• Kolom
  • MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #1: Titik Berangkat M. Natsir Menjadi Tokoh Politik dan Pendidikan Islam

MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #1: Titik Berangkat M. Natsir Menjadi Tokoh Politik dan Pendidikan Islam

M. Natsir sempat menjadi menteri kesayangan Sukarno yang lalu memenjarakannya karena memihak PRRI. Di zaman Orde Baru, ia melawan otoritarianisme bersama Petisi 50.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Presiden Sukarno berfoto bersama Kabinet Natsir. Di masa Kabinet Muhammad Natsir (1950-1951), Djuanda Kartawidjaja menjadi Menteri Perhubungan. ((Foto: commons.wikimedia.org)

21 April 2023


BandungBergerak.id – Tunduk pada keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus - 2 November 1949, Belanda untuk pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia. Konferensi yang sama, merujuk M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2010), mengamanatkan perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), beban hutang sebesar 4,3 milyar Gulden, serta penyelesaian Papua Barat paling lambat 1 tahun ke depan.  

Namun, negara federal itu hanya seumur jagung. Muncul pergolakan di negara-negara bagian. Juga demonstrasi di wilayah Sumatera Selatan untuk memisahkan diri dari negara bagian dan memilih untuk bergabung dengan Republik Indonesia.

Menanggapi gejolak tersebut, M. Natsir selaku ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS, melakukan dialog dengan Sakirman dari PKI dan Sahetapy Engel dari BFO (Majelis Permusyawaratan Federal). Hasilnya, harus dilakukan pertemuan dengan para tokoh dan pemimpin negara bagian untuk menemukan jalan terbaik untuk menyelesaikan pergolakan di daerah-daerah yang mengancam eksistensi Indonesia, meski menurut M. Natsir sendiri, di satu sisi pergolakan yang terjadi di daerah-daerah menjadi pelecut untuk kembali ke dalam negara kesatuan. 

Serangkaian dialog yang dilakukan M. Natsir menghasilkan satu mosi, yang dikenal sebagai Mosi Integral 3 April 1950. Mosi inilah, menurut Lukman Hakiem dalam Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI (2018), yang kemudian dijadikan pedoman oleh Perdana Menteri RIS saat itu, Mohammad Hatta, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di daerah-daerah negara bagian RIS sekaligus dijadikan semangat mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1950. 

Dengan Mosi Integral tersebut, M. Natsir sempat menjadi menteri kesayangan Sukarno, meski di penghujung 1950-an ia terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang mengantarkannya pada kehidupan di balik jeruji besi hingga tahun 1966.

Sejarah kemudian mencatat, pada 1980, bersama Mohammad Hatta, Ali Sadikin, dan beberapa tokoh lain, M. Natsir turut bergabung dalam petisi 50 yang merespons otoritarianisme rezim Orde Baru.

Baca Juga: Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo
Tirto Adhi Soerjo dalam Bingkai Organisasi dan Sastra
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #4: Sastra Perlawanan

Anak Juru Tulis

Mengutip Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim (2018), M. Natsir lahir pada 17 Juli 1908 di suatu rumah di tepi Sungai Batang Giliran Gumanti, Alahan Panjang, Sumatera Barat. Namun, masa hidupnya di Alahan Panjang tidak lama, sebab ia harus mengikuti kepindahan ayahnya, Muhammad Idris Sutan Saripado yang merupakan juru tulis kolonial.

M. Natsir mengenyam pendidikan pertamanya di HIS (Holland Inlander School) Maninjau hingga kelas dua. Berdasarkan penuturannya, di sekolah tersebut ia "belajar, tapi tidak bayar uang sekolah dan tidak terdaftar sebagai murid". Sesuai aturan, sekolah hanya menerima anak dari pegawai negeri atau anak dari saudagar kaya. Itulah sebabnya selama di HIS, M. Natsir belajar secara diam-diam dan terkadang harus bergegas meninggalkan kelas jika inspektur sekolah datang dan diperkenankan kembali masuk kelas oleh gurunya jika inspektur sekolah sudah meninggalkan sekolah.

Selanjutnya, M. Natsir kerap berpindah-pindah sekolah seiring kepindahan tempat kerja ayahnya. Mulai dari HIS partikelir di Adabiyah, Padang, yang dibuka oleh tokoh pergerakan, HIS di Solok, hingga kembali ke HIS di Padang. Selama itu pula, waktu sore digunakan M. Natsir untuk mempelajari agama.

Sebagai siswa yang rajin dan cerdas, M. Natsir mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke MULO (setingkat sekolah menengah pertama) di Padang dan menjadi siswa dengan nilai yang memuaskan.

Berkiprah di Bandung

Setelah menyelesaikan studinya di MULO, pada tahun 1927 M. Natsir hijrah ke Bandung dan terdaftar sebagai siswa AMS (Algemeene Middelbare School - setingkat sekolah menengah atas untuk pribumi). Ia menumpang di rumah bibinya, Etek Latifah, di Jalan Cihapit. Selain bersekolah, hari-hari M. Natsir diisi dengan belajar bahasa latin dan melahap buku-buku di perpustakaan Gedung Sate, sehingga tidak ada waktu libur baginya. Ia harus menutupi kekurangannya dalam bahasa Belanda yang kerap menjadi bahan ejekan oleh siswa-siswa di AMS.

Meski disibukkan dengan kewajibannya bersekolah, M. Natsir turut bergabung dengan JIB (Jong Islamieten Bond) cabang Bandung dan sempat menjabat sebagai wakil ketua periode 1928-1932. Dalam organisasi inilah, ia bertemu dengan Nur Nahar, seorang anggota Jibda (organisasi wanita JIB) yang kelak menjadi istrinya.

Sekitar tahun 1928, oleh Fachroeddin, ketua IJB cabang Bandung yang berusia 20 tahun lebih tua, M. Natsir dipertemukan dengan tokoh Persis Ahmad Hassan atau A. Hassan. Setelah berkenalan lebih jauh dengan A. Hassan, ia mengubur mimpinya untuk menjadi seorang ahli hukum dan memperdalam kembali agama. Keputusan yang pada akhirnya mengantarkan M. Natsir menjadi tokoh politik Islam di Indonesia.

M. Natsir kerap menyambangi kediaman A. Hassan yang terletak di belakang Pajak Gadai, Bandung. Pertemuan keduanya diisi dengan percakapan dan pertukaran pikiran. Keterbukaan menjadi perekat hubungan keduanya. A. Hassan menjadi kawan sekaligus mentornya dalam agama yang melarang sikap taklid. Meski tidak bergabung dengan Persis, M. Natsir dianggap turut memberi warna modernitas pada organisasi ini.

Bandung waktu itu menjadi tempat perjumpaan M. Natsir dengan tokoh-tokoh pergerakan. Pada 17 Oktober 1929, saat tokoh-tokoh Islam diundang Sukarno dalam rapat umum Partai Nasional Indonesia, ia turut  hadir dan mendengarkan pidato Sukarno di Gedung Oranje-Casino. M. Natsir tidak sependapat sepenuhnya dengan pergerakan Sukarno, khususnya dalam memandang Islam. Pada hari-hari berikutnya, ia kerap mendebat gagasan-gagasan Sukarno dan kelompok nasionalis-sekuler melalui majalah resmi Persis, Pembela Islam.

Perdebatan heboh tercermin dalam artikel yang ditulis M. Natsir dengan judul "Kebangsaan Muslimin". Dalam artikel tersebut, ia ingin menunjukkan garis pemisah yang tegas dalam perjuangan berdasarkan kebangsaan dan berdasarkan cita-cita Islam. Atas keriuhan debat itu, Pembela Islam dicap sebagai "Pembelah Islam" oleh kelompok nasionalis. Salah satunya karena majalah tersebut digunakan M. Natsir dalam mengkritik para pelaku bidah.

Terlepas dari perdebatan sengit itu, M. Natsir membela Sukarno saat hendak diasingkan ke Ende. Bahkan setelah di Ende, korespondensi kerap terjalin antara Sukarno dengan majalah resmi Persis ini.

Hubungan M. Natsir dan Sukarno kerap mengalami pasang surut. Pascakemerdekaan, hubungan keduanya sempat mesra dan memuncak karena kelahiran Mosi Integral. Namun, hubungan itu surut kembali hingga bubarnya kabinet Natsir pada tahun 1951. Ketika M. Natsir memilih berada di kubu PRRI, hubungan keduanya benar-benar patah. Ia menjadi tahanan politik hingga tahun 1966.

Selain berjibaku dalam aktivitas politik, M. Natsir merintis pendirian sekolah Pendis (Pendidikan Islam) di Jalan Lengkong Besar, Bandung, nomor 16 yang selanjutnya dipindahkan ke gedung bernomor 74 di jalan yang sama. Ia membawa pembaharuan di sekolah Pendis dengan memasukkan mata pelajaran psikologi, sosiologi, logika Yunani, serta astronomi.

Berdasarkan penuturannya dalam Capita Selecta Jilid I, M. Natsir meyakini bahwa pendidikan adalah kunci utama dari maju atau mundurnya suatu bangsa. Pendis adalah wujud nyata perhatiannya terhadap pendidikan bangsa, Ia memadukan pendidikan ala barat dengan pendidikan tradisional. Dengan sokongan dana dari Mohammad Yunus, Pendis semakin berkembang. Mata pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib dan acara kesenian menjadi acara tahunan.

Merujuk Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim (2018), Pendis menjadi landasan berikutnya bagi M. Natsir dalam menggagas pendirian sekolah tinggi atau universitas Islam di Indonesia. Ia tergabung dalam pengurus Badan Wakaf Pendirian Sekolah Tinggi Islam yang berhasil mendirikan Universitas Islam Indonesia pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Selain itu, Universitas Islam Bandung (Unisba) yang beralamatkan di Jalan Tamansari, juga didirikan buah dari pikiran M. Natsir. Perhatiannya kemudian diarahkan pada pembangunan Masjid Salman ITB yang tak kunjung selesai sejak tahun 1957. Pada tahun 1972, ia memberi bantuan sebesar 60 juta rupiah.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//