• Kolom
  • MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #4: Maskoen Soemadiredja dalam Gemuruh Zaman Bergerak

MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #4: Maskoen Soemadiredja dalam Gemuruh Zaman Bergerak

Maskoen Soemadiredja (1907-2004) adalah generasi pertama PNI Bandung. Pernah dihukum bersama Sukarno, diasingkan ke Boven Digul, dan melawan Belanda dari Australia.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Maskoen Soemadiredja (1907-2004), tokoh PNI cabang Bandung. (Sumber: Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Nasional: Maskoen Soemadiredja, 2005, hlm. 29; Dokumentasi Andika Yudhistira Pratama)

14 Juni 2023


BandungBergerak.id – “Semua hadirin yang memiliki semangat kebangsaan dan berbudaya akan berdiri untuk menghormati lagu Indonesia raya, hanya mereka yang berjiwa kerbau akan tetap duduk.” Seru Maskoen Soemadiredja (selanjutnya ditulis Maskoen) dalam salah satu rapat umum PNI cabang Bandung yang  dilangsungkan di Jl. Suniaraja, Bandung.

Dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Nasional: Maskoen Soemadiredja (2005), Seruan tersebut, ia tujukan sebagai ejekan kepada para pejabat dan polisi pemerintah kolonial yang enggan ikut berdiri saat mengawasi jalannya rapat umum PNI tersebut. Bukan tanpa alasan, kebencian dalam Maskoen kepada kolonialisme Belanda tidak terlepas dari pengalaman masa lalunya. Semua berawal saat ia berusia 19 tahun. Saat itu, ia bersama teman-temannya mendapat hinaan dari para pemuda Belanda dalam perjalanannya menuju gedung Societet, Bandung, untuk menyaksikan pertunjukan sandiwara dari kelompok "Batovis" (kelompok sandiwara Sutan Sjahrir).

Lahir di Bandung pada 25 Mei 1907, ia merupakan anak bungsu dari pasangan Raden Umar Soemadiredja dan Nyi Raden Umi. Sebagaimana anak bangsawan lainnya, ia diberi kemudahan dalam menempuh pendidikan. Tercatat, ia menempuh pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsch School) selama tujuh tahun dan melanjutkannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Tulis Arya Ajisaka dalam Mengenal Pahlawan Indonesia (2008).

Baca Juga: MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #1: Titik Berangkat M. Natsir Menjadi Tokoh Politik dan Pendidikan Islam
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #2: Abdoel Moeis, Jurnalis yang Antikomunis
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #3: Secuplik Kisah Perjalanan Politik dan Jurnalistik S. K. Trimurti

Bersama PNI Cabang Bandung

Mengutip kembali Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Nasional: Maskoen Soemadiredja (2005), kesadaran politik dan nasionalisme dalam diri Maskoen, merupakan hasil dari pergaulannya bersama para aktivis pergerakan di Bandung. Maka tak mengherankan, saat usianya baru menginjak 20 tahun, ia mendaftarkan diri sebagai anggota generasi pertama PNI. Sejak saat itu pula, ia menanggalkan gelar "Raden" yang melekat pada dirinya.

Sebagai anggota PNI, ia mendapat pelajaran mengenai sejarah perekonomian, nasionalisme, dan ilmu pemerintahan. Kariernya di PNI terbilang cemerlang, selain sebagai seorang propagandis yang cukup mumpuni dalam tubuh PNI, pada tahun 1928, ia menduduki jabatan sekretaris II cum Resort Commisaris PNI cabang Bandung di bawah pimpinan Sukarno dan Mr. Iskak Tjokroadisurjo. Selain itu, ia aktif mengunjungi daerah-daerah guna merekrut anggota baru dan menyebarkan nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat.

Medio 1928-1929, selain aktif melakukan perjalanan ke daerah-daerah untuk merekrut anggota baru, ia pun aktif dalam menyebarluaskan prinsip-prinsip nasionalisme secara terbuka kepada masyarakat guna melawan kolonialisme. Menurutnya, kemerdekaan sejatinya harus diraih dengan kemandirian, tanpa mengharapkan kebaikan bangsa asing, terutama bangsa Belanda.

Selanjutnya, Ia turut membantu Gatot Mangkupraja dalam penerbitan surat kabar Banteng Priangan, yang merupakan corong PNI cabang Bandung. Bahkan, rumahnya yang berlokasi di Regentweg 5, dijadikan sebagai kantor administrasi dari surat kabar berbahasa Sunda tersebut.

Aktivitasnya bersama PNI, semakin mengukuhkan sikap anti kolonialisme dalam dirinya. Pernah dalam satu waktu, ia menentang keinginan saudaranya yang hendak melanjutkan sekolah ke MULO (sekolah setingkat SMP untuk orang Eropa) dan menganjurkan saudaranya untuk bersekolah ke Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara.

Tahun 1941, foto bersama di Boven Digul karena Ny. Maskoen Soemadiredja dan anak-anak akan kembali ke Pulau Jawa. (Sumber: Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Nasional: Maskoen Soemadiredja, 2005, hlm. 17; Dokumentasi Andika Yudhistira Pratama)
Tahun 1941, foto bersama di Boven Digul karena Ny. Maskoen Soemadiredja dan anak-anak akan kembali ke Pulau Jawa. (Sumber: Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Nasional: Maskoen Soemadiredja, 2005, hlm. 17; Dokumentasi Andika Yudhistira Pratama)

Penangkapan dan Pengasingan

Memasuki tahun 1929, perkembangan yang terjadi dalam tubuh PNI, menimbulkan kecemasan bagi pemerintah Hindia Belanda. Hingga tiba waktunya, pada 29 Desember 1929, saat menghadiri kongres PPPKI di Yogyakarta, keempat tokoh PNI ditangkap dan kemudian ditahan di Penjara Banceuy, Bandung. Proses peradilannya dimulai pada 18 Agustus 1930 di Landraad (kini bernama Gedung Indonesia Menggugat), Bandung. Dalam persidangan tersebut, Sukarno membacakan pledoi berjudul “Indonesia Menggugat”, yang menurut M.C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern (2010, hlm. 396), merupakan “pidato pembelaan yang cemerlang”.

Meski pada akhirnya, sidang peradilan memutuskan bahwa keempat tokoh PNI tersebut dianggap melanggar pasal "karet", yaitu, pasal 153 bis dan pasal 169 Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka dinyatakan telah mengganggu ketertiban umum dan dianggap merencanakan tindakan makar. Di antara keempat tokoh tersebut, Maskoen dijatuhi masa hukuman paling ringan, 20 bulan masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung.

Penangkapan tersebut berdampak pada lesunya kegiatan PNI. Mr. Sartono, yang saat itu dapat dikatakan beruntung, karena tidak ikut ditahan, berinisiatif membubarkan PNI dan mendirikan Partindo (Partai Indonesia) sebagai gantinya. Hal itu terjadi, sebagai upaya dari Mr. Sartono untuk menyelamatkan para anggota PNI lainnya dari kemungkinan penangkapan dan penahanan berikutnya.

Selanjutnya, muncul gelombang protes dari tokoh-tokoh pergerakan lainnya, sebagai reaksi terhadap penahanan yang menjerat keempat tokoh PNI. Akibatnya, pada akhir tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda membebaskan ke empat tokoh PNI tersebut. Penahanan tidak mampu melumpuhkan pergerakan mereka.  Sukarno melanjutkan aktivitas politik dan pergerakannya bersama Partindo, sedangkan Maskoen memilih bergabung bersama PNI-Baru yang diketuai Moh. Hatta.

Kecemasan yang berlebihan dari pemerintah kolonial kambuh, PNI-Baru dianggap sebagai ancaman. Maka pada tahun 1934, Maskoen yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua PNI-Baru kembali ditangkap dan ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung, sebagai tahanan politik bersama tokoh-tokoh PNI-Baru lainnya.

Satu telah tahun berlalu, pada 20 Maret 1935, ia bersama keluarga dan kawan-kawan politiknya diasingkan ke Tanah Merah, Boven Digul. Kondisi kehidupan yang sulit di pengasingan, memaksanya untuk berpisah dengan istrinya, yang hendak kembali ke Pulau Jawa untuk mencari kehidupan yang lebih baik untuk ketiga anaknya.

Saat terjadinya peralihan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang pada tahun 1942, Maskoen bersama para Digulis lainnya dipindahkan menuju Merauke menggunakan kapal Catalina, dan dilanjutkan dengan kapal PPM menuju Cowra, New South Wales, Australia. Harry A. Poeze dalam From Foe to partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia 1943-1945, mencatat, total Digulis yang diangkut ke Australia sekitar 524 orang yang terdiri dari 316 laki-laki, 69 perempuan, dan 139 anak-anak (Jurnal Indonesia 94, Oktober 2012, hlm. 57-84).

Beberapa hari setelah tiba di Australia, Van der Plas, (ketua komisi Hinda Belanda di Australia), mempekerjakan beberapa anggota PNI-Baru seperti Boerhanoedin, Moerwoto, Soeka Soemitro, Maskoen Soemadiredja, dan T. A. Moerad, serta seorang anggota PARI (Partai Republik Indonesia) yang bernama Moenandar sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Belanda ke dalam bahasa Indonesia cum staff redaksi surat kabar Oetoesan Penjoeloeh yang merupakan corong dari NIGIS (Departemen Penerangan Hindia Belanda di Pengasingan).

Pada 24 Mei 1944, sekitar 16 orang tahanan Digul yang tergabung dalam Raad van Department Hoofden, berkumpul dan membahas tentang pembentukan suatu perkumpulan perjuangan orang Indonesia di Australia guna membebaskan tanah airnya dari kekuasaan fasisme Jepang. Pertemuan tersebut membuah hasil, pada tanggal 6 Agustus 1944, terbentuk organisasi yang bernama Serikat Indonesia Baroe (SIBAR).

Maskoen termasuk dalam jajaran pengurus organisasi yang diketuai oleh Sardjono tersebut. Pada tanggal 6 Agustus 1945, di Melbourne, Australia, Maskoen memimpin acara peringatan satu tahun berdirinya SIBAR. Acara tersebut, dibuka dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Namun, seiring dengan kekalahan fasisme Jepang dalam Perang Dunia II, tugas SIBAR dalam mendukung sekutu melawan Fasisme telah selesai. Maka pada 3 September 1945, SIBAR dinyatakan telah bubar. Setelah itu, masih di Australia, Maskoen turut terlibat dalam pembentukan Komite Indonesia Merdeka (KIM) dan Australia Indonesia Association (AIA).

Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan antara para tahanan Digul dengan orang-orang Belanda di Australia bergemuruh. Hal itu terjadi, disebabkan pidato Van Mook pada September 1945, yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka pada tanggal 1 Oktober 1945, Maskoen bersama dengan Sudihiyat dan Nona Soewatri menjadi pembicara dalam sebuah rapat umum di Savoy Theatre, Melbourne, Australia. Dalam rapat tersebut, ketiganya berbicara mengenai cita-cita kemerdekaan dan menekankan para pemuda untuk turut berjuang di pihak Republik Indonesia.

Pada tanggal 20 November 1945, Maskoen menghadiri sebuah pertemuan di Sydney Tower. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas tentang langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melawan Belanda. Selanjutnya, Maskoen tercatat dalam sebuah proyek pembuatan film dokumenter yang berjudul “Indonesia Calling” atau pemulangan orang-orang Indonesia dari Australia.  (2005, hlm. 23-24).

Kembali Ke Indonesia

Pada Februari 1946, Maskoen bersama rombongan repatriasi (pemulangan orang Indonesia) kedua tiba di Tanjung Priok, setelah itu, ia ditempatkan dalam asrama di Kober, Purwokerto. Tidak lama kemudian, melalui Mr. Iskak Tirtoadisurjo, ia dapat bertemu kembali dengan Sukarno di Yogyakarta.

Dalam pertemuan tersebut, ia menyanggupi permintaan Sukarno untuk ikut dalam perjalanan rombongan presiden ke Jawa Barat. Keputusan tersebut, menjadi berkah tersendiri baginya. Sebab, selama turut serta dalam perjalanan tersebut, untuk pertama kalinya, di Garut, ia dapat kembali bertemu dengan istrinya yang mengungsi akibat kondisi Kota Bandung yang tidak aman pasca kedatangan sekutu. 

Selanjutnya, selama masa revolusi, ia ditugasi Mr. Ali Sastroamidjojo untuk menyusun siaran luar negeri. Setelah itu, ia ditugaskan Sukarno di kantor Gubernur Jawa Barat untuk mengembangkan semangat juang rakyat dalam deru revolusi kemerdekaan. Pada tahun 1947, ia kemudian ditugaskan di Departemen Dalam Negeri.

Pada 30 Oktober 1955, bersama para eks tahanan Digul lainnya, ia turut mendirikan Persatuan Perintis Kemerdekaan Bekas Boven Digul (PPKBD). Organisasi tersebut, pada tanggal 14 November 1959 berganti nama menjadi Persatuan Perintis Kemerdekaan Indonesia (Perintis Kemerdekaan), di mana Maskoen terpilih sebagai ketua umum.

Selama masa Orde Lama hingga Orde Baru, tercatat, bahwa Maskoen pernah bekerja di PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), Panitia Keamanan di Departemen Hankam, Pakem Kesejahteraan Agung, Panitia Kotum Haji, Badan Pembina Pahlawan Pusat Departemen Sosial, dan Anggota Tim P-7 Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan P-4.

Di Usia 79 tahun, tepatnya pada 4 Januari 1968, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional, Kalibata, Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangannya, Berdasarkan Keputusan Presiden RI No: 089/TK/TH 2004 tanggal 5 November 2004, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2004. (2005, hlm. 25-28).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//