• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (30): Saya Sakit, Ema Memotong Ayam

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (30): Saya Sakit, Ema Memotong Ayam

Agar pemulihan sakit saya dapat berlangsung dengan cepat, Ema biasa mememotong ayam. Wangi goreng ayam membangkitkan selera makan.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kalau badan saya panas, Ema membuatkan seduhan asam kawak ditambah gula kawung. Kedua bahan itu dimasukkan ke gelas besar, lalu diseduh air mendidih, ditutup sampai larut, kemudian setelah hangat, diminum. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

27 Oktober 2021


BandungBergerak.idBangun tidur badan saya terasa panas, tulang ngilu, susah menelan, dan nyeri. Bagian leher sebelah kiri atas, membengkak. Saya yang biasanya jago makan, kini kehilangan nafsu makan. Mungkin karena perih saat menelan. Kata Ema, ini gondongeun.

Ema segera menghaluskan bulao, bentuknya kotak berukuran 1,5 cm x 1,5 cm x 1,5 cm, warnanya biru langit. Pada saat itu bulao digunakan untuk membilas pakaian yang berwarna putih agar tidak terlalu terlihat berwarna tanah. Setelah pakaian putih dibilas dibersihkan, bulao dilarutkan, disaring dengan kain, lalu dikucek di dalam air di ember besar. Air menjadi berwarna biru. Pakaian atau seprai yang berwarna putih direndam di air bulao, lalu diperas dan dijemur.

Bulao halus dicampur sedikit minyak tanah, lalu dioleskan ke bagian yang membengkak. Di sekolah ada beberapa anak yang gondongeun, tapi memaksakan diri untuk pergi ke sekolah. Padahal, kata Bu Guru, gondongeun itu menular melalui air liur yang tersembur saat bersin, saat batuk, atau saat mengobrol dengan tertawa, kemudian percikannya terhisap oleh anak-anak lain. Penularannya sangat mudah terjadi di sekolah.

Suhu tubuh masih panas, bulao yang masih menempel dibersihkan dengan air hangat. Setelah bersih, pangkal leher atas yang masih bengkak dan terasa nyeri, diolesi kembali bulao yang dicampur minyak tanah.

Ema memetik beberapa lembar daun dadap yang tumbuh di sempadan sungai di belakang rumah. Setelah dicuci bersih, daun dadap dihaluskan dengan kedua telapak tangannya. Ditambah sedikit air, lalu dihaluskan lagi. Setelah cukup halus, air daun dadap warna hijau dioleskan ke seluruh perut. Kulit perut terasa dingin.

Ketika sakit agak panas, Ema membuatkan minuman dari asam yang dicampur dengan gula merah, lalu diseduh dengan air mendidih. Cangkirnya berukuran besar, yang isinya dua cangkir biasa, lalu ditutup rapat. Bila sudah hangat, saya seruput sedikit demi sedikit. Lidah yang semula terasa pahit dan kepala yang sangat pening, berubah menjadi segar. Badan jadi berkeringat.

Kata Ema, “Besok juga sembuh kalau sudah keringatan!” 

Minyak Tanah dan Puyer

Minyak tanah itu bukan hanya untuk menyalakan lampu, tapi juga digunakan sebagai obat luar, seperti untuk campuran bulao, bagi yang sedang sakit gondongeun. Bisa juga kalau perut sedang mulas, saya segera ke dapur. Di sudut dapur dekat pintu, terdapat enam botol berwarna hijau yang selalu berisi penuh minyak tanah, yang disusun rapi dalam peti, sehingga minyak dalam botol itu tidak akan tumpah. Minyak tanah saya kucurkan ke telapak tangan yang dicekungkan, lalu digosok-gosokkan di seluruh perut.

Bila badan masih panas, masih sakit di hari ketiga, saya segera dibawa ke rumah Mantri Mulyadi, yang berhadapan dengan SDN 1 dan 4. Setelah diperiksa, saya langsung disuntik dan diberi obat berupa beberapa bungkus puyer dan tablet.

Minum obat puyer lebih mudah. Pil dilarutkan di dalam sendok makan, lalu diminum, ditelan, lalu didorong dengan teh hangat. Saat itu saya belum bisa minum pil yang didorong air minum. Ketika pil diletakan di ujung lidah, lalu didorong dengan air minum agar pil masuk ke dalam, nyatanya pil malah mengambang di dalam mulut. Airnya habis ditelan, pilnya tertinggal di lidah.

Pil saat itu terasa sangat pahit. Ema mencari akal agar pil yang superpahit itu bisa masuk, agar obatnya bereaksi, seperti yang dinasihatkan Mantra Mulyadi. Pisang ambon dikunyah sampai halus. Ketika pisang itu akan ditelan, pil ditumpangkan di atasnya, baru ditelan, lalu didorong dengan air. Saya bersyukur jarang sakit sehingga tidak perlu repot minum pil dan disuntik oleh Mantri Mulyadi.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (29): Pesan yang Dibawa Irama Bedug
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (28): Rasa Makanan yang Lekat dalam Ingatan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (27): Kegembiraan di Gulita Malam

Memotong Ayam

Suhu tubuh saya sudah kembali normal, namun masih terasa lemas. Nafsu makan sudah mulai tumbuh kembali.

Agar pemulihan saya dapat berlangsung dengan cepat, Ema biasa mememotong ayam. Wangi goreng ayam membangkitkan selera makan. Senang sekali mencium aroma goreng ayam. Sudah terbayang, beberapa kali makan dengan daging ayam.

Makan daging ayam termasuk langka. Biasanya makan dengan ikan dari kolam, atau ikan asin, sambal, dan lalab. Paling juga tiga bulan sekali memotong ayam yang kami pelihara. Lebih sering makan ayam goreng kalau ada ayam yang nguyung, ayam yang sedang sakit. Daripada mati karena nguyung, lebih baik ayam dipotong.

Dari jendela terlihat, anak-anak sudah mondar-mandir di jalan depan rumah, sambil berlari-lari kecil mendorong pelek sepeda dengan bilah bambu. Mereka mengobrol dengan suara yang sengaja dikeraskan. Mereka bernyanyi, atau mengobrol dengan keras. Itulah kode, pesan dari sahabat-sahabat yang mengajak agar segera bermain. Tentu, mereka mengajak dari kejauhan karena tidak akan berani mengajak dari jarak yang sangat dekat.

Pagi dan petang, anak-anak mondar-mandir di jalan depan rumah. Rasanya saya ingin segera sembuh, ingin segera berenang di Leuwi Kuning, perang lumpur di sawah, atau mandi di deburan ombak Samudra Hindia di Teluk Cilauteureun.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//