• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Penutupan 23 Kampus dan Jati Diri Lembaga Pendidikan Tinggi

MAHASISWA BERSUARA: Penutupan 23 Kampus dan Jati Diri Lembaga Pendidikan Tinggi

Pertimbangan yang paling berpengaruh dalam pemilihan jurusan bagi calon mahasiswa adalah bagaimana ia kelak akan bekerja setelah menempuh pendidikan tersebut

Fathiyah Khairiyah

Mahasiswa Universitas Widyatama Bandung

Pekerja melakukan pembuatan sepatu yang akan diekspor di pabrik sepatu Fortune Shoes, Bandung, Rabu (31/3/2021). Industri alas kaki untuk pasar ekspor mulai bergeliat setelah selama tahun 2020 terpuruk akibat pandemi dan lockdown global terutama di Eropa dan Asia. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Juni 2023


BandungBergerak.id – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan surat keputusan untuk mencabut izin operasional dari 23 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai  daerah di Indonesia pada Kamis, 25 Mei 2023. Jakarta menduduki jumlah tertinggi ditutupnya perguruan tinggi swasta dengan total 5 perguruan tinggi. Disusul dengan Surabaya, Medan, Padang, Manado dan Bekasi dengan masing-masing 2 perguruan tinggi. Pencabutan izin operasional ini berdasarkan kepada pengaduan masyarakat serta pemeriksaan tim evaluasi kinerja.

Mengutip TribunJabar (25/5/2023), Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) menyatakan pencabutan izin operasional perguruan tinggi swasta tersebut dilakukan bertahap berdasarkan bukti dan fakta yang ditemukan di lapangan. Sanksi ini diberikan kepada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan dasar pendidikan tinggi. Institusi pendidikan ini melakukan praktik yang melanggar undang-undang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP.

Fakta pelanggaran terhadap peraturan pendidikan bahkan hingga praktik jual beli ijazah yang terjadi merupakan identifikasi dari hilangnya esensi belajar pada mahasiswa. Tujuan menduduki bangku perkuliahan bukan lagi atas nama ilmu, akan tetapi semata-mata untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, memperoleh pekerjaan yang baik, menjadi tenaga kerja.

Sudah bukan hal yang asing menjadikan tujuan kuliah adalah untuk bekerja. Berbagai perguruan tinggi berbondong-bondong menyuguhkan berbagai prospek kerja sebagai daya jual dari jurusan, fakultas, bahkan universitasnya itu sendiri. Sehingga tak ayal, pertimbangan yang paling berpengaruh dalam pemilihan jurusan bagi calon mahasiswa adalah bagaimana ia kelak akan bekerja setelah menempuh pendidikan tersebut.

Setelah masa pembelajaran dimulai, kampus tak kenal libur memberikan seminar-seminar mengenalkan berbagai pekerjaan kepada mahasiswanya. Ceramah mengenai pekerjaan pun tidak akan luput dari setiap pertemuan dari perkuliahan. Bahkan kurikulum memfasilitasi bagi mahasiswanya untuk segera memulai karier bahkan dari sebelum kelulusan untuk menambahkan pengalaman kerja sekaligus menjadi sumber daya manusia yang menjanjikan dan “murah” bagi berbagai perusahaan.

Universitas sudah bagaikan pabrik yang memproduksi tenaga kerja. Bukan sebagai lembaga pendidik yang mengagungkan ilmu dan mencetak generasi emas, berkarakter, ilmuwan pembangun bangsa. Maka tak heran ketika praktik-praktik pelanggaran terjadi, karena bisa jadi, pada kaca mata pelanggar hal tersebut dihalalkan karena tujuannya datang ke perguruan tinggi hanya untuk mendapatkan ijazah agar bisa mendapat pekerjaan yang baik.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sekalinya Coldplay DatangPotret Psikologis Ibu Bekerja dalam Bingkai Masyarakat Patriarki
Fenomena Kredit Pendidikan di Kampus, Buat Mahasiswa Untung atau Buntung?

Permasalahan yang Sistemik

Hilangnya esensi belajar pada mahasiswa bukan datang tanpa sebab. Cara pandang mahasiswa akan hal yang baik dan buruk, yang boleh atau tidak, standarnya dalam mendefinisikan sukses dan berhasil tidak terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan dan masyarakat, yang dalam konteks ini adalah perguruan tinggi dan para penyelenggaranya, merupakan penyumbang terbesar pembangun mahasiswa. Akan tetapi, perguruan tinggi yang membentuk mahasiswa tidak bergerak dengan sendirinya. Terdapat sistem, sistem pendidikan yang terpancar dari sistem pemerintahan negara bahkan dunia yang memiliki andil besar dalam membangun pendidikan serta menggerakkan gerigi pada setiap sendi dunia pendidikan.

Maka, sistem yang memaksa perguruan tinggi meninggalkan idealitasnya sebagai pencetak generasi emas. Kapitalisasi pendidikan pada perguruan tinggi tidak bisa dihindari. Sistem sebagai nakhoda pada setiap dasar poros pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Suka tidak suka,  sistemlah yang membangun perspektif perguruan tinggi yang sukses adalah perguruan tinggi yang berhasil mencetak mahasiswanya berhasil bekerja untuk korporat. Sistem yang menjadikan perguruan tinggi mau tidak mau berorientasi pada keuntungan materil, mendorong setiap lembaganya untuk menghasilkan generasi dengan mental pekerja. Sistem yang menjadikan semua aset yang dimiliki pendidikan sebagai barang modal yang harus mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Tentu saja keuntungan bagi para korporat, pemodal  skala besar pemegang keputusan dalam negara. Sistem yang mengubah cara pandang, kaca mata persepsi para pendidik dan peserta didik terhadap pendidikan yang ditimbanya.

Menengok Sejarah Pendirian Perguruan Tinggi

Menengok kembali sejarah, Universitas al-Qarawiyyin yang menjadi awal dari lahirnya seluruh perguruan tinggi di dunia memiliki visi yang sangat kontras dengan fakta perguruan tinggi hari ini. Fatimah al-Fihri yang menjadi pendiri dari universitas tersebut membangun universitas al-Qarawiyyin dengan dasar semangat dalam membangun ruang sosial yang mendukung pertukaran gagasan intelektual untuk pembelajaran serta pengajaran yang berprogres. Dengan visinya ini, Fatimah al-Fihri menjadi panutan bagi banyak universitas di penjuru Eropa. Berikut dengan struktur pembelajaran profesionalnya, serta institusinya, al-Qarawiyyin seakan bergema di seluruh benua Eropa berabad-abad setelahnya.

University of Bologna dan University of Oxford merupakan universitas yang hadir berkatnya. al-Qarawiyyin banyak didatangi pelajar dari berbagai penjuru dunia. Bahkan pada saat itu al-Qarawiyyin bisa menghantarkan dunia kepada peradaban “Golden Ages”, yang menjadi secercah cahaya bagi “Dark Ages” yang melanda Eropa. Ilmu pengetahuan sangat dihormati, mahasiswanya hadir dengan sungguh-sungguh dengan tujuan semata-mata mencari ilmu. Sehingga banyak tokoh penting yang lahir darinya. Esensi pendidikan memang untuk bertukar intelektualitas yang menghantarkan kepada penemuan-penemuan hebat pengukir sejarah. Mencetak generasi emas yang membangun dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali.

Lahirnya seorang yang memiliki pemikiran cemerlang yang bervisi seperti Fatimah al-Fihri tidak lain karena terbentuk oleh sistem yang membangun lingkungan serta masyarakat di dalamnya. Dapat dibuktikan juga dengan sultan yang memegang pemerintahan pada masa itu yang sangat mendukung keberlangsungan Universitas al-Qarawiyyin dengan visi yang sejalan dengan visi Fatimah al-Fihri. Sehingga terbukti, kesinambungan antara visi sistem yang mendasari perguruan tinggi, perguruan tinggi itu sendiri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi payung bagi mahasiswa, dan mahasiswa yang berperan sebagai agen-agen perubahan akan menghantarkan pendidikan pada tujuannya.

Visi pendidikan yang benar antara sistem, lembaga pendidikan, dan mahasiswa akan menghantarkan pendidikan pada kegemilangannya, kemajuan negara bahkan peradaban. Tidak akan ada tindak pembelajaran fiktif, hingga jual beli ijazah pada perjalanannya. Namun sebaliknya, visi pendidikan yang melenceng antara sistem, lembaga pendidikan, juga mahasiswa akan menghantarkan pendidikan kepada kehancuran generasi yang akan melanjutkan tongkat estafet dalam membangun peradaban.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//