• Cerita
  • Sudah 25 Tahun Reformasi, Represi Terhadap Jurnalis Masih Terjadi

Sudah 25 Tahun Reformasi, Represi Terhadap Jurnalis Masih Terjadi

Jurnalis masih menjadi sasaran represi. Dulu bredel, kini serangan dilakukan melalui digital. Represi juga kerap tertuju pada pers mahasiswa dan jurnalis warga.

Suasana nonton bareng film 25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi, karya Human Right Watch Group (HRWG) di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Rabu (31/5/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul3 Juni 2023


BandungBergerak.di – Angka kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Hal ini menjadi catatan kelam 25 tahun reformasi sekaligus ironi: jurnalis adalah pilar demokrasi, namun di represi di negeri demokrasi. Kekerasan tidak sebatas terjadi kepada yang berprofesi jurnalis saja, melainkan kepada jurnalis warga dan pers mahasiswa.

Peneliti dari Human Right Watch Group (HRWG), Fahmi Ahmadi menyebutkan bahwa aktor yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis berasal dari aktor negara dan non-negara. Polisi menduduki peringkat pertama dari aktor negara yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Kasusnya yang banyak adalah melakukan kekerasan fisik saat aksi atau merusak alat liputan jurnalis.

“Itu bisa efektif ketimbang dia (polisi) men-take down. Jadi gak usah dia dikasih akses, larang aja liputan atau alatnya aja dirusak, itu yang dilakukan oleh kepolisian,” ungkap Fahmi yang kerap disapa Abah pada acara Launching dan Diskusi Film “25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi” karya HRWG di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Rabu (31/5/2023).

Fahmi melanjutkan, kekerasan terhadap jurnalis yang sering terlupakan adalah yang tertuju pada pers mahasiswa dan jurnalis warga. Mereka cenderung terlupakan karena karena profesinya yang bukan jurnalis. Beberapa lembaga pers mahasiswa (LPM) yang mendapatkan represi contohnya seperti yang terjadi pada LPM Profesi dan LPM Lintas. Kedua pers mahasiswa (persma) tersebut mendapat represi setelah memberitakan kasus pelecehan seksual di kampusnya.

Fahmi menyebutkan bahwa karya yang diterbitkan persma yang mendapat represi tersebut sudah dinyatakan oleh Dewan Pers telah memenuhi unsur karya jurnalistik. Namun sayang, tidak banyak perlindungan yang diberikan kepada pers mahasiswa karena mereka bukan berprofesi sebagai jurnalis.

Jurnalis bisa mendapatkan perlindungan dari serikat pekerjanya maupun Dewan Pers. Namun jurnalis pun harus tunduk pada kode etik. Dewan Pers sendiri sebenarnya sudah mempunyai MoU dengan Kepolisian bahwa kasus pemberitaan harusnya diproses dengan mekanisme UU Pers dan melalui Dewan Pers.

“Bagaimana dengan jurnalis warga dan pers mahasiswa, maka itu harus menjadi kewenangan dari Komnas HAM,” saran Fahmi yang membeberkan sedikit hasil dari penelitian yang dilakukan olehnya yang berjudul “Melindungi Mereka yang Memberitahu Informasi” yang direncanakan akan terbit pada akhir tahun 2023 mendatang.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Tri Joko Her Riadi menyebutkan, persma-persma di Bandung juga tidak luput dari represi, baik dari aparat maupun pihak kampus. Misalnya kasus LPM-LPM di kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) yang melakukan kolaborasi liputan tentang kasus pelecehan seksual di kampusnya. Mereka lalu di represi. Atau saat pandemi, persma-persma yang menyuarakan tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Joko menyebutkan bahwa peran jurnalis dan jurnalisme seharusnya tidak bergeser. Jurnalis harus selalu menjadi pihak yang mengingatkan bahwa ada pilihan-pilihan alternatif untuk suatu persoalan, selalu ada perspektif penyeimbang yang bisa ditawarkan, serta sebagai pihak yang mengingatkan bahwa ada persoalan yang belum beres.

“Pentingnya jurnalis dan jurnalisme adalah paling tidak dia harus menjadi pihak yang selalu mengingatkan bahwa ada jalan lain, alternatif lain, informasi lain, ada fakta dan cerita lain,” ungkap Joko pada sesi diskusi usai nonton bareng yang dihadiri anggota persma se-Bandung Raya.

Foto bersama pembicara dan peserta acara Launching dan Diskusi Film  25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi yang digelar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Rabu (31/5/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Foto bersama pembicara dan peserta acara Launching dan Diskusi Film 25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi yang digelar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Rabu (31/5/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Komite Keselamatan Jurnalis Mendesak Polisi Mengusut Teror Bom pada Jurnalis Papua
Komite Keselamatan Jurnalis dan Jaringan CekFakta: Peretasan Akun Ketua AJI sebagai Teror terhadap Demokrasi
Buku Digital “Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia”, Kasus Ini Harus Diusut Tuntas

Kebebasan Berekspresi Jantungnya Demokrasi

HRWG merilis film “25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi”, acara peluncuran sekaligus diskusi digelar di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Rabu (31/5/2023). Film tersebut menceritakan tentang beberapa kasus represi yang terjadi di Indonesia. Film ini mengisahkan kembali kasus represi yang terjadi kepada awak media Narasi pada 2022 lalu. Juga membeberkan tentang kondisi kerentanan Jurnalis dan data kekerasan terhadap jurnalis yang dihimpun oleh AJI Indonesia sepanjang tahun 2022.

Diskusi yang digelar selepas nonton bareng film tersebut dimoderatori oleh Ardhi Rosyadi-produser film 25 Tahun Reformasi: Jurnalis Direpresi di Negeri Demokrasi. Pemantik dalam diskusi tersebut adalah Peneliti HRWG Fahmi Ahmadi, Ketua AJI Bandung Tri Joko Her Riadi, Dosen Pendamping Sinesofia Gorivana Ageza, serta Direktur HRWG Daniel Awigra.

Direktur HRWG, Daniel Awigra menyampaikan bahwa salah satu privilese dari negara demokrasi adalah dijaminnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Namun kondisi kebebasan keduanya tidak sepenuhnya terjadi di Indonesia yang mengaku menjalankan negara demokrasi. Awi menyebutkan bahwa seharusnya perlindungan terhadap orang yang berekspresi diberikan secara penuh, bukan sebaliknya.

Awi membeberkan, jurnalis masih menjadi profesi yang rentan, sejak zaman Orde Baru hingga saat ini. Pers dulunya dibredel, namun saat ini, media dan jurnalis mendapatkan serangan melalui digital. Sehingga kondisi jurnalis yang rentan masih tinggi, meski peringatan terhadap reformasi terus diperingati.

“Jantung dari demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Kalau kita mau merawat demokrasi, rawatlah kebebasan berekspresi. Karena tanpa itu gimana kita mau mendengarkan suara yang berbeda, kita kemudian bisa melihat bahwa jalannya pemerintah sedang tidak baik-baik saja, dan jurnalis lah perannya di situ,” ungkap Awi.

Awi mengungkapkan bahwa pemerintahan saat ini sudah homogen. Tidak ada suara kritis yang menjadi oposisi. Sehingga, ungkap Awi, seharusnya media yang kredibel yang menjadi suara kritis, suara pembeda dari narasi yang sama.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//