Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (27): Kegembiraan di Gulita Malam
Wow…. Supa lumar! Kagum sekali saya menyaksikan jamur yang menyala. Semua terkagum-kagum.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
6 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Kegembiraan pada malam hari ternyata bukan hanya muncul pada saat terang bulan. Apa pun keadaannya, selalu ada jalan untuk bermain dan bergembira. Rasanya selalu ada waktu untuk bermain. Selalu saja ada hal yang menarik pada saat bermain. Siang atau malam.
Bila malam tak berbulan, lapangan tempat kami bermain menjadi benar-benar gulita. Tak banyak permainan yang bisa kami mainkan dalam kegelapan malam. Apalagi ketika Ajengan Idim mematikan lampu gembreng yang digantung di tengah masjid. Kami benar-benar tak bisa mengenali kawan sendiri dengan jelas, kecuali bila dia berbicara.
Saat gulita itulah banyak makhluk yang ke luar pada malam hari menjadi terdengar dan terlihat. Satu di antaranya yang menjadi akrab dengan kami adalah cikacika, kunang-kunang. Serangga ini ukurannya kecil, sebesar kepik, tapi badannya sedikit lebih panjang. Dari ujung tubuhnya ke luar cahaya, seperti cahaya dari lampu neon yang dipasang di pinggir kendaraan yang menjual jamu ketika ada pemutaran film di alun-alun.
Kami sangat menikmati kerlip cahaya cikacika, yang dibiarkan beterbangan di atas lapangan Pak Patih, tempat kami bermain bobag, main bola, dan permainan lainnya. Di depan mata, langit malam berubah menjadi gemerlap bintang cikacika yang terus beterbangan kian ke mari menerangi gulita malam. Tak terhitung berapa ratus jumlahnya para pembawa kerlip itu.
Kami sering duduk berlama-lama di golodog, di tangga yang menyerupai bangku menuju teras rumah, melihat cikacika beterbangan mengarungi langit malam. Kadang penasaran juga, ingin menangkapnya, dan dibawa ke rumah. Dengan perasaan takut, saya menangkap satu cikacika, lalu dengan hati-hati membawanya dalam genggaman sampai rumah. Cikacika yang dilepaskan di dalam rumah ternyata tak semenarik saat terbang di kegelapan malam.
Rasa takut itu tumbuh karena anak-anak Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat percaya, cikacika itu adalah kuku dari mayat yang sudah lama dikubur. Entah siapa yang pertama kali membuat cerita itu. Tapi ada rasa takut yang tersembunyi saat kami melihat cikacika terbang membawa lampu ke mana-mana.
Kehadiran cikacika itu tidak setiap malam, tapi selalu saja ada hal yang membuat kami bermain. Permainan ini pun agak-agak seram. Namun, siapa mau dibilang penakut dan ditinggalkan sendirian di lapangan, lalu pulang ke rumah masih siang?
Rumah Gan Icoh
Sarung dibelitkan, lima atau enam orang anak berjalan di jalan pasir batu yang dikeraskan menuju ke arah timur dari lapangan Pak Patih. Setelah melewati rumah Mok Maah, kami berbelok ke kanan, melalui gang selebar 1,5 meter ke arah selatan. Ya, ini gang menuju ke SD IV, tempat saya belajar.
Di sebelah barat lapangan upacara di sekolah kami, dipisahkan oleh gang, ada rumah Gan Icoh. Dia hidup menyendiri di rumah yang besar dengan tanah yang luas memanjang. Rumahnya menghadap ke jalan, seperti sekolah kami, menghadap ke selatan. Di halaman depan dan di pinggir rumahnya di sisi timur, yang berbatasan dengan gang, ada pohon mangga yang lebat pada musim berbuah. Namun, anak-anak nekat sekali pun tak ada yang berani memetik buahnya, walau sudah ranum menggiurkan.
Anak-anak percaya, di rumah Gan Icoh itu ada penjaga gaibnya. Katanya, pernah ada pencuri yang masuk ke rumah. Dia dapat lolos ke luar dari halaman rumah sampai jalan, tapi ia hanya berjalan berputar-putar di jalan seputar rumah sambil membawa hasil curiannya. Akhirnya pemilik rumah mengetahuinya. Setelah disuruh masuk, lalu diberi makan-minum, dan diberi uang secukupnya, pencuri itu dipersilakan pulang sambil berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Tidak ada di antara kami yang mengetahui dengan pasti kebenaran cerita yang diceritakan dari anak yang satu ke anak yang lain itu. Anak-anak percaya saja, sehingga tidak ada yang berani untuk mengambil mangga ranum yang menjuntai ke gang di sisi barat sekolah.
Ada beberapa akibat yang akan diderita oleh pencuri, begitulah anak-anak meyakininya. Pertama, ia tidak bisa pulang setelah mencuri dan hanya berputar-putar saja. Kedua, ia akan sakit perut tak berkesudahan. Dan ketiga, ia akan akan mengalami penampakan yang menyeramkan. Ketiganya tak menyenangkan bagi kami. Jadi, kami tak berani melempar mangganya.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (26): Kegembiraan di Malam Purnama
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (25): Helikopter Herkules Mendarat di Lapangan Darmabakti
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (24): Mandiri dalam Peralatan Rumah Tangga dan Pertanian
Supa Lumar, Jamur yang Menyala
Ada sesuatu yang tumbuh di halaman depan rumah Gan Icoh. Di dekat pohon mangga, di halaman depan rumahnya, jamur menyala di kegelapan malam. Kami menyebutnya supa lumar. Bagi saya, jamur menyala itu sebenarnya terlihat lebih menakutkan.
Malam itu kami berenam. Saya berjalan di tengah mengikuti anak yang agak besar. Tak ada yang membawa senter, sehingga malam benar-benar gelap. Setiap ada suara yang berderak atau suara angin yang meniup daun dan ranting pohon, saya berjalan semakin ke tengah.
Malam hari, suasana rumah itu memang gelap sekali, tapi kami terus berjalan. Bangunan sekolah di sebelah kiri, terlihat dindingnya yang selalu dilabur kapur. Hanya beberapa langkah lagi akan sampai di jalan, dan berbelok sedikit ke kanan, kami sudah berada di jalan, persis depan halaman depan.
Setengah berbisik, anak yang lebih besar mengatakan bahwa untuk melihat supa lumar, kami harus masuk ke halaman. Saya terus melirik ke kiri dan ke kanan, membayangkan ada harimau penunggu yang meloncat.
Wow…. Supa lumar! Kagum sekali saya menyaksikan jamur yang menyala. Semua terkagum-kagum. Ada satu anak yang berani mengambil satu jamur untuk dibawa sebagai bukti bahwa kami sudah sampai di halaman depan rumah Gan Icoh pada saat gelap malam.