Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (24): Mandiri dalam Peralatan Rumah Tangga dan Pertanian
Hingga akhir 1960-an para tukang sanggup mencukupi kebutuhan warga di Pameungpeuk, Garut. Serbuan peralatan dari luar mulai awal 1970-an menyingkirkan peran mereka.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
15 September 2021
BandungBergerak.id - Sampai tahun 1960-an akhir, semua kebutuhan atas peralatan rumah tangga yang utama bagi warga di Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dapat dipenuhi dengan produksi warganya sendiri. Sepertinya begitu juga yang terjadi di desa lainnya. Sangat sedikit barang atau peralatan rumah tangga yang didatangkan dari ibu kota kabupaten di Garut.
Yang tidak bisa dibuat oleh warga itulah yang didatangkan dari Garut, seperti: barang-barang buatan pabrik, apakah itu baskom, teko, piring, cangkir, atau sendok, yang semuanya dibuat dari kaleng atau seng yang dicat putih, dipadukan dengan leleran cat warna hijau atau biru. Barang lainnya yang didatangkan dari luar desa adalah gelas dan piring beling.
Bambu dan Kayu
Secara umum, sampai tahun 1960-an awal, setiap keluarga mempunyai piring seng dan cangkir seng, juga gelas dan piring. Namun untuk keperluan minum sehari-hari, masih banyak warga yang menggunakan “cangkir” yang dibuat dari ruas bambu (lumur) atau dari tempurung kelapa yang sudah tua dan dibersihkan sampai halus.
Demikian juga bila makan, sangat jarang warga menggunakan sendok. Mereka bahkan cenderung tidak pernah menggunakannya sebab, rencang-sangu, lauk-pauknya tak berkuah. Setiap kali makan selalu ada sambal terasi dengan aneka lalap mentah atau dikukus. Lalapnya berganti dengan jengkol goreng atau panggang/rebus petai. Kadang ada goreng ikan mujair atau belut, seringnya ikan asin peda beureum atau asin ikan sepatsiem.
Karena peran sendok sangat kecil, bahkan untuk mengambil sambal pun, orang cukup menyobek daun pisang selebar 3 cm, lalu ditekuk dengan tiga jari, membentuk cekungan di ujung depan. Dengan cara seperti itu jugalah mereka makan dengan sayur, seperti angeun kacang merah atau angeun lodeh yang di dalamnya terdapat potongan oncom dan kecombrang selain potongan sayur yang lazim digunakan untuk angeun lodeh.
Untuk tempat nasi, digunakan boboko atau dulang. Peralatan ini umumnya dibeli dari pedagang yang berkeliling kampung. Ada juga yang dijual di pasar dan di warung. Perabotan dari anyaman bambu dan kayu yang sering dijual berkeliling adalah boboko, said (boboko dengan ukuran lebih besar), aseupan, jubung, tolombong, ayakan, cukil, dan pangarih.
Selain yang berjualan peralatan, ada orang yang berkeliling menawarkan jasa memperbaiki soko dan dudukan bobok atau said yang dibuat dari kayu tipis. Soko boboko inilah yang paling mudah rusak akibat patah atau lepas ikatan rotannya. Bila sekadar ikatan rotannya yang putus atau lepas, pemiliknya dapat memperbaikinya dengan mudah, menggunakan tali dari bambu atau rotan. Tapi kalau soko kayunya yang rusak, perbaikan harus dilakukan oleh tukangnya.
Tukang Patri, Pandai Besi, dan Paledang
Saat itu, peralatan rumah tangga umumnya terbuat dari kaleng atau seng yang ketebalannya dua atau tiga kali ketebalan seng saat ini. Bila ada perabotan yang bocor, karena berkarat atau karena sebab lain, ada tukang patri, orang yang bekerja untuk memperbaiki atau menambal perabotan itu. Tukang patri ini setiap hari berkeliling dari kampung ke kampung, menawarkan jasa perbaikan.
Tak jauh daru rumah Abah, di rumah kontrakannya, di sebelah utara masjid Ajengan Idim, di antara kolam Mantri Mulyadi dan tanah Pak Patih yang kosong, sang tukang patri masih mengerjakan pembuatan ember atau peralatan rumah tangga lainnya, seperti langseng. Kebutuhan akan ember dapat terpenuhi oleh produksi tukang patri yang sekaligus merangkap pembuat peralatan rumahtangga ini.
Peralatan rumah tangga dan peralatan pertanian dapat dipenuhi oleh pandai besi yang berada di seberang Ci Palebuh, di kampung Segleng. Setiap hari, terdengar bunyi hantaman palu besar pada besi yang sedang ditempa. Dua orang penempa, bergantian menghantam besi merah. Besinya terlebih dahulu dibakar dalam bara api.
Alat peniup apinya berupa selinder berdiameter 30 centimeter, tingginya dua meter. Tabung selinder itu disambungkan dengan pipa sepanjang dua meter ke perapian. Ke dalam tabung itu dimasukan tongkat bambu tiga meteran, yang di ujung bawahnya dipasang katup atau klep yang diikat dengan kuat. Bila satu tongkat diangkat ke atas, maka tabung akan terisi udara, dan pada saat tongkat yang satu lagi ditekan ke bawah akan menghembuskan angin, yang akan meniup bara api.
Baja dimasukan ke dalam bara api itu sampai merah kekuningan, lalu dihantam palu oleh dua orang penempa secara bergantian. Trong! Trang! Trong! Trang! Trong! Trang!
Pandai besi ini dapat memenuhi kebutuhan beragam peralatan warga desa, baik untuk peralatan rumah tangga maupun peralatan pertanian, seperti: pisau dapur, peso raut, golok, cangkul, kored, arit, parang, congkrang, tatah/pahat, pisau sugu, dekol, dan etem atau aniani.
Ada lagi paledang, pembuat peralatan dapur atau peralatan lainnya dengan cara ditempa. Dang… dang… dang…! Di rumah kontrakannya di pinggir permakaman di Cikoneng, tukang ini mengerjakan pembuatan seeng, panci, dan peralatan lainnya.
Bahan yang akan dilebur dikumpulkan. Bila sudah cukup untuk membuat satu peralatan, membuat satu seeng, misalnya, barulah bahan itu dimasukkan ke dalam mangkuk tahan api, lalu dilebur, didinginkan menjadi lempengan-lempengan yang memanjang.
Bara apinya ditiup dengan pompa yang dibuat dari kulit domba. Kantung besar itu dihubungkan dengan pipa ke arah perapian. Bila kantung kulit domba itu digerak-gerakan ke atas dan ke bawah dengan lengan, dihasilkan angin yang meniup bara api.
Lempengan-lempengan berbahan dasar tembaga. Ada juga dari ribuan kepeng uang logam warna putih. Palunya khas, panjang dan runcing di bagian atas. Lempengan-lempengan itulah yang ditempa sampai membentuk peralatan yang diinginkan. Bila memerlukan bahan yang masih pijar, lengannya bergerak-gerak lagi meniup perapian agar terus membara. Keistimewaan peralatan ini tanpa sambungan, karena ditempa mulai dari dasar peralatan itu sampai selesai di bagian atas, sesuai dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan.
Bukan hanya perabotan yang dapat dipenuhi oleh para tukang di desa kami, tapi juga ada kamasan, ka-emas-an, pembuat perhiasan dari emas.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (23): Berendam di Ci Palebuh sebelum Disunat
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (22): Macam-macam Cara dan Alat Menangkap Ikan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (21): Paila, Paceklik karena Dua Kali Gagal Panen
Hilang Diseruduk Zaman
Akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an merupakan awal hilangnya kemandirian di desa kami. Peralatan dari luar kecamatan mulai menyerbu pasar-pasar, bahkan sampai di kampung-kampung yang jauh, yang belum dijangkau kendaraan roda empat.
Barang-barang yang dibuat dari plastik terus membanjir memadati pasar, seperti ember, baskom, piring, rantang, dan mangkuk. Akibatnya, keterampilan para pembuat peralatan yang dianyam, pembuat ember dari kaleng atau seng, pembuat seeng dari tembaga yang ditempa, semua telah diseruduk zaman, dan tak ada yang berpihak padanya.