Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (21): Paila, Paceklik karena Dua Kali Gagal Panen
Pada tahun 1960-an, warga Pameungpeuk pernah mengalami dua kali gagal panen. Pertama akibat kemarau panjang, kedua akibat hama tikus. Warga pun menderita kelaparan.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
25 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Siang begitu terik. Batang padi mengering ketika padi mulai berbunga. Lumpur sawah yang biasanya hitam berair, kini kerontang, belah-belah membentuk segi lima dengan rumpun padi di tengahnya.
Di seluruh hamparan persawahan dari Cikuda, Babakan, sampai Pamalayan, batang jeraminya menguning. Bahkan juga di tempat lainnya, seperti di Tegalbuleud. Tak ada air yang tersisa di sungai dan irigasi. Hujan sudah lama tak turun di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada tahun 1960-an. Tak ada panen musim ini.
Mereka yang tidak mempunyai persediaan padi di leuit, di lumbung, sebagai padi cadangan, mulai merasakan imbas gagal panen. Ketika persediaan padi terus berkurang, banyak keluarga yang mulai ngareumbeuy, memasak nasi dengan cara berasnya dicampur dengan jagung, atau dengan campuran bahan lainnya yang masih ada. Bila tidak direumbeuy, beras dibuat lempah, bubur kental wangi salam dan serai. Tidak ada tambahan lainnya sehingga orang benar-benar cepat menjadi lapar kembali.
Ketika beras sudah benar-benar habis, mereka yang mempunyai cadangan jagung akan menjadikan jagung sebagai bahan makanan pokoknya. Yang mempunyai singkong, gampek, akan menjadikan singkong dan gaplek sebagai bahan makanan pokoknya. Dan, ketika keluarga itu sudah tak memiliki bahan makanan lagi, seluruh cadangannya sudah tak menyisakan apa-apa lagi, empat hari sebelum cadangan itu habis mereka mulai pergi ke hutan untuk mencari sayuran dan umbi-umbian seperti gadung.
Mencari dan Memakan Gadung
Orang-orang dewasa, seringkali bersama-sama, masuk hutan untuk mencari sayuran dan umbi gadung. Gadung itu umbi dari tanaman merambat yang sangat beracun. Bahkan racunnya itu setara dengan sianida yang mematikan. Namun, warga mempunyai cara untuk menghilangkan racunnya.
Umbi gadung sebesar dua kepal orang dewasa itu dikupas bersih, lalu diiris-iris tipis setebal 2-3 milimeter. Seluruh irisan itu dimasukan ke dalam carangka, kerangjang besar yang dibuat dari bambu, lalu direndam di Ci Palebuh yang airnya masih mengalir walau sangat kecil. Ke dalam carangka itu dimasukkan tiga atau empat batu besar, lalu diikat dengan tali bambu ke pinggir sungai agar tidak hanyut bila air sungai membesar. Irisan gadung itu direndam selama tiga hari tiga malam, dan setiap harinya diaduk-aduk sampai lendirnya hanyut.
Hal ini dulang selama tiga kali. Sore hari pada hari ketiga, gadung dicuci bersih, lalu diangkat, ditiriskan, lalu di jemur di terik matahari.
Setelah itu gadung siap untuk dikukus sampai matang, dimakan dengan diberi taburan kelapa parud. Irisan gadung lainnya terus dijemur sampai kering untuk dimanfaatkan kemudian. Ada juga yang sudah tak kuat menahan lapar. Baru sehari semalam direndam, irisan gadung itu sudah dikukus. Akhirnya, warga menderita keracunan gadung, pusing, dan mual-mual.
Orang-orang yang masih mempunyai cadangan padi, meminjamkan padi secara terbatas. Demikian juga kelompok warga yang mempunyai leuit, lumbung komunitas, seperti di daerah Pasampeu, mulai mengeluarkan persediaan padinya, yang akan dibayar nanti ketika panen.
Warga yang tinggal di daerah pantai yang berdekatan dengan rawa-rawa payau, mulai memanfaatkan sumber makanan lain dari tumbuhan yang banyak tumbuh di sana, yaitu dahon atau nipah. Dari batang dahon itu diambil kanjinya, dibuat makanan seperti ongolongol atau papeda di Indonesia Timur.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (20): Gotong-royong Menggotong Rumah
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (19): Kemeriahan Agustusan di Pameungpeuk
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (18): Mang Entang dan Den Acun, Dua Perintis Teknologi di Pameungpeuk
Solat Istisqo
Selang beberapa bulan, di beberapa daerah yang sumber makanan lainnya mulai langka, dan untuk mendapatkannya pun semakin jauh, kekurangan pangan semakin parah. Yang paling terlihat adalah perubahan bentuk tubuh anak-anak. Rambut anak-anak mulai memerah dan rontok. Kepala anak-anak menjadi gundul, dengan perut yang mengembung kekurangan gizi.
Pameungpeuk pernah mengalami kemarau panjang yang membuat petani tak bisa menanam padi. Satu musim tanam tidak menghasilkan apa-apa.
Namun petani tak kehilangan semangat. Mereka tak kehilangan harapan. Semoga panen berikutnya akan menghasilkan panen yang berlimpah. Batang jerami dibabat, dikumpulkan di satu gundukan, lalu dibakar. Tanah yang belah-belah mulai digarpu, tanahnya dibalikkan, walau tak mengetahui kapan hujan akan turun.
Ajengan Mami bersama masyarakat lainnya, berjalan ke Ci Palebuh yang menyisakan air seperti selokan di dasar sungai yang lebar. Di pinggir Ci Palebuh, di sebelah utara Bojongmongkong, Ajengan Mami memimpin solat istisqo, memohon untuk segera turun hujan.
Mang Sahri bahkan datang membawa kucing sambil menyelendangkan janur kuning di tubuhnya. Begitu pun yang lain. Setelah salat selesai, kami mandi bersuka ria di Ci Palebuh. Tak terkecuali kucing itu dipaksa mandi.
Hama Tikus
Musim penghujan sudah datang. Persawahan mulai dialiri air, walau hujan pertama tak mampu merendam sawah yang kering. Petani bersuka cita menyambut musim penghujan dengan penuh harap. Proses bertani terus dilakukan.
Namun dengan tak terduga, ketika padi menjelang kuning, pada malam harinya datang ribuan tikus yang dengan sangat kilat telah menghabiskan padi berpetak-petak luasnya. Ada sebagian yang masih bisa diselamatkan, sehingga banyak petani yang menunggui sawahnya pada malam hari. Namun ada juga petani yang tak kuat melihat begitu banyaknya tikus yang datang menyerbu, dan ia tak kuasa menghalaunya. Ia kaget, lalu pingsan di atas pematang.
Petani menderita kerugian besar. Dua musim menderita gagal panen. Cadangan padi benar-benar telah habis. Tahun-tahun yang penuh penderitaan, paila, paceklik massal, yaitu musim kekurangan bahan makanan karena faktor alam dan hama. Itulah sebabnya banyak sekali warga kampung, tak terkecuali anak-anak yang menderita kekurangan asupan makanan. Banyak yang menderita kelaparan.
Walau keluarga kami tidak bisa makan seperti biasa, dengan porsi makan saya yang seperti kerucut gunungapi, saya masih makan nasi setiap hari. Terkadang pada hari-hari tertentu, berasnya dibuat lempah, atau nasinya dicampur dengan jagung atau irisan singkong. Inilah nasi yang paling mewah saat itu.
Selang beberapa jam, perut sudah terasa lapar lagi. Kukus irisan singkong yang ditaburi kepala parud selalu tersedia di dapur. Tinggal mengambil saja. Agar tidak bosan, Ema menumbuk kukus singkong yang dicampur parudan kelapa itu sampai sedikit halus. Gegetuk dengan tekstur yang lebih kasar.
Pada saat perut lapar, getuk ini terasa sangat istimewa.