SUBALTERN #7: Mempertimbangkan Kembali Konsep Tentang Penyebab Konflik Beragama
Sering kali konflik agama merupakan label atau penamaan pada sebuah situasi yang sebenarnya “tidak merujuk” pada konflik agama itu sendiri.
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
20 Mei 2023
BandungBergerak.id – Apa yang menjadi penyebab kekerasan agama terjadi? Pertanyaan ini klasik, tapi selalu aktual, karena sejauh masalah-masalah keagamaan masih bisa kita lihat di berbagai tempat, maka pertanyaan ini menjadi tetap relevan. Tulisan ini sendiri hendak untuk mengulas berbagai tawaran jawaban atas pertanyaan tersebut. Ulasan dan juga kritik yang kemudian disajikan dalam tulisan ini akan menggunakan perspektif Muthuraj Swamy (2016) dalam bukunya yang berjudul The Problem with Interreligious Dialogue: Plurality, Conflict and Elitism in Hindu-Christian-Muslim Relations. Dalam perspektif Swamy, beberapa pandangan tentang asal mula kekerasan dari agama itu sendiri bermasalah.
Pertama, agama menjadi asal mula kekerasan. Asumsi pertama ini menjelaskan bahwa teks-teks keagamaan memiliki berbagai macam justifikasi bagi umatnya untuk melakukan kekerasan. Swamy menjelaskan tentang bagaimana konsep jihad di dalam Islam dipahami sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain; yang bahkan kekerasannya bisa sampai pada level penghilangan nyawa seseorang. Contoh lainnya adalah teks biblikal John 14.6 and Acts 4.12 mengenai keselamatan yang hanya ada pada Yesus, yang biasanya dipahami sebagai justifikasi superioritas agama. Namun persoalannya adalah apakah klaim ini benar, bahwa agama itu sendiri merupakan penyebab dari hadirnya kekerasan?
William Cavanaugh, sebagaimana dikutip oleh Swamy, mengatakan bahwa klaim tentang agama sebagai penyebab dari kekerasan merupakan sebuah mitos. Ia mengatakan bahwa klaim tersebut lahir dari konteks relasi Barat dengan Timur, secara spesifik klaim atau mitos tersebut lahir dari konsep sekularisme Barat melawan konsep religiusitas Timur. Perspektif Barat tersebut ingin membuat sebuah image bahwa kekerasan yang dilakukan oleh—misalnya—Islam merupakan sebuah tindakan terorisme, dan karenanya buruk dan jahat. Sedangkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Barat, seperti wacana perang terhadap teror (the war on terror) memiliki tujuan yang mulia, yakni membangun perdamaian. Bagi Swamy, argumen dari Cavanaugh ini ingin menunjukkan bahwa wacana tentang kekerasan berelasi dengan subjek yang memproduksi wacana tersebut; pihak yang hendak menerapkan kekerasan dan dominasi atas pihak lainnya.
Swamy sendiri memberikan argumen tentang kerentanan argumen macam ini, karena mereduksi akar masalah hanya pada teks-teks keagamaan saja. Padahal faktanya kekerasan sendiri lahir dari sebuah struktur kompleks, yang bisa akar masalahnya tidak tunggal. Ada banyak faktor yang memungkinkan kekerasan itu terjadi, seperti faktor sosio-ekonomi. Faktor tersebut tentu berperan juga dalam melahirkan tindakan kekerasan, dan karenanya tidak bisa diabaikan dalam proses analisis masalah kekerasan.
Baca Juga: SUBALTERN #4: Memahami Perbedaan lewat Prinsip Kosmopolitanisme
SUBALTERN #5: Hak Asasi Manusia dan Diskriminasi
SUBALTERN #6: Bahasa Inggris sebagai Bahasa Global dan Pengaruhnya di Indonesia
Memeriksa Kembali Akar Konflik Agama
Kedua, akar kekerasan agama tidak lahir dari agama itu sendiri, akan tetapi dari para pengikut agama. Dalam konsep ini, kekerasan itu bisa terjadi dikarenakan para pengikutnya salah dalam melakukan penafsiran terhadap agama. Artinya, anggapan kedua ini berakar pada asumsi bahwa agama pada dirinya sendiri pada dasarnya baik, dan para pengikutnyalah yang bisa “bermasalah”. Cara untuk menyelesaikan konflik atau kekerasan yang terjadi atas nama agama, dengan demikian bisa diselesaikan dengan cara membangun sebuah dialog antar agama, agar setiap orang yang terlibat di dalamnya, akan mengubah cara pandangnya menjadi lebih baik.
Pemahaman ini pun bagi Swamy pun bermasalah, persis seperti konsep yang pertama, dikarenakan konsepsi ini mereduksi kompleksitas persoalan tentang kekerasan agama. Pendekatan yang kedua ini melupakan bahwa fenomena kekerasan juga sering kali melibatkan bagaimana faktor sosial-ekonomi, ketidaksetaraan yang ada di dalam masyarakat, turut berkontribusi terhadap kekerasan yang ada di dalam masyarakat. Untuk membuktikan hal tersebut Swamy mengutip Ashgar Ali Engineer, dalam studi Engineer mengenai konflik antara Hindu dan Muslim di India, menunjukkan bahwa akar kekerasan, konflik atau bentrok yang terjadi disebabkan oleh faktor ekonomi dan sosial, bahwa konflik tersebut merupakan fenomena penampakan di balik fakta lain yang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap fenomena kekerasan tersebut, faktor tersebut adalah faktor ekonomi dan sosial.
Ketiga, penamaan konflik agama. Argumen yang ketiga dari Swamy ini menarik, ia mengatakan bahwa apa yang biasanya disebut sebagai konflik agama, sering kali pada faktanya bukanlah merupakan konflik agama. Maksudnya adalah, bahwa konflik agama, merupakan label atau nama pada sebuah situasi yang sebenarnya “tidak merujuk” pada konflik agama itu sendiri.
Bagi Swamy, konflik atau kekerasan agama itu sendiri hadir sebagai sebuah nama, yang dilekatkan oleh pihak tertentu terhadap sebuah situasi spesifik. Tapi Swamy sendiri tidak hendak membangun argumen bahwa konflik agama itu tidak ada. Arah argumen Swamy lebih mengarah pada, bahwa konflik agama sering kali hanya hadir sebagai label atau sebagai sebuah penamaan belaka. Penamaan itu misalnya digunakan oleh politisi yang bermaksud mendulang suara atau hendak memobilisasi massa yang basisnya ada pada basis religiusitas. Penamaan ini amat begitu penting, karena dapat memperluas dan memperkuat kuasa atas orang lain.
Kelompok atau individu bisa jadi berkonflik atas nama yang lain, bisa jadi suatu konflik merupakan sebuah konflik keluarga, kependudukan, konflik antar kepentingan kultural, sosial, atau ekonomi. Namun, misalnya, politisi menginterpretasi fenomena tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan suara atau mobilisasi massa.
Bagi Swamy hal ini perlu digaris bawahi, dan penting untuk diperhatikan. Karena aspek ini sering kali diabaikan oleh kalangan aktivis perdamaian agama. Mereka seringkali, lanjut Swamy, tidak curiga pada wacana dan “fenomena” konflik dan kekerasan agama secara given, yang padahal jika ditinjau dalam sudut pandang Swamy mesti diperiksa dan dicek terlebih dahulu. Pengecekan atas fakta atau fenomena kekerasan tersebut menjadi sebuah keniscayaan tersendiri, agar tidak gegabah dalam menilai sebuah konflik sebagai sebuah konflik agama; yang padahal dalam perspektif ini bisa jadi bukan konflik atau kekerasan agama itu sendiri.
Terlepas dari itu, tiga aspek tersebut, mesti menjadi bahan pertimbangan, terkhusus bagi kalangan akademisi agama dalam melakukan penilaian atau evaluasi terhadap konflik keagamaan. Swamy hendak menunjukan bahwa fenomena konflik agama itu adalah suatu hal yang kompleks, dan karenanya tidak bisa dipandang secara monolitik.
*Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi