• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (18): Mang Entang dan Den Acun, Dua Perintis Teknologi di Pameungpeuk

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (18): Mang Entang dan Den Acun, Dua Perintis Teknologi di Pameungpeuk

Mang Entang memanfaatkan air terjun aliran irigasi untuk memutar dinamo yang menghasilkan energi listrik. Mang Acun membuat petasan dan jago bersepeda.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Peta posisi rumah Mang Entang dan Den Acun, tidak jauh dari Alun-alun Pameungpeuk, Garut. Keduanya merupakan perintis teknologi yang sering membuat penasaran anak-anak. (Peta: T. Bachtiar)

4 Agustus 2021


BandungBergerak.idRumah Mang Entang hanya 125 meter dari Alun-alun Pameungpeuk, Kabupaten Garut, ke arah selatan, mengikuti Jalan Tambakbaya. Rumahnya persis di pinggir perlintasan Jalan Tambakbaya dengan aliran irigasi. Posisi rumahnya di sisi timur jalan dan di sisi selatan irigasi.

Setelah berpotongan dengan jalan, aliran irigasi itu menurun membentuk air terjun setinggi 2,5 meter. Saat itu air irigasi yang berasal dari bendungan Karacak di aliran Ci Palebuh, mengalir deras dan tak mengenal musim. Air terjun inilah yang oleh Mang Entang (e dibaca seperti mengucapkan kata emas) dimanfaatkan untuk memutar dinamo yang menghasilkan energi listrik.

Di sekawadanaan Pameungpeuk yang terdiri dari beberapa kecamatan, hanya ada satu rumah yang dialiri listrik. Itulah rumah Mang Entang. Aliran listrik yang tanpa meteran, dan tiada henti menyala. Sementara rumah-rumah yang lain, pada tahun 1960-an awal, setiap malam menggunakan lampu tempel, lampu gembreng, atau patromaks berbahan bakar minyak tanah untuk penerangannya.

Di rumahnya, Mang Entang menerima jasa memperbaiki radio yang jumlahnya ketika itu masih sangat sedikit. Radio dinyalakan memakai batu batere. Karya lainnya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah kawadanaan dan kecamatan adalah alat yang dapat menghasilkan energi listrik, yang digunakan untuk menghidupkan pelantang suara. Caranya, Mang Entang memodifikasi sepedanya menjadi alat, yang bila pedalnya diputar, akan menghasilkan energi listrik yang mampu melantangkan suara yang terdengar sealun-alun. Saya tidak begitu memperhatikan apakah energi yang dihasilkannya itu kemudian disimpan dalam aki atau tidak.

Alat buatan Mang Entang ini sangat berguna ketika ada tamu dari Garut atau dari Bandung yang acaranya diisi dengan pemberian arahan di alun-alun. Suara tamu itu bisa terdengar dengan baik oleh seluruh peserta yang sudah datang.

Sangat mungkin, orang yang memberikan arahan dari kota itu tidak mengetahui, suaranya bisa ngoncrang, lantang, jelas, keras, terdengar sealun-alun itu, mengganti alat yang dibuat oleh Mang Entang. Agar menghasilkan listrik, alat itu harus terus diputar oleh dua orang yang mendapatkan tugas khusus, mampu bergantian secara terus-menerus memutarkan pedal sepeda yang telah dimodifikasi.

Kemungkinan besar, saat itu Mang Entang sudah memasang aki untuk menyimpan energi yang dihasilkan agar bila putaran dari orang yang ditugaskan itu melemah, mesin pelantang suara masih dapat berjalan dengan baik. Kalau tidak memakai aki, terbayang, bila kedua petugas itu meras pegal.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (17): Tetangga-tetangga Abah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (16): Ketika Persib Bandung Bertanding di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (15): Perintis Usaha Makanan di Pameungpeuk

Teknik Den Acun

Saat saya masih di sekolah dasar, Den Acun sudah remaja. Kira-kira usia SMA. Entah siapa nama lengkapnya, anak-anak menyebutnya Den Acun, putranya Gan Amin. Rumahnya persis di seberang sekolah, bersebelahan dengan Pak Mantri Mulyadi. Den Acun ini sangat terkenal di kalangan anak-anak karena suka ngoprek, mengutak-ngatik sesuatu dengan keterampilan dan teknik yang tidak lazim saat itu.  Sampai-sampai, kalau ada permainan yang memerlukan keterampilan, anak-anak menyebutnya perlu teknik Den Acun.

Suatu hari, ketika kami akan bermain di alun-alun, sekitar jam 14.00-an, di Dalam Kaum, Masjid Agung Pameungpeuk, terlihat Den Acun sedang berdiri, kemudian membungkuk di dekat pintu masuk masjid yang memisahkan ruangan masjid bagian depan, dan bagian belakang atau sebelah timur. Jam dua siang, tidak ada kegiatan di dalam masjid. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Den Acun. Zuhur sudah lewat, sementara asar belum masuk.

Saya mengendap-endap di dinding utara. Dari celah jendela itu sedikit jelas pandangan ke arahnya. Kami ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya. Ternyata Den Acun sedang meletakkan pipa besi sebesar telunjuknya, dengan empat kaki yang menjadi penahannya. Pipa besi dengan empat kaki penahannya dipasang di kusen jendela di dinding pemisah ruangan masjid bagian depan dan bagian belakang. Ke ujung pipa itu ia memasukkan benda warna merah. Oh, ternyata petasan. Petasan dimasukkan di ujung pipa bagian belakang, dengan sumbu yang mengarah ke luar.

Anak-anak semakin penasaran. Walau pegal, saya tetap berdiri di bawah jendela sambil tak melepaskan pandangan ke tempat Den Acun. Setelah api membakar sumbu petasan, percikan api merembet. Den Acun sedikit mundur. Tak lama terdengar suara ledakan. Di depan, di dinding utara dari tempat imam memimpin salat, terdengar ada benturan benda dengan suara keras. Rupanya timah yang telah dibentuk menyerupai peluru telah lepas dari pipa besi, melesat menembak dinding.

Saya dan anak-anak lainnya, diam-diam, segera menghilang ke alun-alun, takut ketahuan, karena Den Acun sudah berjalan ke dinding depan untuk memeriksa pelurunya.

Keterampilan lain Den Acun adalah menunggang sepeda di pematang sawah, di pematang kolam, meloncati selokan, di kebun, atau melewati batu besar. Semua orang sudah tahu. Den Acun-lah orang pertama di Pameungpeuk, yang ke mana-mana naik sepeda, di medan-medan yang saat itu tidak lazim.

Ketika para pemuda memerlukan bal beliter, istilah untuk bola sepak, atas insiatifnya sendiri, Den Acun pergi ke Kota Garut dengan naik sepeda. Bola sepak dari kulit, tak terjangkau oleh para pemuda dengan patungan sekali pun. Den Acun pergi dan membeli bola sepak dengan uangnya sendiri. Ia melaju menempuh jarak 84 kilometer. Setelah bola sepak didapat, ia melaju kembali pulang dengan menempuh jalan yang sama. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//