• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #26 : Kesehatan Mental dan Kapitalisme

SAWALA DARI CIBIRU #26 : Kesehatan Mental dan Kapitalisme

Membebankan isu kesehatan mental sepenuhnya ke urusan individual belaka, tidaklah tepat. Ada kondisi sosial dan ekonomi kapitalisme yang memicu tekanan luar biasa.

Muhammad Taufik

Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Tangan petugas kesehatan di klinik kesehatan jiwa di Bandung, beradu dengan tangan pasien dalam suatu proses pemeriksaan kesehatan mental, Jumat (4/3/2022). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

18 Mei 2023


BandungBergerak.id - Kesehatan mental telah menjadi isu yang semakin mendesak dalam masyarakat saat ini. Dalam era yang penuh tekanan, ketidakpastian, dan kompleksitas, kesehatan mental telah terbukti memiliki dampak yang signifikan pada kualitas hidup individu.  Namun meskipun demikian, isu kesehatan mental seringkali masih dianggap sebelah mata atau bahkan dianggap sebagai sebuah hal yang tabu di tengah masyarakat.

Jumlah kasus kesehatan mental terus melonjak signifikan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun 2014 lebih dari 300 juta orang menderita depresi, 23 juta orang mempunyai gejala skizoferenia, dan 8 ribu individu memutuskan untuk bunuh diri tiap tahunnya. Pascapandemi Covid-19, masalah penyakit mental naik sekitar 25 persen setiap tahunnya. Global Mental Health Statistics melaporkan bahwa 970 juta orang sedang berjuang dengan penyakit mental.  

Krisis kesehatan mental yang sangat serius ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang masih melihatnya sebagai sebuah isu yang bersifat individual. Seseorang terkena penyakit mental diyakini akibat terlalu berlebihan berpikir, tidak mempunyai motivasi hidup, atau jauh dari kehidupan religius. Bahkan, dalam tingkat profesional pun para ahli kesehatan mental masih melihat faktor penyakit tersebut diarahkan pada tingkat individu. Penjelasan yang dominan seringkali direduksi pada skema pembiologian dan kimia. Biasanya para psikolog akan menganggap penyakit mental sebagai permasalahan kimia-biologis yang terjadi pada tubuh seseorang (terutama yang terjadi pada otak).

Mark Fisher, seorang filsuf sekaligus kritikus budaya kontemporer asal Inggris, menolak anggapan bahwa faktor kesehatan mental adalah urusan individual. Bagi Fisher, lonjakan angka penyakit mental sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh sistem masyarakat. Melalui bukunya Capitalist Realism: There is no Alternative? (2009), ia secara lugas menyatakan bahwa sistem masyarakat kita sekarang, yakni kapitalisme, memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Fisher, persoalan kesehatan mental bukan urusan individual belaka, tetapi justru persoalan yang bersifat politis. 

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #25: Yang Natural adalah yang Kultural?
SAWALA DARI CIBIRU #24: Mengakrabi Kemacetan
SAWALA DARI CIBIRU #23: Filsafat ke Semua Arah

Dari Depolitisasi Menuju Politisasi Kesehatan Mental

Mark Fisher menyatakan kapitalisme cenderung menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang memicu tekanan yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Persaingan yang ketat, kerja yang tidak stabil, tekanan finansial, dan ekspetasi yang tinggi untuk sukses secara materiel seringkali menyebabkan perasaan cemas, stres, dan depresi. Fisher berpendapat bahwa kapitalisme mendorong individu untuk terus berusaha meningkatkan produktivitas dan mencapai kesuksesan finansial yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan mental individu.

Masalah ini ditambah dengan perkembangan sistem ekonomi kapitalis kontemporer yang berkembang secara lebih kompleks. Menurut Fisher, kapitalisme kontemporer telah membuat kehidupan masyarakat selalu berada dalam atmosfer ketidakpastian. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, teknologi, dan perubahan struktur pekerjaan. Dari pengaruh globalisasi, tiap perusahaan dapat mengubah produksi mereka secara cepat sesuai tren pasar. Teknologi membuat pengelolaan ekonomi semakin kompleks. Sementara itu, perubahan struktur pekerjaan yang fleksibel, seperti pekerja lepas, kontrak sementara, dan jaringan tenaga kerja akan menjadi aturan dominan dalam sistem ekonomi kapitalis.

Perubahan ekonomi kapitalis kontemporer ini bagi Fisher berkontribusi besar terhadap penyakit-penyakit mental. Kompleksitas ekonomi kapitalis kontemporer membuat hidup seseorang mesti bersiap menghadapi segala perubahan dan harus belajar untuk hidup dalam kondisi ketidakstabilan total. Dalam pekerjaan, seseorang dipaksa untuk mempunyai keterampilan multitasking karena perusahaan bisa mengganti secara cepat proyek sebelumnya.

Seseorang juga mesti hidup dalam ketidakpastian akan permasalahan pekerjaan. Sistem outsourching, kerja kontrak, dan kerja pendek adalah serangkaian kehidupan yang membuat masyarakat kita tidak mampu merencanakan masa depan secara pasti. Atmosfer masyarakat yang tidak stabil dan cenderung berubah ini sangat berkontribusi untuk mengembangbiakkan penyakit bipolar dan skizoferenia. Ironisnya, menurut Fisher, sistem kapitalis kontemporer memang membutuhkan bentuk kegilaan bipolar dan skizoferenia. Perubahan mood secara tiba-tiba (bipolar) dan kesadaran yang tidak terstruktur, tidak stabil, dan kompleks (Skizoferenia), adalah sesuatu hal yang amat cocok dengan kompleksitas ekonomi kapitalisme kontemporer.

Namun, penjelasan mengenai kesehatan mental dan kaitannya dengan sistem masyarakat seringkali diacuhkan. Bagi Fisher penolakan ini tidak hanya semata-mata permasalahan akademis, tetapi lebih menyangkut urusan politis. Sebagaimana Fisher katakan dalam Capitalist Realism:

“Rezim masyarakat kapitalis sekarang menyangkal kemungkinan adanya penyebab sosio-politik dari penyakit mental. Reduksi penyakit mental dalam skema pembiologian dan kimia setidaknya merupakan bentuk depolitisasi atas penyakit tersebut. Ketika menganggap penyakit mental sebagai permasalahan kimia-biologis dalam tubuh individu, itu akan memberikan suatu manfaat besar bagi kapitalisme. Pertama, hal itu memperkuat dorongan kapitalisme untuk membuat seseorang terasing dengan sesamanya (Anda sakit karena permasalahan kimia dalam otak Anda dan bukan permasalahan masyarakat). Kedua, hal itu menyediakan pasar yang sangat menguntungkan di mana perusahaan farmasi multinasional dapat memasarkan obat-obat farmasi mereka (kami dapat menyembuhkan Anda dengan SSRIs atau obat anti-depresan kami). Tidak dapat disangkal bahwa semua penyakit mental dalam ilmu medis hari ini diterapkan dalam kategori neurologis seperti ini. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa semua penyakit mental tidak hanya memiliki akar neurologis. Jika benar, misalnya, bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar serotonin, lantas yang masih perlu dijelaskan adalah mengapa individu tertentu memiliki kadar serotonin yang rendah? Ini adalah pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab dan memerlukan pemahaman mendalam tentang faktor sosial dan politik yang mempengaruhi kesehatan mental kita”.

Dalam pandangan Fisher seperti ini, menyalahkan faktor individu atas kesehatan mental mereka sendiri (kimia biologis dalam otak), dan mengabaikan dimensi sosio-politis dan struktural dari permasalahan tersebut, merupakan cara yang efektif bagi sistem kapitalis untuk mempertahankan dirinya sendiri. Dengan mengabaikan akar masalah yang terkait dengan kapitalisme, sistem ini dapat melanjutkan eksploitasi dan pembiaran terhadap kesehatan mental masyarakat secara luas. Fisher berpendapat bahwa dengan memfokuskan perhatian pada individu sebagai sumber masalah, kapitalisme dapat menghindari pertanggungjawaban terhadap dampak sosial yang dihasilkannya.

*Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//