Cerita dari Clemencia #1
Belén de los Andaquíes diinvasi Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia. Warga bersembunyi di rumah-rumah, memutar lagu-lagu natal sekencang-kencangnya.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
25 Mei 2023
BandungBergerak.id - Suatu hari di Belén de los Andaquíes, sebuah kota di selatan Kolombia, jendela rumah-rumah warga dibuka. Mereka menggaungkan dengan kencang lagu-lagu natal (villancios) yang diputarkan oleh sebuah stasiun radio lokal. Namun, hari itu bukanlah hari yang damai. Tetapi, hari di mana orang-orang ketakutan dan bersembunyi di bawah kasur mereka karena invansi bersenjata oleh FARC (Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia). Ledakan yang memekakkan telinga, dilawan dengan lagu damai dari rumah-rumah warga.
Tak lama setelah itu, masyarakat sipil yang tak bersenjata pun turun ke jalanan, mengibarkan bendera-bendera putih. Mereka berkumpul di pusat kota. Lagu natal, menjadi “perisai simbolik” yang membuat orang berani untuk melawan rasa takut. Dan sebuah radio lokal, telah berhasil mengambil peran penting dalam sebuah konflik bersenjata.
Cerita itu ditulis oleh Clemencia Rodriguez, seorang sarjana asal Kolombia yang mengajar komunikasi untuk perubahan sosial di Universitas Temple, Amerika Serikat. Melalui etnografi media dan berbagai wawancara mendalam, ia menulis sebuah buku sangat penting dan indah untuk dibaca, Citizen’s Media Against Armed Conflict, Disrupting violence in Colombia (2011). Clemencia adalah seorang sarjana yang memiliki sumbangsih besar pada citizens media, terutama perannya di pusaran konflik. Ia mengisi kekosongan dari sarjana-sarjana lain, yang dominan meneliti konflik bersenjata dari sudut pandang media massa arus utama.
Dua minggu lalu, saya mengikuti diskusi Clemencia dengan Pradip N. Thomas, pengampu mata kuliah Teori Komunikasi untuk Perubahan Sosial di tempat saya belajar. Clemencia bercerita, pada awalnya ia ingin menjadi seorang jurnalis. Tetapi pada semester awal kuliah, dia mengalami kekecewaan terhadap kondisi jurnalistik di negaranya. Sangat toksik, imperialistik, dan kekecewaan lainnya. Setelah lulus, ia kemudian menjadi aktivis pemberdayaan masyarakat melalui media. Ia selalu ingat bagaimana warga di daerah rural takjub melihat cerita bergambar mereka sendiri di layar kaca yang terletak di sebuah rumah warga. Ingatan yang melekat itu memberinya kekuatan, bagaimana teknologi media akan dapat berguna jika mampu menyuarakan suara jernih dari orang-orang termarjinalkan, voicing the unvoiced. Kerja-kerjanya kemudian selalu beririsan dengan hal tersebut.
Dalam perjalanannya sebagai akademisi, Clemencia mengagumi sosok Paulo Freire. Baginya, Freire memiliki pemikiran sangat filosofis, tetapi juga terus aktif bergulat dan berjuang bersama komunitasnya. Clemencia pun terus bergerak, terutama bersama radio komunitas. Mulai dari radio komunitas di sekitar tempatnya bekerja di Philadelphia, kampung halamannya Kolombia, hingga berbagai negara lain di dunia, termasuk negara berkonflik di timur tengah. Ia menolak menjadi ilmuwan menara gading, yaitu sarjana yang bergulat di lapangan hanya untuk menambang data-data penelitian. Baginya, memberdayakan masyarakat ialah “bukan hanya soal berpikir dan menulis, tetapi sebuah aksi dan gerakan”.
Media dan Konteks
Kelekatannya dengan tempatnya meneliti, tergambarkan dengan deskripsi dan narasi yang sangat asyik dinikmati dalam bukunya. Kita akan diajaknya menikmati segelas jeruk peras di tengah matahari yang terik sambil menebak asal daerah orang-orang berdasarkan jenis pakaiannya. Atau kita akan diajak mengenali sebuah radio komunitas yang akan menghentikan sejenak programnya jika ada anak kecil yang ingin mengatakan sesuatu melalui radio. Bahkan, sekadar untuk mengatakan “hallo” kepada ibu mereka. Atau, cerita intim saat Clemencia berdialog dengan Doña Marta, penyiar radio La Cantaleta. Saat itu, Clemencia mengagumi suara hujan yang jatuh pada atap rumah Dona. Namun, Dona menjawab justru dia tidak menyukai hal itu, “suara itu mengingatkan saya pada serangan gerilya terakhir…suara dari letusan senjata sangat mirip” (Rodriguez, 2011, 58).
Narasi dan penggambaran yang baik itu, menurut Clemencia dan Pradip, adalah hasil dari penelitian komunikasi perubahan sosial yang tidak meloloskan diri dari konteks. Menurut Clemencia, sebuah pengamatan media tidak mungkin dipahami tanpa memperkenalkan konteks, baik ekonomi, geografis, politik, budaya, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Begitupun dengan gerakan citizen media, akan hampa tanpa konteks perjuangan di lingkungan terdekat mereka. Ia kemudian melanjutkan ceritanya soal konflik di Kolombia.
Konflik di Kolombia, kata Clemencia, memang sangat mengkhawatirkan. Menurut penjelasannya, korban meninggal sekitar 300-500 ribu, sementara lebih dari 2 juta orang terlantar. Itu belum menyangkut bagaimana korban secara psikis, kekerasan seksual, dan akibat buruk dari konflik lainnya. Namun masalahnya, konflik ini tidak terjadi di seluruh wilayah Kolombia, hanya di beberapa bagian saja. Selain itu, antara daerah yang terjadi peperangan itu terisolasi satu sama lain. Sehingga, konteks perang antara satu wilayah dan wilayah lain tidak mungkin sama. Ia kemudian menceritakan mengenai sebuah wilayah Kolombia, terutama masyarakat sekitaran wilayah Amazon yang terkenal dengan tanaman koka, sumber dari zat terlarang kokain.
Menurutnya, pada mulanya di wilayah tersebut, masyarakat sekitar selama berpuluh-puluh tahun telah menanam kopi, jagung, dan tanaman legal lainnya. Namun, akses yang sangat buruk terhadap pasar, membuat para petani harus mengeluarkan biaya ekstra, terutama dalam hal transportasi. Akses transportasi itu tak kunjung membaik hingga akhirnya mereka putus asa. Kondisi tersebut berbeda jika mereka menanam koka. Produsen akan mengetuk rumah-rumah warga untuk membelinya dengan harga yang layak.
Menurut Clemencia, penting untuk menekankan soal keluarga petani para penanam koka. Konsep keluarga itu menggambarkan kondisi bahwa ada kebutuhan hidup yang harus dibayar (biaya sekolah anak, kebutuhan sehari-hari, kesehatan) dan hanya dapat dipenuhi jika mereka menanam koka. Kondisi ekonomi yang buruk dan tak mendapat dukungan sedikitpun dari pemerintahan, membuat keluarga penanam koka semakin menjamur dan menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu produsen koka terbesar di Kolombia.
Di sisi lain, alih-alih melakukan perbaikan akses pasar agar keluarga petani kembali menanam tumbuhan legal, pemeritahan malah melakukan fumigation, yaitu sebuah proses pengasapan tanaman terlarang dengan menggunakan Roundup. Celakanya, kapal pengasap tersebut terbang dengan ketinggian rendah dan menyemburkan Roundup ke berbagai benda yang dilewati, tidak hanya tanaman. Tak peduli apakah atap rumah, makanan yang dikeringkan, anjing penjaga, pakaian yang dijemur, ayam ternak, bahkan manusia yang ada di bawahnya. Segalanya disemprot pestisida, dan itu membuat masyarakat sangat merana.
Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual
KELAKUAN NETIZEN: Lagu dan Laku Netizen Beriman
Raja dan Tombaknya
Panggung di Bawah Matahari
Pada November 1994, mulai terjadi perlawanan masyarakat sipil (para cívico) terhadap aktivitas fumigation tersebut. Namun, pergerakan ini terpotret dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang pendemo, mereka menyuarakan tuntutan kepada pemerintah pusat bahwa fumigation bukan solusi. Mereka akan kembali menggarap tanaman legal dengan tuntutan perbaikan jalan untuk akses terhadap pasar agrikultur, akses listrik yang merata, pelayanan kesehatan, serta pelayanan pendidikan. Di sisi lain, pemerintahan militer lokal dan media nasional justru merepresentasikan bahwa gerakan tersebut telah ditunggangi oleh para griliawan dan penjual narkoba. Pendemo dicitrakan sebagai “setan”.
Pemerintah pusat tetap tuli terhadap hal tersebut, terutama dalam tekanan pemerintah Amerika Serikat dalam perang terhadap narkoba. Pada bulan Mei 1996, pemerintah membuat gerakan yang semakin menyulut kemarahan warga. Pada 22 Juli 1996, terjadi pengasapan (fumigation) besar-besaran yang membuat ribuan petani koka turun kejalan ke pusat kota (Florencia dan Mocoa). Gerakan itu malah digembosi kembali dengan pernyataan-pernyataan menyimpang dari pemerintah.
September 1996, para demonstrans telah tidba di Belén de los Andaquíes. 20.000 demonstran berkemah di sekitar pusat kota, salah satunya di Radio Andaquí’s. Saat itu, Radio Andaquí belum mendapatkan lisensi untuk mengudara dari pemerintah. Tetapi, pemimpin radio tersebut memutuskan untuk menyiarkan suara-suara dari para demonstran. “Berada dalam kebimbangan antara kebenaran dan kesalahan yang membingungkan, pada saat itu saya hanya ingin mereka untuk bernyanyi, membacakan puisi, dan menyuarakan hal-hal lainnya,” ucap Gonzalez, pemimpin Radio Andaquí (Rodriguez, 2011, hlm. 72).
Selama masa demonstrasi, Radio Andaquí memfasilitasi antara kebutuhan warga setempat dan para demonstran yang datang dari berbagai daerah terpencil. Warga kota mungkin ketakutan karena media massa secara umum mencitrakan para demonstran dengan cap yang buruk. Tetapi, dengan menyampaikan suara yang jernih dari demonstran, hal itu bisa menjadi lebih netral, bahkan berubah menjadi dukungan. Selama delapan hari, panggung di bawah terik matahari yang disediakan oleh Radio Andaquí telah menjadi pusat festival kebudayaan terbesar bagi masyarakat di sana, melampaui agenda politik.
Kondisi itu selaras dengan pernyataan Clemencia soal hasil penelitiannya. “Saya tidak menemukan bahwa jurnalisme dan berita adalah hal prioritas bagi pergerakan Citizen Media di Kolombia. Media lebih digunakan untuk membuka ruang bagi proses kebudayaan, produksi kesenian, dan penceritaan untuk tatanan sosial yang telah sobek, mengkonstruksi ulang ikatan sosial yang terkikis, menyesuaikan kembali ruang publik, dan menguatakan strategi untuk resolusi konflik nirkekerasan” (Rodriguez, 2011, hlm. 22).
Cerita bagian pertama dari Clemencia ini memberikan pelajaran berharga bagi media-media citizen di Indonesia untuk lebih melekat dan terikat lagi dalam perjuangan hidup komunitas masyarakat di sekitar mereka. Bukan justru malah bercita-cita untuk menjadi sebuah bisnis besar yang menggurita dengan meraup keuntungan dari click-bait. Clemencia mengingatkan dengan sangat baik di bagian awal bukunya:
“Ketika media komunikasi akar rumput tertanam dalam di komunitas mereka, benar-benar terbuka untuk partisipasi kolektif, dan responsi terhadap kebutuhan komunikasi lokal yang cepat dan langsung dalam jangka panjang, artinya mereka tengah memperkuat agensi dan eksistensi komunitas. Bahkan saat harus merespons kekerasan bersenjata” (Rogriguez, 2011, hlm. 3).