• Kolom
  • SAWALA DARI CIBIRU #27: Sejarah dan Refleksi Filosofis

SAWALA DARI CIBIRU #27: Sejarah dan Refleksi Filosofis

Narasi sejarah mesti dicermati lebih jauh karena mengandung wacana lain yang tidak ditampilkan secara tersurat.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Bagian muka lorong heritage di Jalan Braga, Bandung. Konon perkampungan di balik gang ini sudah ada jauh di masa kolonial sebelum Jalan Braga berdiri. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Mei 2023


BandungBergerak.id – Apa yang didapat dari membaca sejarah? Pertanyaan ini seolah merefleksikan diri saya sendri ketika membaca dan menulis sejarah. Pada hakikatnya sejarah tidak hanya berbicara masa lalu. Sejarah ibarat mempertautkan peristiwa yang sedang terjadi kini dengan aspek material masa lalu yang diyakini sebagai ceruk-ceruk kebudayaan. Selain itu dalam konteks ini kebudayaan juga mempunyai ruang lingkup yang begitu luas. Kebudayaan bisa berupa bahasa, tempat tinggal, kebiasaan atau pandangan hidup. Bisa juga berupa gedung-gedung dan berbagai peralatan yang menunjang kehidupan sehari-hari. Dari term ini, baik bahasa, tempat tinggal maupun aspek artifisial lainnya berkaitan dengan wacana historis. Itulah mengapa bagi Saussure, bahasa bisa ditinjau dari segi diakronis (pendasaran sejarah) dan bisa juga dilihat dari sudut sinkronis (perkembangan sekarang). Sebab, bahasa selalu melekat dengan akar historisnya yang juga erat kaitannya dalam perkembangannya kini. Kata oknum, misalnya, tidak ujug-ujug muncul dengan sendirinya. Jika dilihat dari aspek diakronisnya, konon, istilah itu hadir di tengah masifnya masa-masa Orde Baru.

Saya sebetulnya ingin mengatakan bahwa semua produk kebudayaan mempunyai proses sejarah yang panjang. Selama kita memahami arti dari produk kebudayaan, landasan historis akan muncul seketika dalam pikiran kita. Seperti pertanyaan, sejak kapan rumah tokoh itu dibangun? Atau, siapa yang melahirkan kebiasaan membuat hidangan singkong rebus di Priangan? Semua pertanyaan itu tidak terlepas dari akar historisnya, karena kebudayaan tidak datang dengan sendirinya.

Sama halnya ketika kita mengadakan kegiatan yang bercorak sejarah. Pada dasarnya acara-acara tersebut ingin menggali dan menampilkan suatu hasil kebudayaan yang masih dapat dinikmati. Gedung-gedung masa lalu yang menjulang tinggi di pusat kota Bandung, misalnya, memantik para peminat sejarah untuk melakukan penelusuran lebih jauh. Penelusuran tersebut bukan saja digarap lewat bentuk tulisan, tetapi juga melalui kegiatan wisata sejarah yang lazimnya dikemas dalam bentuk trip atau jalan-jalan. Bahkan dari tahun ke tahun acara wisata sejarah di Bandung terus bermunculan, dengan menarik tarif yang telah disesuaikan.

Sayangnya, bagi saya sendiri, kegiatan trip sejarah seperti itu mengandung beberapa persoalan filosofis. Dengan kata lain, sekadar romantisisme sejarah yang tidak menghasilkan apa-apa. Kritik saya terhadap kegiatan tersebut tentu didasarkan pada sejauh mana tindakan refleksi terhadap nilai-nilai sejarah banyak dilakukan. Alih-alih melestarikan gedung-gedung bersejarah sebagai bagian dari cagar budaya, tetapi pada hakikatnya sebagian orang memanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai proyek yang menjanjikan. Pertanyaan muncul kemudian, apa yang dihasilkan dari sekadar mendengar narasi jika pada zaman dulu Bandung menjadi kawasan yang banyak dibangun gedung-gedung untuk kalangan elit?

Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #24: Mengakrabi Kemacetan
SAWALA DARI CIBIRU #25: Yang Natural adalah yang Kultural?
SAWALA DARI CIBIRU #26 : Kesehatan Mental dan Kapitalisme

Narasi Sejarah

Pertanyaan ini tentu saja harus selalu dipikirkan. Sebab, bila menggunakan pengamatan diskursus postkolonialisme, bangunan-bangunan yang masih kokoh berdiri di Bandung sekarang ini boleh jadi menghadirkan kembali akar budaya yang memosisikan subjek-objek.

Sebagai contoh, Gedung Societeit Concordia, pada mulanya merupakan tempat kongko bagi orang-orang kaya Eropa. Berbagai data menunjukkan bahwa Societeit Concordia yang dibangun menjelang akhir abad ke-19 itu, konon, kerap digunakan untuk kebiasaan bersenang-senang. Sementara jika melihat posisi orang Bumiputera sendiri mereka berada dalam kebiasaan dan akses ekonomi yang lebih inferior, bahkan hak-haknya yang cenderung dibatasi.

Bila narasi ini dimunculkan kembali pada masa kini, sebetulnya kita sedang membangun wacana kolonialisme baru, karena bayangan kita yang seolah-olah ingin kembali ke zaman keterkungkungan. Bayangan mengenai Societeit Concordia dan pakaian-pakaian bergaya Eropa memungkinkan kita untuk meniru pandangan hidup yang khas di masa itu, sehingga cara-cara peniruan tersebut dapat dirasa menguntungkan, atau tanpa disadari bisa juga mengikuti pola-pola kolonial. Dalam pemikiran Homi Bhabha, misalnya, peniruan atau mimikri dianggap mendatangkan sikap kompromi yang mengandung nuansa ironis. Hal ini berarti bahwa dengan meniru produk kebudayaan orang-orang Eropa di zaman Hindia Belanda membuka celah agar dapat sejalan dengan zeitgeist kolonialisme. Meskipun bagi Homi Bhabha, mimikri sendiri sebetulnya menghadirkan upaya-upaya perlawanan atas semua hal yang muncul dari penjajah, dengan memosisikan diri kaum terjajah sebagai subjek yang sama dengan para koloni itu.

Dalam konsep postkolonialisme Homi Bhabha, mimikri memang diambil dari cara binatang bertahan hidup. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh bunglon ketika mendapat serangan. Hewan berjenis reptil itu akan berubah warna dan menyesuaikan diri dengan tempat lingkungannya berada. Umpamanya saat bunglon berada dalam dedaunan, ia akan berubah warna menjadi hijau untuk mengelabui musuhnya.

Sayangnya, dalam konteks kini, konsep mimikri yang ditawarkan oleh Homi Bhabha tersebut agak sedikit buyar. Masalah yang hadir adalah ketika orang-orang telah betul-betul meniru kebiasaan zaman dulu, terutama tradisi yang ditunjukkan oleh bangsa penjajah seperti sifat hedonisme dan kultur ingin menang sendiri. Dalam wilayah ini, di antara masa lalu dan masa depan terdapat benang merah yang saling berhubungan. Pandangan saya yang serampangan itu didasarkan pada semakin banyaknya mental-mental diskriminatif yang dilakukan orang-orang di masa kini. Padahal sikap seperti itu sudah dilakukan juga oleh bangsa kolonial selama puluhan atau ratusan tahun yang lalu terhadap rakyat Bumiputera.

Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa sejarah tidak saja melulu berpacu di masa lalu. Jika pertanyaan awal terkait dengan “apa yang didapat dari membaca sejarah?”, maka jawabannya adalah berusaha untuk mengambil nilai-nilai perlawanan bila yang disajikan adalah narasi kebiasaan yang tidak bisa diterapkan dalam kondisi sekarang ini. Tetapi bila yang ditampilkan hanyalah narasi biasa dalam pandangan kita, maka seharusnya kita dapat lebih mencermati wacana lain yang bercokol di dalamnya. Misalnya, tentang sejarah merebaknya pandemi pes dan flu Spanyol di Indonesia. Dalam konteks ini sebetulnya ada banyak pola diskursus yang diproduksi dari kemunculan wabah. Dengan kata lain, sejarah mengenai wabah di Indonesia bukan saja menampilkan keganasan virus yang memakan banyak korban jiwa, melainkan juga dari adanya wabah tersebut dapat menghadirkan juga masifnya pergerakan nasional pada dekade awal abad ke-20. Itulah mengapa setiap narasi sejarah mesti dicermati lebih jauh, karena mengandung wacana lain yang tidak ditampilkan secara tersurat.

* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//