• Opini
  • Melihat Realitas Standar Kecantikan di Indonesia

Melihat Realitas Standar Kecantikan di Indonesia

Pada akhirnya standar kecantikan adalah hal yang cair sehingga bisa berubah-ubah. Setiap perempuan memiliki keunikan tersendiri.

Noviyanti Putri

Pegiat Isu Perempuan dan Gender

Kosmetik yang dijual di pasar minggu komplek pertokoan Sumbersari Indah, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Juni 2021. (Foto Ilustrasi: Sarah Ashilah/Bandungbergerak.id)

2 Juni 2023


BandungBergerak.id – Pembahasan mengenai standar kecantikan bagi perempuan masih menjadi hal yang banyak sekali diperbincangkan di belahan dunia manapun. Meski tidak dipungkiri bahwa standar kecantikan di setiap negara atau pun daerah tentu berbeda. Bahkan di setiap zaman pun berbeda pula. Namun di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, standar kecantikan pada perempuan masih berputar-putar pada hal yang sama. Dari mulai kulit putih, tinggi semampai, bahkan sampai kepada rambut lurus.

Tentu hal ini berlaku juga di Indonesia. Contohnya seperti banyaknya produk-produk pemutih kulit yang mendorong perempuan berbondong-bondong membelinya dengan mengampanyekan cantiknya perempuan adalah kulit yang putih, dan akan semakin cantik jika memakai produk tersebut. Produk kecantikan tidak hanya menggunakan teknik marketing, juga kini makin gencar menggunakan teknik psikologis.

Venner gigi sampai kepada operasi plastik pun menjadi hal yang masih sangat diminati. Gigi rapi dan wajah yang simetris menjadi simbol dari kecantikan itu sendiri. Dan hal ini banyak dicontohkan oleh figur publik sehingga membuat penggemarnya mengikuti untuk melakukan hal yang sama seperti idolanya.

Rambut juga menjadi hal yang tak kalah tersorotnya jika membahas mengenai standar kecantikan. Contohnya pada iklan sampo yang sering menggunakan perempuan berambut lurus menjadi bintang iklannya. Dan hal ini pun kemudian menjadi standar kecantikan bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang berambut lurus.

Tentu media dan juga produk-produk kecantikan yang mempengaruhi penilaian pada standar kecantikan perempuan semata karena tujuan komersial. Hal ini tidak hanya terjadi hari ini saja, sejak dulu, bahkan sejak di zaman penjajahan Belanda bahwa narasi standar kecantikan tidak hanya dipengaruhi media dan produk kecantikan saja namun juga oleh penguasa yang saat itu berkuasa.

Baca Juga: Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin
Pendaftaran Calon Anggota KPU Jabar Dibuka, Keterwakilan Perempuan Perlu Diusahakan

Standar Kecantikan Perempuan Indonesia dari Masa Ke Masa

Pada masa kolonial yaitu sekitar 1900-1942 perempuan Belanda atau perempuan yang berasal dari ras kaukasia menjadi salah satu simbol dari standar kecantikan kala itu. Hal yang melatarbelakanginya adalah iklan sabun Palmolive. Majalah Bintang Hindia tahun 1928 sering kali menampilkan sosok perempuan kaukasia dengan teks-teks bahasa Indonesia atau pun juga bahasa daerah. Sehingga pada akhirnya membuat perempuan-perempuan Indonesia pun ikut terpengaruh untuk mengikuti visualisasi tersebut.

Selanjutnya masa penjajahan Jepang antara tahun 1943-1945, pada massa itu Jepang berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan perempuan Jepang agar menjadi standar kecantikan di Indonesia. Perempuan-perempuan Jepang ini kerap muncul pada majalah-majalah seperti Poetri Nippon atau juga pada film Nippon. Figur perempuan Jepang kerap muncul pada majalah Djawa Baroe pada sekitar tahun 1943. Namun hal ini menjadi usaha yang gagal karena pada masa itu perempuan-perempuan Eropa masih sering tampil dalam banyak hal, salah satunya pada iklan kosmetik.

Di pasca kemerdekaan Indonesia yaitu pada 1945-1965, standar kecantikan perempuan Indonesia pun bergeser kepada perempuan yang berkulit terang atau kuning langsat. Pada iklan sabun tahun 1959 misalnya telah menggunakan perempuan Indonesia sebagai modelnya.

Pada era Orde Baru saat Presiden Soeharto berkuasa pada 1966-1998, standar kecantikan perempuan bergeser. Pada periode tersebut, standar kecantikan perempuan Indonesia bergeser kembali pada perempuan Eropa. Pada periode tersebut banyak iklan produk kecantikan menggunakan perempuan Eropa sebagai modelnya.

Setelah Orde Baru tumbang, di era reformasi standar kecantikan makin beragam. Sejak 1998, bersamaan dengan perkembangan digitalisasi dan media sosial membuat standar kecantikan memiliki banyak warna. Ada yang berkiblat pada Eropa, Jepang, atau Korea. Sata ketika, standar kecantikan ala perempuan Korea dianggap mendominasi mengenai standar kecantikan di Indonesia karena melihat banyaknya artis Brand Amasador, tren fashion, hingga produk kosmetik-kosmetik yang berasal dari Korea.

Namun tidak dipungkiri juga bahwa pada akhirnya standar kecantikan adalah hal yang cair sehingga bisa berubah-ubah. Standar kecantikan pun tentu tidak perlu harus terus-terusan diikuti karena setiap perempuan memiliki keunikan tersendiri. Terlebih telah banyak juga produk-produk dan media yang lebih banyak menampilkan keunikan perempuan dan tidak terpaku pada konstruksi yang telah ada sebelumnya dari mulai warna kulit sampai kepada bentuk rambut. Contohnya iklan sampo yang tidak hanya perempuan berambut panjang, atau iklan sabun yang tidak hanya diisi oleh perempuan berkulit putih. Media dan produk kecantikan ikut berkontribusi juga dalam menampilkan sisi lain dari perempuan yang telah lama tidak tampak ke permukaan karena konstruksi yang ada.

Hal ini pun telah menjadi sebuah  upaya untuk membentuk kesadaran bersama bahwa standar kecantikan tidak harus ada karena hal ini bisa saja membelenggu perempuan untuk banyak aspek utamanya mengenai pandangannya terhadap dirinya sendiri. Insecurity menjadi hal yang timbul dikarenakan adanya standar kecantikan ini. Seseorang bisa saja mengabaikan dirinya sendiri dan melakukan hal-hal negatif karena hal tersebut.

Media pun telah banyak melalukan inovasi dengan menghadirkan perempuan yang beragam kepada publik dan ini pun menjadi sebuah kemajuan yang akan membuat banyak perempuan secure pada akhirnya.         

Dukungan sesama perempuan pun menjadi hal yang diharapkan hadir juga dalam membahas standar kecantikan. Karena bisa jadi dengan tidak hadirnya dukungan sesama perempuan fenomena standar kecantikan akan terus melanggengkan eksistensinya apalagi zaman sekarang yang dimana arus informasi begitu cepat.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//