapa wilayah Jabar yang saat ini masih blank spot.
"Ada satu hal di Jabar yang belum sempurna, yaitu masih ada blank spot untuk sinyal digital, oleh karena itu perlu kolaborasi antara kami, Kemenkominfo dan TVRI agar semua sukses," tuturnya.
Meski demikian, Ridwan Kamil optimistis, Jabar bisa jadi percontohan dalam migrasi TV analog ke digital mengingat dari statistik, Jabar merupakan daerah dengan stasiun TV, radio dan kreator konten terbanyak se-Indonesia.
"Mudah-mudahan hijrah digital berjalan lancar sampai akhir tahun, dan kami meyakini Jabar bisa jadi percontohan," ujarnya.