• HAM
  • Sidang Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, Kredibilitas Majelis Hakim Dipertanyakan

Sidang Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, Kredibilitas Majelis Hakim Dipertanyakan

Tim Advokasi untuk Demokrasi menyatakan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar seharusnya tidak dapat dituntut baik secara pidana atau perdata.

Para pendukung Haris dan Fatia membawa beragam poster berwarna merah bernada seruan protes di dalam ruang sidang. (Foto: Delpedro Rismansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 Mei 2023


BandungBergerak.idFatia Maulidiyanti dan Haris Azhar telah menjalani sidang keempat dengan agenda pembacaan putusan sela yang dibacakan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hakim menyatakan menolak eksepsi yang diajukan Fatia dan Haris, sehingga persidangan ini akan terus berjalan.

Dikutip dari laman resmi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Senin (22/5/2023), Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai bahwa hakim tidak mempertimbangkan seluruh dalil yang dinyatakan dalam eksepsi penasihat hukum. Bahkan dalam putusan sela, hakim sama sekali tidak menyinggung atau mempertimbangkan surat pernyataan No. 644/PM.00/AC/V/2023 perihal pemberian pendapat Komnas HAM RI di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam perkara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

“Padahal berdasarkan Pasal 89 ayat (3) huruf h majelis hakim wajib memberitahukan kepada para pihak terkait pendapat Komnas HAM tersebut,” Andi Muhammad Rezaldy dari Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Merujuk pada hal tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi menyatakan Fatia dan Haris seharusnya tidak dapat dituntut baik secara pidana atau perdata berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Hakim juga seharusnya tunduk pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013 terkait Pedoman Penanganan Perkara PPLH. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun dalam gugatan rekonvensi (dalam perkara perdata) dan/atau pembelaan (dalam perkara pidana) dan harus diputuskan lebih dahulu dalam putusan sela.

Lebih jauh, menurut tim, pedoman interpretasi UU ITE juga tidak disebutkan sebagai bagian dari pertimbangan majelis dalam melanjutkan perkara pidana ini. Padahal pedoman ini sifatnya sangat esensial sebagai bagian dari kesepakatan aparat penegak hukum untuk tidak mendakwa seseorang karena menyampaikan penilaian, pendapat dan evaluasi.

“Berdasarkan putusan sela yang telah dibacakan, kami sangat menyayangkan sikap hakim yang menolak eksepsi kami. Majelis Hakim seharusnya dapat secara jeli mempelajari kasus ini lebih mendalam dan mempertimbangkan dengan objektif beberapa argumentasi dalam eksepsi penasihat hukum Fatia-Haris,” katanya.

Adapun dalil-dali yang diajukan Tim Advokasi untuk Demokrasi  dalam eksepsi sebelumnya antara lain mediasi yang dihentikan secara sepihak oleh penyelidik dan/atau penyidik, dakwaan yang prematur karena Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pelapor tidak pernah diperiksa pada tahap penyelidikan, tidak ada gelar perkara untuk menentukan hasil penyidikan, terutama ketika terjadi perbedaan pendapat saksi ahli hingga eksepsi Anti Slapp yang pada intinya tindakan yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari pejuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata.

Baca Juga: Menjejaki Sidang Haris-Fatia #1: Pencemaran Nama Baik, Kritik, dan Solidaritas Publik
Ketika Kepentingan Publik Tunduk pada Nama Baik Pejabat
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut Binsar Panjaitan

Selain itu, dalam proses persidangan, Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai JPU yang tampak tidak profesional dan kapabel dalam menangani kasus ini. JPU menyatakan tidak ada muatan hak asasi manusia dan isu lingkungan hidup dalam perkara Fatia dan Haris. Padahal, tindakan yang dilakukan Fatia dan Haris dengan mengungkap berbagai temuan kepada publik dari hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil dengan judul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Studi Kasus di Intan Jaya”, merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat serta perjuangan atas hak lingkungan hidup yang baik dan sehat di Papua yang telah dijamin oleh berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia.

Hal tersebut dikuatkan dengan adanya surat keterangan dari Komnas HAM Nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022 yang pada intinya Fatia dan Haris merupakan Pembela HAM dan tindakan yang mereka lakukan ialah upaya dari pemajuan dan penegakan hak asasi manusia.

“Dengan demikian, hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa JPU tampaknya tidak memahami perkara ini secara mendalam dan utuh serta terlihat memaksakan perkara ini untuk masuk dalam proses persidangan,” demikian pernyataan Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Dalam sidang lanjutan yang ditetapkan Majelis Hakim pada 29 Mei 2023 dengan agenda pemeriksaan saksi, tim juga akan menagih komitmen JPU untuk menghadirkan saksi Luhut Binsar Panjaitan sebagai saksi pelapor dalam perkara ini. Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, Luhut wajib dihadirkan mengingat pasal yang dikenakan yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mana merupakan delik aduan (klacht delict) dan sifatnya absolut berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//