• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (17): Tetangga-tetangga Abah

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (17): Tetangga-tetangga Abah

Cukup kaki kanan dihentakkan ke pohonnya, buah ceremai akan berjatuhan. Anak-anak lalu berebut mengambilinya.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Lokasi lahan dan rumah para tetangga di sekeliling rumah Abah di Kaum Kaler, Pameungpeuk, Garut, dalam kurun tahun 1965-1970. (Peta: T Bachtiar)

28 Juli 2021


BandungBergerak.idRumah Abah dan Ema berada persis di antara sungai dan jalan. Saat itu nama jalannya Jalan Geusan Ulun (sekarang Jalan Tegaljambu), Kaum Kaler, Desa Pameungpeuk, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Sungai di belakang rumah berasal dari Gulanjeng, bendungan sungai di Ci Palebuh, yang akan mengairi persawahan di Tegalbuleud, di selatan Padengdeng sampai persawahan yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Jalan depan rumah, kalau dilanjutkan akan melewati Kampung Manisi, Pasampeu, Cikoneng, Pangbarakan, Centrong, dan Bojong.

Persis di belakang rumah, setelah menyeberangi irigasi, ada persawahan. Bila sawah sudah dicangkul, di sanalah kami bermain perang lumpur, saling lempar dengan lumpur sawah. Kami juga berlatih merayap dan mengguling, mengintai, berjalan di sebatang bambu di atas sungai, meniru tentara yang sedang berlatih.

Berburu Belut dan Burung Sawah

Di bekas medan perang-perangan siang hari itu, pada malam harinya belut-belut keluar dari lubangnya, tak bergerak di atas lumpur berair. Saya suka ikut-ikutan ngobor belut. Dengan penerangan obor di tangan kiri, golok di tangan kanan. Bila terlihat ada belut yang memanjang di atas lumpur, golok segera dibacokan, tapi goloknya jangan langsung di angkat lagi. Tangkap dulu belutnya, sudah betul-betul tak akan lepas, golok baru diangkat. Lumayan dapat beberapa belas belut sebesar jempol tangan, enak untuk sarapan besok pagi.

Kalau padi mulai tandur, pagi atau sore hari, anak-anak ngurek, memancing belut di lubang-lubang di bawah pematang sawah. Ketika padi sudah membesar rumpunnya, meninggi batangnya, setiap lewat asar para pemuda dan orangtua bersama-sama menyumpit burung sawah, seperti hahayaman, kokondangan, dan békér.

Caranya mereka berjalan berjajar di antara padi yang sudah disiangi. Jarak antara satu orang dengan yang lainnya sekitar satu meter. Bila sudah terlihat burung sawah yang berjalan di antara rumpun padi, mata sumpit itu melesat dengan cara ditiup. Siapa paling dahulu mata sumpitnya mengenai sasaran, langsung mengenai burung itu, dialah yang berhak atas burung tersebut. Sekali berburu burung sawah dengan sumpit, setiap orang bila dirata-ratakan akan kebagian dua ekor.

Sumpit itu dibuat dari bambu jenis tamiang, tipis, tapi lantas. Panjang satu ruasnya ada yang 1,5 meter. Diameternya 1,2 centimeter. Mata sumpitnya dibuat dari bambu yang ditajamkan dengan ujung belakangnya diberi lilitan kapas agar saat ditiup tekanannya penuh sebesar diameter lubang bambu, sehingga daya lejitnya keras.

Bila diteruskan melintasi persawahan itu, kami akan sampai di Bojongmongkong, lahan kebun singkong, kacang tanah, talun kelapa, dan pohon buah-buahan seperti mangga.

Abah dan Ema mempunyai balong, kolam dan sawah di belakang rumah itu. Tinggal berjalan di atas cukang, jembatan kecil dari dua batang bambu yang disatukan. Balong kami tidak dipasangi pancilingan, toilet di atas kolam.

Di atas kolam Mang Eyong dan Mang Sahman ada pancilingan. Di sanalah banyak orang buang hajat. Ikan bibit, ikan mas sebesar betis, berloncatan bila ada kotoran yang mulai melayang, lepas dari pemiliknya. Ikan-ikan pada salto berebut pakan yang masih hangat sebelum sampai menyentuh air.

Rumah Para Tetangga

Depan rumah Abah ada lahan milik Pak Patih. Tanahnya luas sekali. Lahan ini menjadi tempat bermain apa saja. Bermain bola, voli, galah, sigug, gatrik, adu karet gelang, kasti, ucing sumput, gurila, turihoncom, dan banyak lagi permainan lainnya. Di pinggir lapangan itu ada beberapa pohon mangga. Persis di depan rumah, ada pohon mangga arumanis, sementara di dekat rumah Haji Amin pohon mangga golek.

Di sebelah kiri rumah Abah (sebelah timur) ada rumah Mang Deded, bandar hasil bumi yang sering memotong kerbau saat menjelang puasa dan lebaran.

Di sebelah kanan (sebelah barat), ada rumah Mak Épét, pembuat gulali kering. Saya pernah melihat ke sana, dan ada tiga orang pekerjanya yang sedang menarik-narik gula yang sudah dipanaskan. Gula yang pekat itu terus ditarik-tarik menjuntai dari atas ke bawah. Gulalinya dibelitkan ke batang bambu bulat yang melintang dekat dinding, lalu ditarik-tarik sampai berubah warna menjadi kejinggaan. Bila sudah begitu, gulali itu terus ditarik sampai sebesar telunjuk orang dewasa, diletakan di papan yang pajang, lalu dipotong-potong sepanjang 10 centimeter.

Selang dua rumah ke barat, ada rumah Mang Hadri, yang menjadi ketua RT selama beliau kuat. Saya sering menyaksikan Mang Hadri sedang ngareueuy benang kecrik, jala, agar kuat. Saat itu belum ada tali plastik (kenur), sehingga jala ikan dibuat dari benang terbaik.

Sebelah rumah ketua RT ada warung. Pemiliknya Mak Uka. Warung ini dapat memenuhi kebutuhan harian warga Kaum Kaler. Segala ada.

Sebelah barat warung Ma Uka ada pemandian umum. Ada enam pancuran besar, terbuat dari besi sebesar tiang listrik. Jamban umum ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.

Di seberang rumah Ketua RT dan Mak Uka, dipisahkan oleh jalan, ada rumah Apa dan Mak Enggah, Mantri Hewan yang jago. Di depan rumahnya ada culan dan kurma, tapi tidak pernah berbuah. Saya sering ikut memetik bunga culan yang wangi, lalu dijemur sampai kering. Oleh Mak Enggah, bunga-bunga yang sudah kering itu dicampurkan ke teh sehingga tehnya beraroma wangi.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (16): Ketika Persib Bandung Bertanding di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (15): Perintis Usaha Makanan di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (14): Long March Tentara Maung

Pohon Ceremai di belakang Rumah Bu Guru

Di sebelah timur rumah Apa ada rumah Bu Guru. Anak-anak tak ada yang tahu siapa namanya, tetapi orang tua dan muda memanggilnya Pak dan Bu Guru saja. Keluarga inilah yang mempunyai sumur dan jamban sendiri di dalam rumahnya.

Yang membuat senang anak-anak, di belakang rumah Bu Guru ada pohon ceremai. Kalau sedang berbuah, selain lebat, juga besar-besar. Cukup kaki kanan dihentakkan ke pohonnya, buah ceremai akan berjatuhan. Anak-anak lalu berebut mengambilinya. Yang bertugas menghentakkan kaki terus bekerja, sementara anak-anak mulai tak sadar sedang memunguti ceremai punya Bu Guru.

Keributan itu mengundang pemilik ceremai keluar. Ceremai sudah memenuhi satu saku baju dan dua saku celana. Kami segera berlari ke selatan, berlindung di balik masjid.

Bersebelahan dengan rumah Bu Guru ada rumah keluarga Mak Ili dan Mang K(H)usen. Keluarga ini mempunyai putra Bi Emil yang menikah dengan Mang Uhar. Setiap bersin, Mang K(H)usen akan memanggil putrinya, "Milhaaah!" Keras sekali.

Di rumah Bi Emil itulah ada jam kikuk. Menjelang pukul 12 siang, anak-anak sudah mengintip di balik kaca, menanti burung kikuk 12 kali keluar dan berbunyi kik kuk… kik kuk… kik kuk….

Di sebelah timur lahan milik Pak Patih, ada rumah Mang Eyong dan Haji Amin. Di selatannya ada rumah keluarga Mok Ayah. Haji Amin mempunyai anak. Maliki namanya, dan ia biasa bermain dengan kami.

Di sebelah timur rumah Mang Eyong ada rumah Mang Ma'mun, kemudian Mok Maah, yang berbatasan dengan gang yang menuju SD. Sebelah timur rumah Mok Maah ada Batu Pameungpeuk yang dinaungi pohon juar yang tinggi dan besar.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//