Cerita dari Clemencia #2
Internet bisa menjadi wadah aktivisme perubahan sosial. Namun jangan pula meninggalkan mereka terus bergerak dalam keterbatasan, atau bahkan tanpa akses internet.
M. Fasha Rouf
Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.
20 Juni 2023
BandungBergerak.id - Clemencia Rodriguez telah memberikan sumbangsih besar pada bidang komunikasi perubahan sosial. Salah satu perjuangan utamanya adalah untuk meletakkan kembali pentingnya sebuah konteks dalam penelitian dan pergerakan perubahan sosial. Dia menolak dengan tegas pembangunan yang positivistik, sekalipun berlabel perubahan sosial. Menurutnya, formula dan model yang dibawa berbagai lembaga donor maupun institusi global lainnya, seringkali tidak efektif bagi perubahan sosial di akar rumput, alih-alih meninggalkan sekelompok masyarakat.
Dalam mengarusutamakan wacana tersebut, Clemencia seringkali berlandaskan pada ide-ide pemikir Amerika Latin, sekaligus membawa wacana epistimologis pascakolinial dan berbasis pada kearifan pengetahuan lokal. Dia mengajarkan isu-isu tersebut kepada mahasiswanya dengan cara yang unik dan tepat. Dia menyebut aktivitas kelasnya sebagai “journey”. Sebuah metode bercerita intuk memahami citizen media dengan konteksnya, baik itu negara maupun masyarakat lokal.
Namun, mahasiswanya di Temple University seringkali memprotes karena Clemencia terlalu banyak menjelaskan kasus-kasus radio komunitas. Bagaimana dengan pergerakan di media sosial seperti Twitter, Instagram, Tiktok, atau Facebook?
Tulisan kali ini akan mencoba menjelaskan bagaimana Clemencia Rodiriguez memandang internet dan pergerakan sosial. Secara umum, dia tak menafikan bagaimana media sosial di era ini mampu menjadi salah satu cara dan alat untuk komunikasi perubahan sosial. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sekaligus dikritik.
Algoritma dan Mesin Kapitalistik
Argumen kunci Clemencia Rodriguez ialah soal keterikatan atau bahkan ketundukan pengguna media sosial pada perusahaannya. Perusahaan raksasa internet saat ini memiliki penetrasi dan eskalasi bisnis sangat cepat. Bisnis perusahaan media sosial tak lain ialah tambang data pengguna. Mereka memanipulasi dan mengawasi aktivitas pengguna, dan mengolah aktivitas pengguna ke dalam algoritma. Singkatnya, di media sosial, gerakan perubahan sosial tidak dapat sepenuhnya secara independen menentukan kepada siapa konten akan sampai, karena lebih ditentukan oleh kerja-kerja algoritma.
Kondisi tersebut berbeda dengan radio komunitas. Ketika masyarakat membangun radio komunitas, mereka membeli peralatan radio seperti antena dan transmitor dari perusahaan. Namun setelah itu, pengelola radio komunitas tidak lagi memiliki hubungan sama sekali dengan produsen alat-alat radio tersebut. Kontrol pengelolaan media masyarakat sepenuhnya berada di tangan komunitas. Clemencia membahasakan itu dengan aktivitas media “bye-bye company”. Independensi komunitas dalam memproduksi konten, menentukan pesan dan sasaran, serta mendistribusikannya akan lebih berkualitas, efektif, dan bermanfaat bagi kebutuhan komunitas.
Selain itu, menurut pembacaannya dan diskusi dengan beberapa peneliti komunikasi lain, seiring kejumudan dan menggunungnya sampah konten yang dihasilkan oleh internet, media komunitas akan semakin dibutuhkan. Media komunitas dapat menjadi solusi dari kebohongan yang rumit (deep-fake) serta berita bohong (fake-news) yang dihasilkan kecerdasan buatan dan algoritma internet. Pada akhirnya, komunitas akan “seeking media with algorithm free.”
Regulasi Politik Internet
Selain dari sisi korporasi, kehadiran internet bagi masyarakat sipil patut dipandang dari sisi bagaimana negara mengaturnya, baik bagi perusahaan maupun bagi pengguna. Dari segi infrastruktur hingga regulasi soal konten.
Clemencia menceritakan kondisi Kolombia yang justru mengizinkan perusahaan telekomunikasi untuk mengkooptasi sebuah wilayah. “Jadi ketika di sebuah daerah saya menggunakan SIM card A, dan akan berpindah ke wilayah yang lain, maka SIM card A saya menjadi tidak berguna sama sekali dan harus menggantinya dengan Simcard X,” ceritanya sinis.
Di Indonesia sendiri, relasi pemerintah dan perusahaan internet sangatlah kompleks. Misalnya soal tari ulur pajak perusahaan media sosial yang eksis di Indonesia, soal pembayaran upah dan kontrak para pekerja perusahan online, soal Undang-undang ITE, dan yang lainnya.
Bahkan relasi tersebut sangat mengerikan di kasus korupsi pembangunan Base Transceiver Station (BTS). Berdalil untuk meningkatkan akses internet di beberapa daerah terpencil, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi mengeluarkan anggaran 28 triliun rupiah untuk membangun 4.200 menara hingga akhir 2021. Namun, hingga pertengahan 2023, menara yang baru berdiri sejumlah 957 dan itupun tak semuanya bisa berfungsi. Majalah Tempo edisi 28 Mei 2023 menyebut kasus ini sebagai “state capture”. Sebuah tindakan koruptif sistemik karena kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang. “Korupsi merajalela karena pengusaha dan pembuat kebijakan berkomplot menggarong uang negara,” tulis Tempo.
Baca Juga: Cerita dari Clemencia #1
KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual
KELAKUAN NETIZEN: Lagu dan Laku Netizen Beriman
Tak Boleh Ada yang Ditinggalkan
Suatu ketika saat melakukan riset lapangan di sebuah tempat di Kolombia, Clemencia Rodriguez harus tetap memiliki akses internet yang baik untuk memenuhi tugas lainnya sebagai seorang dosen. Namun, jangankan internet yang berkualitas, daerah tersebut tak selalu dialiri oleh listrik. Clemencia harus memasang tenaga surya untuk memastikan perangkatnya terus menyala. Dia harus membayar lebih untuk kualitas internet yang optimal. Aktivitasnya tersebut sangat mencolok di desa itu. Dia mengungkapkan, petani terkaya di wilayah tersebut pun tidak memiliki akses internet dan listrik yang memadai.
Memang, secara global, menurut data dari We Are Social 2023, saat ini sudah terdapat 64,4 persen dari 8 miliar warga dunia yang mampu menjangkau internet. Namun, bagi Clemencia, bentuk pertanggungjawaban paling penting dari perubahan sosial ialah dengan tidak meninggalkan 35,6 persen penduduk dunia yang tidak mampu menjangkau internet. Di Indonesia sendiri, masih terdapat 23 persen penduduknya yang tidak mampu mengakses internet (jika data ini benar-benar akurat).
Dalam penelitian Clemencia terkait penggunaan telepon genggam pada bidang agrikultur di India, Nepal, dan Kolombia, diketahui sebagian besar dari petani hanya mampu membayar 0,25 USD untuk internet. Dengan kuota internet sangat kecil, mereka harus menghematnya untuk konsumsi seminggu. “Jika mereka menggunakan itu untuk mengakses atau mengunduh video Youtube, data itu akan habis seketika,” tutur Clemencia.
Menurut Clemencia, di banyak belahan dunia, internet masih menjadi sesuatu yang mewah, mereka tidak mampu mengaksesnya. Ini juga membuat perbedaan di berbagai belahan dunia semakin mencolok. Hanya orang “kaya” yang mendominasi berbagai konten yang hadir di internet.
Aktivisme dan Adaptasi Internet
Dalam konteks radio komunitas, beberapa radio komunitas yang diteliti Clemencia mampu menjangkau internet dengan kualitas layanan yang baik. Namun, mereka tak sepenuhnya melakukan pemindahan saluran komunikasi pergerakan melalui internet karena komunitasnya sendiri masih sulit mengakses internet. Radio komunitas banyak melakukan konvergensi untuk membantu komunitas mengetahui apa yang terjadi di dunia internet, juga menjangkau audiens di dunia internet.
“Apa yang bisa dilakukan oleh pergerakan melalui internet pada daerah-daerah seperti itu? Sementara radio, hanya dengan beberapa butir baterai, dapat bertahan digunakan dalam beberapa hari,” kritik Clemencia.
Bagi Clemencia, dalam konteks yang tepat dan strategis, internet tetap sangat bermanfaat bagi perubahan sosial di masyarakat. Misalnya bagi para pengungsi (refugee), internet sangatlah sentral. Telepon genggam mereka akan sangat penting untuk mencari suaka, mengemukakan suara, dan aktivitas sosial lainnya. Telepon genggam bisa saja melakukan segalanya bagi mereka.
Di Kolombia sendiri, menurut Clemencia, banyak pergerakan perempuan untuk melegelisasi aborsi, juga aktivisme soal identitas gender. Keduanya disokong internet dan dia sepenuhnya mendukung mereka karena telah menghadirkan narasi-narasi alternatif bagi negara. Gerakan di media sosial pun memberi peluang bagaimana media-media arus utama (seperti televisi dan radio) turut serta mendiseminasikan peristiwa yang terjadi di media sosial.
Namun, Clemencia sekali lagi menekankan bahwa jika kita memusatkan semua energi pada pergerakan-pergerakan yang terjadi di internet, itu akan meninggalkan kelompok marginal yang tidak mampu menjangkau internet. Baginya, aktivisme internet jangan sampai menyisakan asumsi berbahaya bahwa untuk menjadi aktivis perubahan sosial, kamu harus memiliki akses internet yang baik. Perlawanan-perlawanan dari masyarakat yang hanya menggenggam beberapa megabyte per minggu atau tidak sama sekali, juga patut diperhatikan dan diperjuangkan.