SAWALA DARI CIBIRU #28: Apakah Orientasi Seksual Itu Kodrati?
Willkerson berpandangan bahwa proses identifikasi orientasi seksual terjadi melalui proses interpretasi yang melibatkan banyak elemen yang ada di dalam diri kita.
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
2 Juni 2023
BandungBergerak.id – Biasanya orang memahami orientasi seksual sebagai suatu hal yang kodrati, sedangkan identitas diri kita sebagai suatu hal yang konstruktif. Sebagai suatu hal yang kodrati, orientasi seksual karenanya dianggap sebagai suatu hal yang natural alias alamiah, sehingga ia hadir sebagai sesuatu yang given, tak terkontrol, bahkan lepas dari campur kehendak atau kesadaran seseorang. Karena ia adalah suatu hal yang given, maka orang pun memandang bahwa orientasi seksual sendiri tidak bisa diubah, ia sudah fix, dan bersifat tetap.
Dalam menjelaskan eksistensi LGBTQ+ pun pola pemahaman seperti itu terjadi. Hal ini bisa ditemukan ketika orang-orang memahami bahwa seseorang bisa “terlahir” sebagai gay atau lesbian. Artinya, seorang gay atau lesbian merupakan suatu hal yang kodrati, dan karenanya tidak bisa diubah sama sekali. Bahwa ke-gay-an dan ke-lesbian-an seseorang adalah bawaan lahir, yang tak tersentuh oleh proses kesadaran dan kehendak individual. Namun pertanyaannya apakah demikian?
William S. Wilkerson dalam tulisannya Is It a Choice? Sexual Orientation as Interpretation yang terhimpun dalam kumpulan tulisan berjudul “Queer Philosophy Presentations of the Society for Lesbian and Gay Philosophy, 1998-2008” (2012), menjawab bahwa status orientasi seksual yang kodrati itu bermasalah. Ia menunjukkan bahwa orientasi seksual itu tidak sekodrati yang kita kira. Wilkerson bahkan menyebutkan bahwa orientasi seksual seseorang itu ditentukan melalui proses interpretasi. Sedangkan proses interpretasi melibatkan kesadaran dan kehendak seseorang.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #25: Yang Natural adalah yang Kultural?
SAWALA DARI CIBIRU #26 : Kesehatan Mental dan Kapitalisme
SAWALA DARI CIBIRU #27: Sejarah dan Refleksi Filosofis
Hasrat, Suatu Hal yang Fix?
Wilkerson mula-mula mengajukan sebuah persoalan tentang status dari hasrat; karena orientasi seksual berkaitan erat dengan hasrat. Selama ini bagi Wilkerson, hasrat sering kali dipahami secara isolatif. Hasrat dianggap sebagai suatu hal yang stabil, ia adalah dorongan natural yang bawaannya sudah jelas. Setiap orang dengan demikian memiliki hasrat X, yang merupakan bawaannya semenjak lahir. Ketika seseorang mencoba memahami hasratnya, artinya dia mencoba menangkap hasrat yang sudah menjadi bawaan dan alamiah. Proses interpretasi dengan demikian absen dalam proses pemahaman hasrat seseorang.
Konsekuensi dari sikap atau pemahaman ini adalah bahwa ketika seorang menyatakan dirinya sebagai gay, maka ia sebetulnya sedang mengungkapkan apa yang sudah ada di dalam tubuhnya. Kalau pun ia mengaku atau mengekspresikannya, hal tersebut adalah proses yang berbeda dan terpisah. Konsekuensi lainnya adalah bahwa dalam pemahaman tersebut, seseorang bisa saja tidak menyadari dirinya adalah seorang gay atau lesbian. Mengapa? Karena proses identifikasi itu terjadi secara berbeda, sementara dorongan hasrat itu sendiri sudah ada, stabil, dan fix ada di dalam dirinya. Tapi apakah yang terjadi memang demikian?
Wilkerson menolak pemahaman tersebut. Ia mengatakan bahwa hasrat yang dimiliki oleh kita tidak hadir sebagai suatu hal yang stabil dan hadir begitu saja di dalam tubuh kita. Hasrat yang dimiliki oleh kita hadir sebagai suatu hal yang ambigu, tidak pasti, dan tidak jelas. Hasrat adalah sebuah jaringan kompleks, yang membutuhkan proses interpretasi sehingga ia bisa dipahami sebagai suatu hal yang stabil dan utuh.
Ia kemudian menjelaskan problem konsep hasrat yang selama ini dipahami oleh seseorang. Wilkerson menganggap bahwa hasrat yang bisa dipahami secara langsung, sekaligus bersifat fix itu “tidak ada”. Kita sendiri sebagai seorang individu tidak bisa mengidentifikasi hasrat kita. Karena apabila hasrat bisa dipahami dengan mudah (karena diasumsikan sebagai suatu hal yang given dan utuh), maka kita tidak mungkin mengalami kegagalan identifikasi atas hasrat kita sendiri.
Ketika hasrat “meletup” pertama kali, kita sebenarnya melakukan kontekstualisasi, kita mencoba menerjemahkan hasrat kita supaya bisa jelas dan dipahami oleh diri kita. Proses kontekstualisasi ini bagi Wilkerson adalah proses interpretasi. Proses interpretasi ini niscaya, dan tidak mungkin kita lewati. Dalam bahasa lain mungkin bisa dikatakan, bahwa proses interpretasi ini inheren dalam proses proyeksi hasrat yang dimiliki oleh kita.
Interpretasi Hasrat
Lalu, apabila hasrat dipahami sebagai sebuah proses yang langsung, maka kita akan kesulitan untuk menjelaskan fenomena di mana seseorang menolak hasrat homoseksualnya. Karena jika hasrat bersifat langsung maka seseorang tidak akan mungkin menolak dorongan hasratnya sendiri.
Dalam contoh tersebut (mengenai seseorang yang menolak hasrat homoseksualnya) Willkerson menjelaskan bahwa dalam proses identifikasi orientasi seksual, sudah selalu terjadi proses interpretasi. Ketika seseorang menolak hasrat homoseksualnya, sebenarnya dia sudah memiliki asumsi tentang apa yang seharusnya hasratnya hasrati. Pertanyaannya adalah dari mana asumsi itu hadir di dalam dirinya?
Asumsi tersebut datang dari situasi sosio-historis tempat seseorang hidup. Artinya konteks tersebut “mendeterminasi” dirinya dalam menentukan mana yang harus ia hasrati, dan mana yang tidak boleh ia hasrati; atau mana hasrat yang benar dan mana hasrat yang salah. Proses kontekstualisasi ini merupakan proses interpretasi atas letupan hasrat yang ada di dalam tubuh seseorang, dan setelah letupan itu muncul sebetulnya ia sedang membangun sebuah identitas yang utuh, atas dorongan hasrat yang tak jelas dan ambigu.
Pembentukan orientasi seksual dengan demikian, terjadi melalui proses interpretasi yang melibatkan banyak elemen yang ada di dalam diri kita. Kita sebetulnya “tak pernah” benar-benar tahu apa hasrat kita. Hasrat bisa menjadi jelas, karena melalui proses interpretasi yang kita lakukan, baik dalam bentuk afirmasi atau penolakan. Meskipun proses afirmasi dan penolakan ini terjadi saat proses interpretasi atas hasrat yang ambigu.
* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)