• Kolom
  • MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #2: Abdoel Moeis, Jurnalis yang Antikomunis

MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #2: Abdoel Moeis, Jurnalis yang Antikomunis

Abdoel Moeis (1886-1959) pahlawan nasional pertama Indonesia. Sosok jurnalis cum tokoh pergerakan yang menghabiskan setengah waktu hidupnya di Bandung.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Abdoel Moeis (1886-1959). (Sumber ensiklopedia.kemdikbud.go.id)

17 Mei 2023


BandungBergerak.id – Dalam Jejak Langkah, seri ketiga dari empat buku Tetralogi Buru yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, terdapat kisah seorang pemuda Bandung yang kerap bergaya layaknya orang Eropa (Belanda). Kebiasaan tersebut menimbulkan keresahan dan amarah dari pembesar pribumi di Bandung saat itu. Hingga diutuslah bawahannya untuk menghampiri pemuda pribumi tersebut dan menyatakan bahwa seorang pribumi tidak sepantasnya mengenakan sepatu untuk bermain tenis. Mengingat pembesar pribumi pun tidak bersepatu.

Setelah itu, si pemuda pribumi yang bernama Abdoel Moeis berkata “Jadi kalau mereka tidak bersepatu, akulah yang bersalah?” Tak berhenti di situ, utusan pembesar pribumi berkata, “Tutup mulut!” dan penganiayaan dimulai hingga Abdoel Moeis digotong ke rumah sakit (2006, hlm. 533).

Meski fiksi, saya meyakini nama pemuda pribumi yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam ejaan ophuijsen tersebut adalah sosok jurnalis cum tokoh pergerakan yang menghabiskan setengah waktu hidupnya di Bandung.

Lalu, sejauh mana Abdoel Moeis meninggalkan jejaknya di Kota Bandung?

Baca Juga: MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #1: Titik Berangkat M. Natsir Menjadi Tokoh Politik dan Pendidikan Islam
Bob Anwar, Guru Honorer yang Berumah dalam Musik
Merayakan Idul Fitri dari Sebelah Kiri

Berkarier sebagai Jurnalis

Abdoel Moeis lahir di Minangkabau, Sumatera Barat pada 3 Juli 1886. Ia menyelesaikan sekolah hingga tingkat HBS (Hollandsche Burger School). Selanjutnya karena sering sakit, ia hanya mampu bertahan selama tiga tahun di bangku STOVIA. Setelah itu, ia sempat magang di Departemen van Onderwijs en Eredienst yang dipimpin Abendanon.

Berbekal kecerdasan dan bantuan Abendanon, ia sempat diangkat menjadi klerk di departemen tersebut. Hal itu, pada akhirnya memicu kebencian para pegawai Belanda kepada dirinya. Tidak lama setelah itu, ia meninggalkan pekerjaan di Departemen tersebut dan memulai karier jurnalistiknya pada tahun 1905 dengan bergabung dengan surat kabar De Preangerbode di Bandung.

Selama bekerja di surat kabar berbahasa Belanda tersebut, ia bertindak sebagai korektor yang bertugas mengoreksi setiap naskah sebelum diterbitkan. Amarahnya tersulut, saat ia kerap mendapati naskah-naskah yang diperiksanya bernada hinaan pada bangsanya. Sempat mengajukan protes kepada atasannya. Namun, atasannya tidak mengindahkan protes darinya.

Meski begitu, ia tidak kehilangan akal. Sebagaimana jalan perjuangan intelektual pada masa itu, ia membela bangsanya melalui tulisan. Karena tidak diizinkan untuk menerbitkan tulisan pembelaannya di De Preangerbode, lantas ia mengirim tulisannya ke surat kabar De Expres milik Indische Partij. Hal ini tercatat dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007, hlm. 80), melalui De Expres, “Moeis kerap mengecam orang-orang Belanda yang merendahkan martabat kaum bumiputra”.

Kegusaran Abdoel Moeis kepada De Preangerbode tidak dapat diredam. Hal ini pada akhirnya mengantarkan ia untuk keluar dan bergabung dengan Kaoem Moeda surat kabar milik Sarekat Islam cabang Bandung pada tahun 1914.

Mengutip Jejak Pers di Bandung karya Indra Prayana (2021), ia  duduk sebagai pemimpin redaksi Kaoem Moeda sejak April 1914. Bersama Wignjadisastra, surat kabar ini mengalami kemajuan dan memiliki pengaruh yang luas. Lebih lanjut, keduanya membentuk Kaoem Moeda sebagai surat kabar yang kritis terhadap kondisi sosial politik yang terjadi pada masa itu.

Memasuki September 1917, Abdoel Moeis turut bergabung dengan surat kabar Neratja yang terbit di Batavia dan “mengembalikan” jabatan pemimpin redaksi Kaoem Moeda kepada Wignjadisastra. Meski begitu, ia masih tercatat dalam susunan redaksi Kaoem Moeda sebagai Redaktur di Betawi.

Di tengah perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam cum kesibukannya sebagai anggota Volksraad  (Dewan Perwakilan Rakyat Hindia), karier jurnalistik Abdoel Moeis tidak berhenti. Tercatat pada tahun 1924, ia mendirikan surat kabar bernama Kaoem Kita dengan mengusung moto “Djembatan Soeara Ra’jat”. Surat kabar yang dicetak di Andirweg no. 354 ini, berupaya sebagai jembatan yang menghubungkan segala aspirasi, keluh kesah, cum harapan rakyat. Namun, Perjalanan Kaoem Kita harus berhenti pada pertengahan tahun 1925. Meski tidak bertahan lama, setidaknya surat kabar ini mampu membawa nilai-nilai nasionalisme pada masa itu. 

Selain itu, Kaoem Kita menjadi tempat bagi W. R. Soepratman dalam merintis karier jurnalistiknya. Tercatat bahwa W. R. Soepratman pernah menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi Kaoem Kita, sebelum hijrah ke Batavia dan bekerja sebagai wartawan surat kabar Sin-Po.

Bersama Sarekat Islam Cabang Bandung

Geliat pergerakan bumiputra yang berkobar sejak awal abad 20, mengantarkan Abdoel Moeis larut dalam pergerakan tersebut. Mengutip Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), Abdoel Moeis tercatat dalam tubuh Sarekat Islam di Bandung. Bahkan, sejak awal dirintisnya Sarekat Islam Bandung pada 25 Desember 1912, ia menduduki jabatan sebagai wakil ketua mendampingi Soewardi Soeryaningrat yang bertindak sebagai ketua. Selama bergerak bersama Sarekat Islam, pada tahun 1916 saat Tjokroaminoto mengadakan kongres nasional CSI di Bandung dan menunjuk Abdoel Moeis sebagai wakil ketua CSI.

Selanjutnya menurut M. C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2010), Abdoel Moeis terpilih sebagai wakil SI dalam delegasi indie weerbaar (milisi pertahanan bumiputra) ke Belanda. Selain membicarakan masalah pertahanan, ia turut mengajukan pendirian Technische Hooge School (kini Institut Teknik Bandung) di Priangan.

Dua tahun kemudian, ia turut terpilih sebagai anggota Volksraad. Meskipun hal tersebut mendapat penentangan dari anggota SI lainnya, khususnya kubu Semaoen dan Tan Malaka yang dikenal dengan SI Merah yang berhaluan kiri.

Aktivitas politiknya bersama SI terus berlanjut, hingga mengantarkannya ke balik jeruji besi pada tahun 1919. Hal tersebut terjadi, setelah pemerintah kolonial menuduh Abdoel Moeis telah mengompori rakyat di Toli-Toli, Sulawesi Tengah dalam kunjungannya yang sebelumnya menentang kerja rodi untuk memberontak kepada pemerintah kolonial.

Selepas penahannya berakhir, ia kembali aktif bersama SI. Saat perpecahan dalam tubuh SI semakin meninggi, sebagai sosok yang anti komunis, pada tahun 1921 bersama dengan Haji Agus Salim, menetapkan “disiplin partai” dalam tubuh SI, di mana bahwa setiap anggota SI terlarang untuk merangkap keanggotaan dengan organisasi/partai lainnya. Hal ini, mendepak kelompok SI Merah yang pada akhirnya berganti menjadi PKI.

Penentangan terhadap pemerintah kolonial Belanda kembali ditunjukkannya pada tahun 1922. Ia memimpin aksi mogok serikat buruh pegadaian di Yogyakarta. Satu tahun kemudian, Abdul Muis sempat kembali ke Sumatera Barat. Di sana ia mengumpulkan para pembesar adat untuk menentang pajak yang memberatkan masyarakat. berkat aksinya tersebut, ia kembali berhadapan dengan pemerintah kolonial yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat cum meninggalkan Pulau Jawa (Passenstelsel).

Selanjutnya ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Selama itu pula, ia menghasilkan karya sastra pertamanya dalam bentuk novel yang berjudul Salah Asuhan yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1928.

Mengutip artikel Iswara N. Raditya yang berjudul Sejarah Hidup Abdoel Moeis: Pengawal Sarekat Islam, Anti Komunis, “Enam tahun berselang, Moeis kembali menerbitkan novelnya bertajuk Pertemuan Jodoh, menyusul kemudian dua karyanya yang lain yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1950). Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Belanda (NICA) datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu. Moeis pun membentuk laskar perjuangan di Jawa Barat bernama Persatuan Perjuangan Priangan untuk turut membantu mempertahankan kemerdekaan.”

Perjalanan hidupnya berakhir saat ia berusia 73 tahun. Ia menghembuskan nafasnya pada 17 Juni 1959 di Bandung. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya, pada tanggal 30 Agustus 1959, Abdoel Moeis ditetapkan sebagai pahlawan nasional pertama, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Presiden Republik Indonesia No. 2183/59.

Bagi warga Bandung, Abdoel Moeis bukanlah nama yang asing. Mengingat nama tersebut terpampang sebagai sebuah nama jalan di sekitar Terminal Kebon Kalapa dan salah satu pusat perbelanjaan ITC dalam ejaan PEUBI “Abdul Muis”. Lebih lanjut, nama Abdoel Moeis tersematkan dalam trayek angkutan umum di Bandung. 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//