• Berita
  • Ancaman Krisis Air di Bandung Raya dan Rencana Pembangunan Apartemen di Ledeng

Ancaman Krisis Air di Bandung Raya dan Rencana Pembangunan Apartemen di Ledeng

Rencana pembangunan apartemen di Kampung Babakan di Ledeng mengancam 30 mata air di kawasan yang menjadi hutan alam terakhir di Kota Bandung.

Kawasan bentang hutan yang akan dibangun menjadi apartemen oleh PT Citra Buana Prasida seluas 3,7 hektar di Kampung Babakan, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Rabu (17/5/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul25 Mei 2023


BandungBergerak.id – Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan kawasan penting untuk menyangga kebutuhan air dan daerah resapan di Bandung Raya. Adanya rencana pembangunan apartemen di Kampung Babakan, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap dinilai berpotensi melahirkan krisis air, bencana hidrologis, dan merusak kawasan hutan terakhir di Kota Bandung.

Di lahan seluas 37 hektare di RT 4 Kampung Babakan akan dibangun apartemen dengan luasan terbangun menembus 60.400 meter persegi. Pembangunan apartemen itu akan dilakukan oleh PT Citra Buana Prasida. Pada Jumat (5/5/2023) lalu perusahaan ini mengundang beberapa pihak mulai dari DLHK, pihak kecamatan dan kelurahan, pihak Polsek, Danramil, organisasi pemerhati lingkungan, tokoh masyarakat, Karang Taruna, dan masyarakat untuk menghadiri konsultasi konsultasi publik pada proses penyusunan kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Wakil Ketua Karang Taruna Ledeng, Nurgi Herdian (29) menegaskan bahwa KBU adalah kawasan penting untuk Bandung. Di Ledeng, di kawasan lokasi yang akan dibangun apartemen itu terdapat 30 seke (mata air) yang sudah diidentifikasi. Di antara puluhan mata air tersebut ada yang dikelola oleh PDAM yaitu Gedong Tjibadak. Warga Ledeng dan sekitarnya juga memanfaatkan air dari seke-seke tersebut.

Nugi menyebutkan bahwa kawasan Ledeng penting untuk dijaga. Jika ada rencana pembangunan di kawasan itu harus ditinjau kembali, sebab yang harus dikedepankan adalah daya dukung lingkungan. Ia juga memberikan catatan bahwa pihaknya tidak anti pembangunan. Pembangunan di Ledeng tidak hanya mengancam mata air, tapi juga mengancam flora dan fauna di lokasi tersebut yang merupakan hutan terakhir di wilayah administrasi Kota Bandung.

“Bukan ranah kami untuk berbicara menolak, kami di sini hanya mengingatkan, mengawal hak-hak dari masyarakat, hak-hak dari alam, hak-hak negara yang harus kami jaga, tentunya visi misi kami itu saja tidak ada embel-embel lain,“ ungkap Nugi kepada BandungBergerak.id saat ditemui di bale Komunitas Cinta Alam Indonesia (CAI), Rabu (17/5/2023).

Di tengah masyarakat ada dinamika pro dan kontra terkait rencana pembangunan apartemen tersebut. Masyarakat yang pro berharap rencana pembangunan apartemen tersebut sekaligus akan membangun akses jalan yang sudah lama tidak digunakan menuju Kampung Babakan. Akses jalan yang ada saat ini membuat lokasi Kampung Babakan seperti terisolir dari jalan raya. Jalan yang ada pun juga relatif curam.

Nugi menyinggung bahwa masyarakat sudah pernah meminta pada pihak kecamatan untuk menghidupkan kembali akses jalan tersebut. Yana Mulyana, wali kota nonaktif Bandung sempat meninjau langsung akses jalan yang diminta warga tersebut. Namun hingga kini tidak ada kelanjutannya.

“Pemerintah harusnya menyambut baik adanya keinginan dari masyarakat terhadap akses. Mudah-mudahan pemerintah bisa memfasilitasi tidak perlu ada pembangunan, tanpa ada isu yang saat ini akan terjadi konflik pada akhirnya," lanjut Nugi yang tergabung sebagai anggota Komunitas CAI.

Lurah Ledeng, Budi Prasetyo menyampaikan bahwa letak Kampung Babakan memang agak terisolir dari jalan besar. Makanya masyarakat yang pro sangat mungkin merindukan akan akses jalan. Namun ia juga mengingatkan bahwa potensi lingkungan harus dijaga sebab akan berdampak kepada debit air di mata air.

Mendengar kabar tentang rencana pembangunan, Budi mengaku meminta kepada pengembang untuk menyosialisasikannya secara menyeluruh dan dengan baik kepada masyarakat. Ia sebagai pemimpin di tingkat Kelurahan pun tidak punya kewenangan terkait perizinan. Ia mengaku sudah menyampaikan terkait potensi kerusakan mata air yang digunakan untuk kebutuhan air warga Bandung.

“Makanya saya sampaikan di sana ada mata air, banyak seke-seke yang ini harus kita pikirkan juga. Kan tidak hanya orang Ledeng saja yang memanfaatkan seke-seke tadi, Ciumbuleuit juga banyak yang memanfaatkan itu,“ ungkap Budi saat dihubungi BandungBergerak.id melalui panggilan telepon, Jumat (19/5/2023).

Budi tak menampik bahwa pembangunan kota tidak bisa dihindari. Pun secara pribadi ia berharap kawasan itu tetap lestari dan terjaga. Namun karena ia memiliki tanggung jawab di birokrasi, ia tidak mungkin menolak. Sehingga ia berharap regulasi di tingkat kota dan provinsi dapat diperkuat, khususnya mengenai kajian lingkungan.

Pipa aliran air dari salah satu mata air yang ada di Kampung Babakan, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Rabu (17/5/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Pipa aliran air dari salah satu mata air yang ada di Kampung Babakan, Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Rabu (17/5/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Baca Juga: BUKU BANDUNG #58: Ledeng Oh Ledeng, Riwayatmu Kini
Film Preserving the Seke: Menggagas Kawasan Gedong Cai Cibadak, Ledeng, sebagai Laboratorium Alam
Gedong Cai Cibadak, Riwayat “Ledeng” Pertama Kota Bandung

Memanfaatkan Mata Air di Ledeng sejak Puluhan Tahun Lalu

Mata air Gedong Tjibadak merupakan salah satu air baku untuk PDAM Tirtayasa di Kota Bandung yang berlokasi di Kampung Babakan, Kelurahan Ledeng. Warga Ledeng dan sekitarnya memanfaatkan mata air lainnya yang tersebar di kawasan tersebut. Di daerah terebut tersebar sebanyak 30 mata air.

Misalnya, Abidin (52) Warga Ciumbuleuit. Ia tinggal di daerah Bongkol berseberangan langsung dengan daerah Cipaku, Ledeng. Abidin menyebutkan bahwa masyarakat Ciumbeluit di RW 3, RW 4, dan RW 11 memanfaatkan air dari mata air yang ada di Ledeng untuk kebutuhan sehari-hari. Air dialirkan menggunakan pipa menuju penampungan yang selanjutnya dipergunakan warga.

Abidin mengaku warga tersebut sudah puluhan tahun memanfaatkan air dari mata air Ledeng. Ia paham bahwa pembangunan dibutuhkan, namun tidak dengan merusak lingkungan. Sebab, jika mata air di kawasan Ledeng hilang, bukannya hanya masyarakat Ledeng dan Ciumbuleuit saja yang terancam krisis air, tapi juga masyarakat Bandung.

“Harapan saya sih ya kalau bisa ke para pemangku kebijakan, KBU itu tetap lestari, ya seperti inilah seperti apa adanya. Jangan terlalu banyak dibeton,” ungkapnya saat dihubungi melalui telepon, Kamis (18/5/2023).

Di samping itu, ia merasa prihatin dengan lingkungan di KBU, kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan kawasan resapan air. Jika daerah resapan ini semakin berkurang, ia khawatir bencana banjir akan sering melanda kawasan cekungan Bandung. Sebab air pasti akan tumpah ruah ke aliran sungai. Sementara di bantaran sungai fungsi resapan airnya kian berkurang sebab banyak masyarakat yang juga membangun bangunan.

“Kali itu semakin menyempit sementara debit air itu semakin besar, ya risikonya banjir daerah bawah,” ungkapnya.

Salah satu mata air yang dimanfaatkan oleh warga Ledeng dan Ciumbuleuit, Rabu (17/5/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Salah satu mata air yang dimanfaatkan oleh warga Ledeng dan Ciumbuleuit, Rabu (17/5/2023). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Potensi Bencana Hidrologis di Depan Mata

Kondisi banyak mata air dan lokasi hutan terakhir di Kota Bandung seharusnya membuat pemerintah lebih berhati-hati dalam memberikan izin pembangunan di KBU. Chay Asdak mengingatkan bahwa KBU yang berada di ketinggian lebih dari 750 meter di atas permukaan laut ini harusnya merupakan kawasan konservasi. Di samping itu kawasan ini pun punya potensi bencana hidrometeorologi, yaitu longsor, banjir, dan erosi.

Ia juga menyinggung sudah banyak regulasi yang dibuat untuk melindungi KBU sejak 1980an sampai sekarang yang melibatkan pemerintah kota dan pemerintah pusat. Menurutnya, regulasi yang berlaku tidak menyelesaikan permasalahan.

“Terkait dengan usulan itu yang perlu di kritisi adalah penegakan hukum enggak jalan. Karena sudah jalan (regulasi), izin-izin tetap saja keluar terus,” ungkap pakar hidrologis dari Universitas Padjadjaran ini saat dihubungi pada Rabu, (17/5/2023).

Kawasan Bandung Utara memang menarik bagi investor karena pemandangannya, kesejukan, dan lainnya. Namun tidak boleh melanggar hukum, jika hukum dijadikan sebagai mekanisme pembangunan.

Adapun bencana hidrometeorologi yang menunggu di depan mata akan memakan korban masyarakat di kawasan cekungan Bandung. Sebab KBU berada di kawasan yang lebih tinggi. Selain itu ancaman krisis air di saat musim kemarau, sebab sumber resapan air yaitu hutan yang menampung air sudah berubah menjadi beton.

“Tiga hal tadi, status secara historis yang dibuat berdasarkan KBU sebagai kawasan konservasi, yang kedua adalah adanya lokasi-lokasi perlindungan lingkungan karena ada mata air dan hutan, maka harus hati-hati. Kehati-hatiannya itu tidak dengan mengobral IMB,” lanjut Chay Asdak.

Ia menegaskan bahwa seharusnya pembangunan apartemen di KBU ditolak. Pembangunan komersial itu akan diikuti dengan kegiatan pembukaan lahan yang akan memicu alih fungsi lahan. Makanya ia mengingatkan kepada pemerintah agar harus kritis saat mengeluarkan perizinan pembangunan di KBU. Pemerintah penting untuk menempakan kepentingan publik lebih dulu, sebab jika tidak hati-hati akan mengancam publik.

“Pemerintah harus ingatkan juga ini potensi konflik masyarakat dengan pengembang dalam isu air itu menjadi penting kalau tidak ditangani dengan baik,“ tutupnya.

Direktur Walhi Jabar, Meiki W. Paendong berpendapat sama. Potensi krisis air yang mengancam daerah-daerah yang letaknya lebih rendah bisa saja terjadi karena pembangunan apartemen di Kampung Babakan. Pembangunan apartemen tersebut juga berpotensi memicu konflik sosial.

Meiki menilai sebetulnya Peraturan Daerah yang melindungi KBU belum kuat. Sebab masih memberikan peluang adanya kawasan-kawasan yang diizinkan untuk dibangun. Komitmen pemerintah provinsi dianggap masih sebelah mata dan tidak konsisten karena memperbolehkan komersial berkedok pemukiman dibangun di KBU. Ia mendesak kepada agar pemerintah provinsi lebih mengutamakan lingkungan dibandingkan ekonomi.

“Bentuk komitmennya, bentuk realisasinya dengan tidak memberikan rekomendasi untuk proyek ini. Karena kuncinya di situ. Kalau gubernur atau pemerintah provinsi mengeluarkan rekomendasi artinya proyek ini mendapat izin, kalau tidak ada rekomendasi dari gubernur proyek ini tidak akan berjalan,” ungkapnya kepada BandungBergerak, Rabu (17/5/2023).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//