• Kolom
  • MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #3: Secuplik Kisah Perjalanan Politik dan Jurnalistik S. K. Trimurti

MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #3: Secuplik Kisah Perjalanan Politik dan Jurnalistik S. K. Trimurti

Soerastri Karma Trimurti memulai aktivitas politik dan menekuni karier jurnalistik di Bandung. Tinggal di rumah Inggit Garnasih, dan Sukarno yang menjadi mentornya.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Soerastri Karma Trimurti (1912-2008) tokoh pergerakan dan jurnalis perempuan Indonesia. (Foto: Dokumentasi Perpustakaan Nasional Indonesia)

31 Mei 2023


BandungBergerak.id – Sekitar tahun 1932-1933, Sukarno berpidato di Purwokerto, dalam rangkaian perjalanan politik Partindo. Sang orator menyeru persatuan dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme. Hari itu pun, menjadi momen yang berharga bagi Soerastri (selanjutnya ditulis S.K. Trimurti), sebab untuk pertama kalinya ia dapat menyaksikan sang orator idolanya berpidato secara langsung di hadapannya.

Beberapa waktu setelahnya, ia meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pengajar di Sekolah Dasar Putri, Banyumas, untuk hijrah menuju Bandung pada tahun 1933 mengikuti sekolah politik Partindo. Tulis Ipong Jazimah dalam S.K. Trimurti: Pejuang Perempuan Indonesia (Jurnal Sejarah dan Budaya, tahun kesepuluh, Nomor, 1, Juni 2016).

Setibanya di Bandung, ia tinggal di rumah Inggit Garnasih. Selanjutnya, bersama Suprapti, Sukaptinah, Aminah Amatanis dan Nyonya Maskun, ia terdaftar sebagai anggota perempuan dalam tubuh Partindo. Guna menyambung hidup, ia menjadi tenaga pengajar di Sekolah Perguruan Rakyat Pasirkaliki yang diinisiasi Sanusi Pane.

Daya juang politiknya semakin tumbuh, hingga ia masuk dalam radar pengawasan pihak kolonial. Bahkan dalam satu waktu, polisi Belanda menegurnya "Nona masih muda, lebih baik meneruskan sekolah saja, jangan suka dihasut Soekarno!” Hal tersebut terjadi, setelah pidatonya dalam rapat umum dianggap provokatif dan mengancam keamanan dan stabilitas publik dalam kacamata kolonial, serta melanggar vergader-verbod yang melarang rapat umum bagi bumiputra.

Teguran tersebut, tidak mampu meruntuhkan semangat juang politiknya. Meski pada akhirnya, penangkapan dan pengasingan terhadap tokoh-tokoh Partindo-lah yang memudarkan aktivitas politiknya pada tahun 1934. Di mana selanjutnya, ia meninggalkan Bandung menuju Klaten. Tulis Reni Nuryanti dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007).

Baca Juga: MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #1: Titik Berangkat M. Natsir Menjadi Tokoh Politik dan Pendidikan Islam
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #2: Abdoel Moeis, Jurnalis yang Antikomunis
Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo

Menekuni Jurnalistik

Selain berpolitik, Bandung adalah tempat memulai karier jurnalistiknya. Dan lagi, dalam hal ini, Sukarno bertindak sebagai mentornya. Semua berawal dari obrolan singkat seputar kehidupan dengan Sukarno. Setelahnya, sang guru berkata “Tri tulislah karangan, nanti kamu muat dalam majalah Fikiran Rakjat.

Ipong Jazimah (2016) melanjutkan, setelah mendengar anjuran sang mentor, S. K. Trimurti awalnya merasa berat, mengingat ia tidak memiliki pengalaman dalam hal tulis menulis. Terlebih, ia menyadari bahwa majalah Fikiran Ra’jat merupakan tempat para tokoh Partindo menuangkan tulisannya. Namun, di tengah kegamangan sang murid, sang guru berhasil meyakinkan sang murid untuk menulis.

Gayung bersambut, kegembiraan datang padanya, setelah tulisannya dimuat dalam majalah Fikiran Ra’jat. Enggan baginya untuk larut dalam kegembiraan tersebut, ia terus menekuni dunia jurnalistik, yang pada masa-masa selanjutnya, ia pergunakan sebagai alat perjuangan untuk menggugah bangsanya, khususnya, bagi kaum perempuan yang masih terkurung budaya feodal.

Ketekunannya berbuah,  ia mengemban jabatan sebagai pemred Fikiran Ra’jat. Sejak saat itu, namanya terpampang di bagian depan majalah tersebut. Namun, demi menghindari konflik dengan keluarganya yang tidak menyetujui jalan yang dipilihnya, ia menyematkan “Trimurti” dan "Karma sebagai nama pena di setiap tulisannya. Seiring dengan berjalannya waktu, ia dikenal dengan nama S. K. Trimurti.

Perjalanan majalah Fikiran Ra'jat yang diasuhnya perlahan menghilang, seiring dengan penahanan dan pengasingan tokoh-tokoh Partindo ke Ende dan Digul pada tahun 1934. Dalam situasi tersebut, ia pindah ke rumah orang tuanya di Klaten. Kemudian berbekal pengalaman jurnalistiknya, ia aktif mengasuh surat kabar Berdjoang yang terbit di Surabaya.

Karier jurnalistiknya terus berkembang. Tercatat ia aktif menerbitkan beberapa surat kabar, di antaranya: Bedoeg (surat kabar berbahasa Jawa di Solo), Terompet, Marhaeni di Yogyakarta, hingga Panjebar Semangat yang diterbitkannya dengan bekal dana yang diperolehnya dari hadiah lomba Cerita Sandiwara. Mengutip kembali Reni Nuryanti (2016), dalam satu waktu, di tengah kesibukan mengasuh surat kabar, ia menemui tokoh-tokoh Partindo di Klaten.

Akibatnya, ia kembali menjadi incaran intel Belanda dan menyulut amarah ayahnya, hingga ia dilarang pergi meninggalkan rumah. Namun, pergerakannya tidak layu, ia tetap menentang kolonialisme Belanda. Hal ini, dibuktikannya dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang mengkritik dan mengecam pemerintah kolonial. Setelahnya, ia mendekam di tahanan selama 9 bulan.

Lepas dari balik jeruji besi, ia kemudian masuk dalam jajaran redaksi surat kabar Sinar Selatan. Di saat itulah, ia pertama kali mengenal Sayuti Melik, yang kelak menjadi suaminya. Pertautan keduanya berawal saat S. K. Trimurti menerima artikel “Pertikaian Japan-Tiongkok” yang ditulis Sayuti Melik. Tidak lama kemudian, karena dianggap menyudutkan pemerintah kolonial, Sayuti diasingkan ke Boven Digul. Sedangkan S. K. Trimurti masuk bui.

Setelah masa hukuman keduanya selesai, mereka merintis penerbitan majalah mingguan Pesat. Lagi, keduanya kembali mengalami penangkapan, setelah menerbitkan tulisan Sribintara yang menuai konflik. Bagi S.K. Trimurti, penahanan kali ini terasa memilukan. Sebab, di tengah siksaan yang dideritanya, ia melahirkan anak pertamanya - Mohammad K. Budiman - di lorong penjara Jurnatan, Semarang.

Menurut Leli Yulifar, dkk. dalam Surastri Karma Trimurti: Menggugat Hak-Hak Kaum Buruh Perempuan Indonesia tahun 1945-1954 (Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, vol. 7, no. 1, 2018), pasca kemerdekaan, tercatat S. K. Trimurti turut memperhatikan nasib-nasib kaum buruh wanita Indonesia medio 1945-1954. Hal tersebut dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pembentukan Barisan Buruh Wanita (BBW) di mana kemudian ia menjadi ketuanya dan tergabung dalam Partai Buruh Indonesia (PBI).

Aktivitas tersebut, pada akhirnya menjadi pertimbangan Amir Sjarifuddin untuk mengangkatnya sebagai Menteri Perburuhan dalam kabinetnya (1947-1948). Tiga tahun kemudian, ia memprakarsai pendirian Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) - kelak berganti nama menjadi Gerwani - namun, keaktifannya terbilang singkat. Pada tahun 1954, ia keluar dari Gerwani karena keterlibatan PKI yang terlalu besar dalam tubuh organisasi tersebut. 

Pada tahun 1960, ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selanjutnya, ia diutus pemerintah untuk mengunjungi negara-negara sosialis di Eropa pada tahun 1962-1964, dalam rangka mempelajari Worker's Management dan studi banding. Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya, Ia diangkat menjadi anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).

Selanjutnya, ia terdaftar sebagai anggota Dewan Nasional, Anggota Dewan Perancang Nasional, Dewan anggota Angkatan 45, anggota MPRS, dan anggota perintis Kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya, Sukarno menganugerahinya Bintang Mahaputra V. Meski sebelumnya, hubungan di antara keduanya mengalami kerenggangan, setelah S. K. Trimurti mengkritik poligami.

Memasuki era orde baru, ia tergabung dalam petisi 50. Namun, kecintaannya terhadap jurnalistik tidak pernah luntur, ia kembali mendirikan majalah Mawas Diri pada tahun 1980.  Baginya menulis adalah alat perjuangannya, sebagaimana yang ia katakan dalam Pikiran Rakyat edisi 17 Juni 2005 yang dikutip Reni Nuryanti (2007), “Kan memang menulis hanyalah salah satu alat perjuangan saja pada zaman itu. Saya berkecimpung dalam koran itu sejak dulu, saya orang yang tidak sekolah jurnalistik tapi suka jurnalistik (...) Awalnya suka menulis tidak tahu, kalau bicara kan pakai mulut dan menulis pakai tangan, dari umur belasan tahun sudah menulis. Awalnya, saya menulis tentang seluruh Indonesia, dan macam-macam. Saya tidak punya cita-cita untuk diri saya sendiri, misalnya ingin kaya. Biasa saja. Cita-cita saya untuk Indonesia, adalah agar Indonesia menjadi negeri makmur”. (hlm. 169).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//