Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (19): Kemeriahan Agustusan di Pameungpeuk
Jalan-jalan menjadi bersih. Pagarnya rapi dengan warna putih. Bendera berkibar-kibar. Bunga-bunga menghias gapura.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
11 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Suasana di sepanjang jalan yang ada di Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, menjadi sangat hidup dan meriah. Sepulang dari ladang atau sawah, seluruh warga ke luar rumah. Pagar bambu yang sudah keropos, saatnya diganti dengan pagar yang baru. Bahan, bentuk, dan ukurannya dibuat seragam, sehingga menjadi sangat rapi.
Setiap tahun kemeriahan itu selalu berulang. Begitu masuk bulan Agustus, warga di kampung mulai membersihkan dan menata rapi jalan, pagar rumah, rumah, dan berbagai persiapan lain untuk perayaan 17 Agustus. Entah siapa yang memulainya. Pagar dari bilah bambu yang masih basah itu dibiarkan beberapa hari sampai kering, baru dilabur dengan kapur bakar yang dicairkan. Kuasnya dibuat dari merang padi yang banyak di saung lisung, tempat menumbuk padi. Jerami diikat kuat, lalu ujung tangkainya dipotong diratakan, lalu ditumbuk dengan batu agar lebih halus.
Pagarnya berwarna putih. Jalan tanah berpasir yang keras disiram, lalu debu halus bagian atasnya disapu dibersihkan.
Pintu ke arah rumah pun dipasangi kacakaca, gapura. Semua bentuknya sama. Bahannya dari bambu dan bunga liar, seperti bunga kertas dan dua lembar daun palem khusus, yang dipasang miring di kiri kanannya. Bunga dan daun palem diambil dari bukit di utara barat laut kampung kami. Anak-anak bersama para pemuda pergi ke Pasir Pogor untuk memotong bunga dan daunnya serta dua pelepah daun palem.
Bendera merah putih bertiang bambu sebesar tangan anak-anak dipasang tegak di tengah-tengah pagar. Tambah meriah, anak-anak ramai membantu membuat hiasan dari kertas minyak atau kertas endog warna merah dan putih. Kertas transparan itu dibuat bendera kecil-kecil dengan gagang dari lidi kawung. Lemnya lengket dari getah pohon kayujaran (ki kuda).
Selain dibuat bendera, kertas minyak itu dibuat seperti rantai. Kertas merah putih itu digunting dengan ukuran 2,5 x 10 centimeter, lalu dibuat lingkaran-lingkaran merah yang dirangkai dengan warna putih, berselang-seling warnanya membentuk rantai. Rantai merah putih dipasang di atas pagar, dibentuk melengkung setengah lingkaran, bergelombang. Bendera-bendera kecil berjajar diikatkan ke tiang pagar.
Jalan-jalan menjadi bersih. Pagarnya rapi dengan warna putih. Bendera berkibar-kibar. Bunga-bunga menghias gapura.
Arak-arakan Keliling Kampung
Karena Abah, ayah, jago menjahit, setiap tujuhbelasan saya dibuatkan baju baru. Wah, senangnya. Ema menyisipkan uang untuk membeli petis atau air soda di alun-alun, yang dikucurkan tinggi-tinggi oleh Mang To’at, penjualnya.
Pesta 17 Agustus sangat meriah. Diawali upacara di Alun-alun Pameungpeuk. Orang dari berbagai desa datang dengan arak-arakan yang meriah. Bagi anak-anak, upacaranya tidak menarik. Orang-orang berbaris, lalu Pak Wedana dan Pak Camat berpidato di atas panggung.
Beres upacara, inilah acara yang kami nantikan. Arak-arakan keliling jalan kampung. Tetabuhan yang dinamis bergemuruh. Suara kendang dengan gong kecilnya berdengung-dengung. Suara dogdog berdebur-debur. Yang paling seru, dalam iring-iringan itu ada Mang Kindin. Setiap tahun, selalu saja ada gagasan baru. Tahun lalu, ia seperti duduk dengan kaki selonjoran di atas bangku. Tahun ini ia seperti yang digendong.
Ada juga badawang, boneka raksasa yang berjalan pelan. Yang paling menakutkan adalah yang wujudnya menyeramkan, Mukanya merah, bergigi panjang, berambut kejur dari ijuk, dengan baju dari karung yang dicat hitam. Makhluk ini yang suka mengejar anak-anak yang sedang asyik menonton di pinggir jalan. Anak-anak menjerit-jerit sambil berlari sebisanya.
Iring-iringan yang paling panjang adalah para pembawa jampana, yang harus digotong oleh dua orang. Setiap RT (Rukun Tetangga) membuat satu jampana. Bentuknya seperti rumah, ukurannya 75x100 centimeter. Isinya nasi tumpeng, nasi kuning. Bagian atapnya dihiasi hasil bumi. Sisi-sinya dihias dengan olahan yang digantung, seperti sangray opak ketan.
Tabuhannya kendang penca, dogdog reog, dan kentongan, terus menggema, sahut-menyahut. Meriah sekali. Setelah keliling jalan-jalan selama dua jam, arak-arakan kembali ke alun-alun untuk membubarkan diri.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (18): Mang Entang dan Den Acun, Dua Perintis Teknologi di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (17): Tetangga-tetangga Abah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (16): Ketika Persib Bandung Bertanding di Pameungpeuk
Berbagai Lomba di Alun-alun
Kemeriahan tujuhbelasan belum berakhir. Lewat asar, di Alun-alun Pameungpeuk ada permainan mengambil uang logam yang ditancapkan di jeruk bali yang sudah dihitamkan dengan jelaga. Delapan jeruk bali yang ditancapi uang logam itu digantung berjajar. Delapan orang memakai jajangkungan, egrang, berjalan mendaki buah jeruk itu untuk mengigit uang logam sampai dapat. Penonton tertawa karena wajah mereka menjadi belepotan hitam.
Acara disambung dengan main rebutan atau panjat pinang. Naik pohon pinang yang sudah disugu, dihaluskan, lalu dilumuri dengan lemak kerbau. Mang Sahman, tetangga kami, selalu ikut dalam segala macam permainan. Dan, ia selalu paling jago dalam memanjat batang pinang selicin apa pun. Semua hadiahnya ia tarik satu per satu, lalu dilemparkan ke bawah. Panitia atau keluarga yang menangkapi hasilnya. Ia terus naik sampai puncak, lalu duduk santai sambil memakan penganan yang tadi bergelantungan.
Saya pulang ke rumah menjelang magrib. Wah, lupa belum mandi sore. Saya segera mencelupkan kepala di sungai yang dilewati, lalu dikibas-kibaskan. Airnya menciprat ke mana-mana, menetes ke baju.
Kalau belum mandi, pasti belum boleh makan. Mana lapar karena seharian menonton Agustusan. Ema pasti mengetahui saya belum mandi, sebab aroma bau keringat pasti menyengat, seperti bau ayam potong yang baru diguyur air panas sebelum bulunya dicabuti.