Proyek Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan di Kota Bandung Memerlukan Pengawasan dari Masyarakat
Tender dan nontender pembangunan atau pemeliharaan jalan di Kota Bandung memerlukan kontrol dari masyarakat. Untuk mengantisipasi kemungkinan korupsi.
Penulis Awla Rajul9 Juni 2023
BandungBergerak.id - Proyek pembangunan atau pemeliharaan jalan di Kota Bandung dilakukan melalui tender dan nontender pengadaan barang dan jasa. Proyek ini memiliki potensi dan peluang korupsi dan kolusi jika tidak dibarengi pengawasan dari masyarakat. Sebaliknya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung diingatkan untuk melakukan pengawasan dan melaksanakan pengadaan barang dan jasa secara bertanggung jawab.
Pakar anggaran Donny Setiawan menjelaskan, ada tiga bentuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang diatur Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018, yaitu tender, non-tender, dan swakelola. Pada konteks pembuatan atau pemeliharaan jalan, skema tender dan nontender biasa dipakai.
Mekanisme tender atau lelang terbuka dilakukan untuk suatu proyek dengan anggaran di atas 200 juta rupiah. Adapun mekanisme nontender atau penunjukan langsung merupakan proyek yang dikerjakan oleh suatu perusahaan yang ditunjuk oleh pemilih proyek (dinas) dengan anggaran terbatas, maksimal 200 juta rupiah. Swakelola merupakan pengerjaan yang dilakukan oleh dinas terkait, tanpa menunjuk perusahaan swasta atau membuka lelang.
“Ya sangat mungkin bukan hanya yang nontender, yang tender aja mungkin. Tender aja yang lelang terbuka bisa diatur apalagi yang penunjukan langsung,” ungkap Donny kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Rabu (31/5/2023).
Untuk mekanisme perawatan jalan di Kota Bandung, pemerintah menerapkan mekanisme penunjukan langsung. Pada tahun 2021, nilai total anggaran pemeliharaan jalan mencapai 18 miliar rupiah di 221 titik. Di tahun 2022 anggarannya meroket mencapai 44 miliar rupiah di 367 titik. Sementara di tahun 2023 per Mei, jumlah nilai sementara anggaran pemeliharaan jalan 1,4 miliar rupiah di 28 titik.
Donny mengugkapkan, pada mekanisme penunjukan langsung, pemilik anggaran memiliki preferensi suatu perusahaan yang “bagus” untuk melakukan pekerjaan. Namun, artian bagus di sini bersifat ambigu dan multitafsir. Misalnya, suatu perusahaan bisa melakukan pengerjaan proyek dengan bagus dan lancar maka dia tergolong perusahaan yang bagus.
“Atau bagus dalam arti bisa kasih feedback yang bagus yang besar. Ngasih setoran yang besar misalnya, jadi sangat besar peluang itu,” beber Donny.
Meski begitu, bila dibandingkan dengan lelang mekanisme penunjukan langsung memang lebih cepat. Penunjukan langsung tidak perlu menunggu pendaftaran lelang, penawaran, dan sebagainya. Suatu dinas mempunyai preferensi untuk suatu pekerjaan, lalu dia akan mengontak perusahaan untuk mengerjakan proyek tersebut. Uang cair, pekerjaan dilaksanakan. Di sini peluang korupsi lebih besar bila dibanding lelang, meskipun nilainya kecil.
Dari sisi kualitas pekerjaan, lanjut Donny, baik tender maupun penunjukan langsung adalah relatif. Jika kontraktor yang mengerjakan tidak qualified atau uangnya lalu dikorupsi oleh kontraktor atau pejabat publik, hasil pekerjaan tetap saja menjadi tidak maksimal.
“Dapat uang 100 juta rupiah, diminta 30 persen, padahal nilai pekerjaan 100 juta rupiah, ya gak cukup. Akhirnya kontraktor ngurangi speknya, nyari aspal low-grade, kalau beton dikurangi betonnya, besinya dikurangi dimensinya,” ungkap Donny.
Adapula memang kontraktor yang berkomitmen menjalankan proyek dengan baik, tapi hal ini minim pengawasan di lapangan. Sehingga peluang ini dijadikan untuk mengurangi bahan material. Di sisi lain, setiap kontraktor pastilah mencari profit. Selisih harga dari bahan material di bawah spesifikasi yang sudah ditentukan bisa menjadi sumber profit itu.
Perencanaan yang Komprehensif dan Kontrol Masyarakat
Banyak sebab jalan-jalan raya yang berulang kali mengalami kerusakan. Hal ini bisa jadi merupakan kesalahan sejak awal-awal asesmen. Bisa jadi yang dibutuhkan bukan perawatan, tapi pengaspalan baru. Atau ada kemungkinan kerusakan jalan tersebut disebabkan praktik korupsi sehingga bahan material yang digunakan tidak sesuai spesifikasi dan kualitas rendah.
Donny mengatakan bahwa pemerintah harus komprehensif menilai sejak rencana perbaikan, penggunaan bahan material, dan konsekuensinya. Secara pribadi, ia menyarankan untuk perawatan jalan skala kecil lebih baik mengunakan skema swakelola. Bagaimanapun, pemberian proyek secara penunjukan langsung pastilah sudah mempertimbangkan profit untuk kontraktor, dan membutuhkan waktu proses untuk kontrak ulang.
“Kalau swakelola kan tidak mempertimbangkan profit karena dinas sendiri yang melaksanakan. Yang kecil menurut saya baik begitu, lebih cepat. Jadi biar kontraktor mainnya di perawatan jalan berat atau sedang dan pembuatan jalan baru,” ungkap Donny.
Baik tender, nontender, maupun swakelola seluruh informasinya telah dimuat di laman LPSE. Informasi berupa nilai pengerjaan, deskripsi, pemenang tender, identitas, berikut alamatnya. Donny menegaskan bahwa informasi ini ditujukan agar publik dapat mengawal pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor.
Meski begitu, belum semua orang tahu dan paham mengenai LPSE. Sehingga, menurut Donny penting untuk menaruh informasi (plang proyek) di lokasi yang sedang dikerjakan sebagai bahan transpransi publik dan kontrol publik.
“LPSE itu ada tapi kan gak semua buka LPSE dan gak semua bisa buka LPSE. Makanya plang proyek itu jadi penting disimpan di lokasi supaya masyarakat tahu dan bisa mengawasi. Harusnya speknya begini dan kalau gak sesuai spek, masyarakat bisa protes,” lanjut Donny.
Selain itu, Donny menyarankan kepada masyarakat agar aktif menggunakan media sosial sebagai alternatif kontrol publik. Terlebih belakangan terkenal jargon “no viral no justice” di media sosial. Masyarakat bisa menginformasikan temuan di lapangan melalui media sosial, tentunya lengkap dengan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.
Masyarakat kemudian bisa “mencolek” kementerian atau dinas terkait. Sebab, menurut Donny, belakangan memang pengambil kebijakan pararel dengan medsos. Contoh, perbaikan jalan di Lampung baru dilakukan setelah Bima memviralkan kondisi jalan rusak melalui TikTok.
Anggaran Pas-pasan
Anggota DPRD Kota Bandung Komisi C Uung Tanuwidjaja menyebutkan, kerusakan jalan yang terus berulang merupakan kesalahan teknis saat pengerjaan, atau karena waktu perawatan jalan yang dilakukan mendadak terutama di musim hujan. Kerusakan jalan yang terus berulang juga harus dipertimbangkan dari kapan terakhir kali ruas jalan tersebut dilakukan pengaspalan baru secara keseluruhan.
“Terakhir kali di-overlay kapan itu mesti tahu, apakah selama enam tahun gak pernah diperbaiki secara keseluruhan itu mungkin menghasilkan jalan yang susah diperbaiki. Tapi kalau misalnya setiap tahun di-overlay, dirawat dengan baik itu mungkin perawatannya lebih sedikit,” ungkap Uung Tanuwidjaja, kepada BandungBergerak, Jumat (2/6/2023).
Penambalan jalan yang dilakukan saat musim hujan memang rentan untuk rusak dan tidak bertahan lama. Idealnya, perbaikan jalan dilakukan dengan pengaspalan baru secara keseluruhan, meskipun hal ini membutuhkan biaya yang sangat banyak.
Politikus Partai NasDem tersebut menyebutkan, anggaran untuk jalan di Kota Bandung pas-pasan. Jumlahnya sekitar 42 miliar rupiah per tahun. Angka ini belum mampu memenuhi perbaikan keseluruhan kerusakan jalan yang ada di Kota Bandung sepanjang satu tahun anggaran. Beberapa jalan yang masih rusak pun harus menunggu anggaran tahun yang akan datang.
“Kalau anggaran 42 miliar itu sebut cukup ya harus cukup, sebut tidak cukup juga memang tidak cukup kenyataannya. Jadi kita memang juga butuh skala proritas. Idealnya sih mungkin bisa di atas itu,” lanjut Uung.
Uung menyebutkan, kerusakan jalan juga terjadi akibat ruas jalan yang dilalui oleh kendaraan yang seharusnya tidak melalui ruas jalan tertentu. Misal, jalan menengah untuk kendaraan pribadi tapi dilalui oleh bus atau tronton dengan tonase besar. Ia mengaku sering melihat kendaraan-kendaraan dengan besar melewati jalan yang tidak semesteinya. Praktik ini sebenarnya pelanggaran.
Untuk melakukan pengaspalan baru, pemerintah perlu menilai tingkat pemakaian hariannya serta risiko kerusakan. Sehingga untuk melakukan pengaspalan baru, pemerintah perlu melakukan asesmen langkah perbaikan yang perlu diambil dan penganggaran. Ia memberikan catatan, seharusnya jika terjadi kerusakan di suatu ruas jalan harus segera diantisipasi agar tidak menghasilkan kerusakan yang lebih besar.
“Kalau lubangnya dikit tapi itu sudah tahu rusak, langsung dilakukan perbaikan supaya tidak melebar. Kalau melebar sebulan saja cepat sekali itu rusak. Lubang kecil lama-lama makin besar, terus ketemu musim hujan itu makin cepat terjadi kerusakannya,” sebut Uung.
Uung menambahkan, DPRD Kota Bandung memang tidak ikut melakukan tahapan seleksi dari proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, anggota dewan bisa memberikan evaluasi dari hasil pekerjaan suatu kontraktor. Jika suatu jalan kembali berulang rusak dan diketahui kontraktor yang mengerjakannya, sudah seharusnya menjadi tugas anggota DPR untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk tidak menggunakan lagi jasa dari suatu kontraktor tersebut.
Baca Juga: Tambal Sulam Aspal Jalan Kota Bandung
Parade Jalan Rusak Kota Bandung
Jalan Rusak di Pinggiran Bandung Luput dari Proyek Pemeliharaan
Pengadaan Barang dan Jasa yang Bertanggung Jawab
Dosen Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Tutik Rachmawati menyebutkan, secara global pengadaan barang dan jasa pemerinta adalah sektor kedua tertinggi yang rawan terjadinya korupsi. Tutik juga menyebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa menjadi sumber penyelewengan atau korupsi. Mekanisme ini bahkan sudah menjadi semacam mata uang cara balas jasa.
“Lelang barang dan jasa menjadi semacam currency atau mata uang sebagai cara balas jasa mereka yang punya ambisi politik dan mungkin berhasil dengan dukungan dari berbagai mesin-mesin pendulang suara. Setelah mereka berada dalam kekuasaan, dekat sumber daya (tender) maka ya tender menjadi mesin balas jasa,” jelas Tutik, kepada BandungBergerak.id, Sabtu (3/6/2023).
Ia menyebutkan, dalam paradigma penyelenggaraan pemerintah, pengadaan barang dan jasa dengan melibatkan swasta adalah cara untuk penyelengaraan pemerintah yang lebih baik. Caranya adalah pemerintah menerapkan prinsip “value for money” pada setiap aktivitas pemerintah, seperti yang dilakukan oleh pihak swasta.
Namun Tutik menyoroti mekanisme penunjukan langsung yang menghilangkan semangat kompetisi yang merupakan bagian penting dari tender. Persoalan ini merupakan hal klise di kebijakan publik di Indonesia. Kebijakannya ada dan baik di atas kertas. Tapi implementasinya, seperti penunjukan langsung, justru kontraproduktif dalam mencapai tujuan Indonesia yang bersih dari korupsi.
“Dengan penunjukkan langsung berarti hilang semangat kompetisi yang merupakan bagian penting dari tender. Padahal kompetisi menjadi salah satu cara untuk mendapatkan value for money. Kompetisi mendapatkan value for money terbaik adalah salah satu cara mentransformasi penyelenggaraan pemerintah, bahkan mungkin bisa diandalkan sebagai cara menghilangkan korupsi di pengadaan barang dan jasa pemerintah,” lanjut Tutik.
Tutik sempat melakukan penelitian tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia. Risetnya membahas bagaimana membuat tata kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah yang bertanggungjawab (Socially Responsible Public Procurement/SRPP). SRPP ini merupakan lelang barang dan jaga yang mengintgrasikan kriteria manfaat sosial dan lingkungan dengan tujuan untuk kebaikan masyarakat atau nilai sosial.
Nilai sosial dari SRPP ini meliputi dampak positif bagi publik seperti perbaikan kondisi lingkungan, pelestarian alam, peningkatan standar kerja, keadilan, kesetaraan dan inklusi sosial. Tutik mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah sudah mengakui pentingnya prinsip SRPP.
Melalui Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2010 (pasal 105), pemerintah telah mendorong organisasi-organisasi publik untuk lebih mengutamakan kemanfaatan ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat dalam proses lelang barang/jasa publik. Namun terdapat hambatan sehingga hasil yang dicapai belum maksimal.
Hambatannya seperti kurangnya komitmen pejabat publik dan kurangnya pengetahuan dan keterampilan petugas pengelola bagaimana integrasi nilai sosial dan lingkungan dalam aturan teknis lelang. Pun biasanya pejabat dari pengadaan enggan mengutamakan kemanfaatan sosial dan lingkungan jika kemudian menimbulkan biaya lain.
Salah satu ide yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membuat mekanisme daftar putih. Pemerintah sebelumnya sudah membuat daftar hitam di laman https://inaproc.id/daftar-hitam. Meski tidak ada informasi atau petunjuk lebih lanjut yang dapat dilakukan masyarakat jika menemukan perusahaan yang ada di daftar hitam melakukan suatu pengerjaan lelang.
Daftar putih memuat informasi mengenai kinerja perusahaan, prestasi perusahaan dalam menciptakan manfaat sosial dan lingkungan dalam pekerjaan lelang yang dimenangkan. Tutik berpendapat, daftar tersebut bisa menjadi pelengkap yang baik terhadap mekanisme daftar hitam untuk mengatasi kecurangan dan korupsi pada pengadaan barang dan jasa publik.