• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (22): Macam-macam Cara dan Alat Menangkap Ikan

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (22): Macam-macam Cara dan Alat Menangkap Ikan

Di kampung, anak-anak memiliki sekian banyak cara dan alat untuk menangkap ikan. Mulai dari memancing hingga memasang bubu. Dari ngurek sampai ngobor dan nua.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Bubu atau buhu merupakan alat menangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu. Di kampung, anak-anak memasang alat pemerangkap ini di sungai kecil dengan arusnya yang tidak terlalu deras. (Gambar: T. Bachtiar)

1 September 2021


BandungBergerak.idAda cara menangkap ikan dengan tangan kosong yang biasa dilakukan oleh orang yang sudah memiliki keahlian dan keterampilan tinggi. Namanya kokodok, yaitu cara menangkap ikan, lele, atau belut yang ada di dalam lubang di pinggir kolam, di dalam lumpur sawah, di rawa, di dalam gundukan batu di pinggir sungai, di dalam rungkun, atau di dalam jalinan akar pohon yang terendam air. Berdasarkan pengalamannya, ia sudah mengetahui perilaku ikan dan mengetahui di mana ikan akan berada.

Dengan cara yang sangat hati-hati, seperti diam tapi bergerak cepat, orang terampil itu membuat ikan yang akan ditangkap tak merasakan ada yang datang. Telapak tangannya dengan cepat menangkap belut, lele, ikan yang licin dan terus berusaha untuk lepas.

Yang paling jago kokodok di sungai, di muara sungai, atau di ranca adalah Mang Sahman. Anak-anak pun kadang mengikuti apa yang dilakukan Mang Sahman, tapi lebih banyak belut atau lelenya yang lepas lagi.

Cara lain menangkap ikan di sungai adalah dengan cara nawu atau ditawu. Beberapa orang anak, atau secara perseorangan, menduga di satu tempat terdapat ikan yang berada di balik gundukan batu, di dalam lubang, dan di dalam jalinan akar yang terendam air di pinggir sungai. Nawu dilakukan terutama pada saat air sungai tidak terlalu besar, bahkan cenderung pada saat aliran airnya kecil di musim kemarau.

Batu-batu sebesar kelapa dikumpulkan, lalu disusun melingkari tempat yang diduga ada ikannya. Antarbatu dengan batu dijejali dengan rumput, sehingga tak ada air yang masuk ke dalam lingkaran.

Dengan menggunakan kaleng bekas, air yang ada di dalam lingkaran itu ditawu, dikeluarkan airnya sampai nyaris kering. Ikan yang ada di dalam akan menggelepar, tinggal dipunguti. Bila masih ada gundukan batu, segera dibongkar, agar yakin bahwa di dalamnya tak ada lagi ikan yang tertinggal.

Memancing Kepalatimah

Di kampung kami di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, ada ikan kecil sebesar kelingking, panjangnya sekitar 5 centimeter, namanya kepalatimah, karena di kepalanya ada titik yang bersinar seperti timah. Menangkap ikan ini terasa menyenangkan bagi kami karena dilakukan dengan cara dipancing tanpa menggunakan kail.

Kail paling kecil pun tidak akan masuk ke dalam mulutnya. Cara menangkap ikan sebesar kelingking bayi itu adalah memancingnya dengan serat halus dari batang pisang sepanjang 75-100 centimeter yang salah satu ujungnya diikatkan ke ujung lidi kawung atau aren. Ujung serat lainnya mengikat sepotong kecil cacing tanah yang baru digali. Dengan sangat hati-hati, pancing itu dilempar ke kolam yang banyak kepalatimah-nya.

Memancing kepalatimah tidak boleh lengah. Begitu cacing digigit, pancing harus segera diangkat. Kepalatimah akan mengigit cacing dengan kuat. Pancingan segera diarahkan ke pematang, kepalatimah akan jatuh di sana. Sebelum loncat lagi ke kolam, kepalatimah harus segera dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disediakan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (21): Paila, Paceklik karena Dua Kali Gagal Panen
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (20): Gotong-royong Menggotong Rumah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (19): Kemeriahan Agustusan di Pameungpeuk

Panah, Serat Sabut Kelapa, Badodon, dan Bubu

Ada cara lain lagi untuk menangkap ikan, sebuah cara yang tidak lazim dilakukan oleh orang-orang dewasa, yaitu dengan cara dipanah. Panahnya dibuat sendiri dari jari-jari sepeda yang sudah tidak terpakai, yang ujungnya dipalu dengan batu sampai tajam, lalu dihaluskan dengan cara diasah, digosok-gosokkan ke batu asahan. Jari-jari itu kemudian disambung dengan bambu kecil atau kayu seukuran sumpit, dikuatkan dengan cara diikat dengan benang atau kenur plastik.

Memanah ikan harus sangat hari-hati. Jangan sampai ikan merasa terganggu, sehingga segera pergi karena merasakan kehadiran kita. Batu besar di sungai menjadi tempat yang baik untuk berdiri dan mengarahkan panah ke ikan yang sedang berlindung di balik batu.

Ada cara sederhana lainnya untuk menangkap udang di sungai, yakni dengan menggunakan serat dari sabut kelapa yang dibentuk lingkaran dengan diameter seukuran ibu jari, lalu diikat ke bambu yang telah dibentuk menjadi seukuran kelingking sepanjang 2-3 jengkal.

Udang biasanya berada di balik batu, dengan kepala menghadap ke luar. Sambil tengkurap di atas batu, orang lalu memasukkan pelan-pelan alat dari sabut kelapa itu pelan-pelan ke bagian runcing kepala udang. Begitu masuk, lingkaran dari serat sabut kelapa itu harus dengan secepat kilat diputarkan batangnya sampai membelit bagian depan udang, lalu segera diangkat ke atas batu, sebelum udang sebesar jempol itu jatuh kembali ke sungai. 

Alat menangkap ikan paling tua yang masih ada saat saya masih kecil adalah badodon. Alat ini dipasang di arus deras, bahkan bila memungkinkan, semua aliran sungainya diarahkan agar masuk ke dalam badodon, agar ikan yang berada di sekitar itu tersedot ke hilir dan masuk perangkap semacam bubu di ujung badodon, yang dibuat dari bambu dengan anyaman yang cukup besar dan kuat.

Prinsip menangkap ikan dengan badodon itu kebalikan dari menangkap ikan dengan buhu, bubu. Badodon menghadap ke hulu, sementara bubu dipasang menghadap ke hilir, dan ikan yang sedang bergerak ke hulu yang akan masuk perangkap. Badodon dipasang di sungai yang besar dengan arus deras, seperti di Ci Palebuh, dan dilakukan oleh orang dewasa. Sementara bubu dipasang di sungai kecil, dan anak-anak pun biasa memasangnya di sungai kecil.

Nguseup, Ngurek, Ngecrik, Ngobor, dan Nua

Ngeuseup adalah kegiatan memancing ikan yang biasa dilakukan anak-anak di sungai yang berarus tenang, dengan umpan cacing. Memancing di laut, umpannya memakai ikan kecil atau udang yang dibuang cangkangnya.

Ngurek adalah memancing dalam bentuk lain, yakni dengan cara memasukkan kail yang sudah diberi umpan cacing, lalu diikatkan pada kenur, tali plastik yang sudah dirara. Pertama, ikatkan kenur, tali plastik ke kail yang ukurannya sudah dipilih sesuai dengan besar belut yang diharapkan. Letakkan dua lembar kenur itu di paha sebelah kanan, pegang kailnya dengan tangan kiri, letakkan telapak tangan kanan di atas kenur tersebut, lalu gerakkan ke depan sampai kedua kenur itu melilit, lalu lepaskan pegangan di kail, maka kenur akan melilit seperti tambang. Ulangi berkali-kali sampai semua kenur melilit.

Alat itulah yang dimasukkan ke dalam lubang di pematang sawah atau pematang kolam dengan cara menggerak-gerakkan kenur itu ke kiri dan ke kanan di antara telunjuk dan ibu jari. Kail yang bergerak-gerak itu akan menarik perhatian belut untuk segera memakan umpan yang di dalamnya terdapat kail.

Tali pancing akan ditarik oleh belut dari dalam. Jangan ditahan. Diulur saja sampai diam. Kalau sudah diam, giliran kita yang menarik kenur-nya pelan-pelan. Bila ada tarikan lagi, kenurnya diulur lagi. Begitu seterusnya, ditarik, diulur, sampai belutnya kelelahan. Bila tenaganya sudah melemah, belut dapat ditarik perlahan agar kenurnya tidak putus.

Belut di sawah paling besar seukuran ibu jari kaki, sedangkan di kolam, belutnya bisa sampai lengan orang dewasa. Cara menangkapnya dengan alat yang sama seperti untuk ngurek, tapi ujung kenur diikatkan pada sepotong bambu atau kayu sepanjang 50 centimeter, lalu dilemparkan ke kolam setelah kailnya diberi umpan berupa ikan segar. Cara menangkap belut ini disebut negér. Alat itu dibiarkan semalaman, baru paginya diambil, apakah ada belut besar yang terkait atau umpannya bersih tinggal kailnya.

Ngecrik adalah cara menjala ikan dengan jaring yang memakai pemberat dari cincin timah yang dirangkai. Cara ini jarang dilakukan oleh anak-anak.

Ada juga, ngobor, yakni cara menangkap ikan atau belut pada malam hari. Penerangannya dengan obor, yang ujung bawah bambunya dibuat runcing agar mudah ditancapkan di lumpur sawah. Bila ada belut di atas lumpur, segera golok dihantamkan, kemudian belutnya segera dimasukan ke dalam tempat yang sudah disediakan.

Satu lagi cara memangkap ikan yang biasa dilakukan anak-anak, yaitu dengan cara nua, ditua. Tua itu nama tumbuhan yang buahnya beracun, seperti buah butun. Sisi sungai yang diperkirakan banyak ikannya kemudian dilingkari dengan tumpukan batu, yang disela-selanya dijejali dengan rumput, seperti akan nawu. Akar, buah, atau bagian yang menjalar dari tumbuhan tua itu ditumbuk sampai sedikit halus, lalu dimasukkan ke dalam tumbukan batu atau lubang batu, sambil tangan digerak-gerakan di dalam air.

Dengan cara ditua, ikan-ikan yang ada di sana akan sempoyongan, sehingga mudah ditangkapi. Bila keranjang ikan yang berisi ikan mabok itu disimpan di air yang bersih dan mengalir, ikan-ikan itu akan segera kembali seperti biasa.

Belut hasil ngurek atau ngobor paling enak dibuat dendeng. Perut belut disobek dengan sembilu, lalu usunya dikeluarkan. Belut ditelungkupkan di atas batu besar, bekas sobekannya dibuka lebar, lalu dipukul-pukul dengan batu sekepal dari arah punggungnya, sampai tulang-tulangnya remuk, sampai tubuh belutnya melebar. Bila semua sudah beres, belut dicuci kembali.

Di rumah, Ema sudah membuatkan bumbu dendeng belut yang terdiri dari garam, ketumbar, gula merah, dan asam. Semuanya dihaluskan kemudian diaduk bersama belutnya sampai bumbunya meresap. Setelah dibiarkan beberapa saat, dendeng belut dijemur sampai kering.

Petang hari, dendeng belut sudah kering, lalu digoreng. Wangi ketumbarnya membangkitkan selera makan. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//