• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (23): Berendam di Ci Palebuh sebelum Disunat

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (23): Berendam di Ci Palebuh sebelum Disunat

Di kampung, sunat terasa sangat menyenangkan. Dihadiahi baju dan sarung baru, disuguhi bakakak ayam bakar dan masakan lain, serta diberi uang oleh para tetangga.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kegembiraan saat disunat di kampung adalah kehadiran menu bakakak ayam dan banyak makanan lain. Ditambah lagi, dapat baju baru dari orangtua dan uang dari tetangga serta kerabat yang mengunjungi. (Sumber foto: Istimewa)

8 September 2021


BandungBergerak.id - Masih subuh, saya sudah dituntun ke Ci Palebuh untuk mandi dan berendam sebentar. Mandi dengan rambut yang dicumplang, diguyur keramas pada waktu subuh, rasanya belum pernah saya lakukan sebelumnya.

Itulah kebiasaan di kampung kami, di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat saat itu. Anak-anak yang akan disunat wajib dimandikan terlebih dulu, keramas, dan berendam. Tak begitu dingin, tapi terasa segar. Mandi berendam itu dilaksanakan setelah tiga hari tiga malam tidak boleh bermain seperti hari-hari sebelumnya. Saya harus berdiam di rumah. Katanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Beres mandi, saya didandani dengan baju baru, yang dibeli dari toko yang berjajar di sebelah timur alun-alun. Tak ketinggalan memakai kopiah hitam dan kain sarung.

Wangi makanan di dapur sudah tercium. Saudara yang membantu memasak sudah ramai saling bersahutan dengan suaranya yang keras. Logatnya mengalun, khas logat Pameungpeuk, yang berbeda dengan logat Mancagahar yang berdekatan dengan laut, atau dengan logat Bojong yang berada di gunung.

Pagi itu makanan begitu istimewa. Sebelum disunat, saya makan begitu lahapnya. Enak semua, dan tak tersaji setiap hari. Apa yang tersedia dan diinginkan, didahulukan untuk saya.  

Menyunat dan Memotong Ayam

Di halaman sudah ada bangku panjang. Semua saudara sudah berkumpul, dan berjajar mengelilingi kursi. Saya dipangku oleh saudara, dengan kaki dipegangi hingga paha menjadi terbuka. Terdengar suara salawat yang terus berulang, dengan alunan irama yang khas, yang sering saya dengar kalau ada pertunjukan rudat. Jajaran saudara tak henti terus melantunkan salawat.   

Berjarak satu meter dari bangku tempat saya dipangku, ada saudara yang memegang ayam jago paling besar, dan saudara yang lain sudah siap dengan goloknya yang tajam untuk memotongnya.

Di kampung kami, tukang sunat itu dikenal dengan nama panggilan mualim. Namanya Mualim Lomri, tapi kami tak pernah menyebut namanya. Mualim itu sudah sepuh, tubuhnya agak kurus, datang memakai jas warna abu-abu, mengenakan kerepus, kopiah, dan bersarung. Setelah menyiapkan peralatan yang dibawanya dalam kantung kecil, lantunan salawat terdengar semakin keras.

Yang akan memotong ayam harus selalu siap sedia, karena menurut kepercayaan, memotong ayamnya harus berbarengan dengan mualim menyunat. Semua saudara ikut mengamati mualim menyunat, kemudian memberikan komando kepada yang bertugas memotong ayam agar segera melakukan penyembelihan.

Saya tidak menangis saat disunat. Rasanya tak seperti yang banyak diceritakan anak-anak. Setelah selesai, segera saya dibawa ke tengah rumah, ditidurkan di bangku panjang. Di samping bangku, ada satu meja penuh makanan. Makanan kesukaan semua.

Menurut ceritera anak-anak, mualim ini terkenal sakti. Dia biasa menyunat anak-anak dalam waktu yang hampir bersamaan di berbagai tempat yang lokasinya sangat berjauhan. Semuanya dilakukan sendiri. Saat beliau menyunat saya pada pukul 05.30, katanya, ia tidak bisa berlama-lama untuk bercengkerama di rumah, karena akan melanjutkan perjalanan ke Bojong, yang jaraknya sekitar 6 kilometer. Di sana mualim akan menyunat pada jam yang hampir bersamaan. Begitu cerita anak-anak yang berkembang dari mulut ke mulut.

Bagaimana ia bisa berjalan secepat itu untuk jarak sejauh itu? Ada juga yang mengatakan, mualim Romli itu mempunyai kuda, dan sangat ahli dalam menunggang kuda sebagai kendaraan bila ia bepergian ke berbagai daerah untuk menyunat anak-anak. 

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (22): Macam-macam Cara dan Alat Menangkap Ikan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (21): Paila, Paceklik karena Dua Kali Gagal Panen
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (20): Gotong-royong Menggotong Rumah

Baju Baru, Bakakak Ayam Bakar, dan Banyak Uang

Disunat itu sangat menyenangkan. Dibelikan baju baru, sarung, dan kopiah baru. Perlengkapan itu termasuk barang langka. Langka dibelikan. Tempat saya tiduran dikelilingi oleh beragam jenis makanan. Ini yang paling menyenangkan, ada bakakak, ayam bakar satu ekor utuh yang tidak dipotong-potong, ditusuk dengan bambu sebesar telunjuk.

Ada juga masakan dari ati kerbau sebesar rantang. Ulen, nasi ketan sebesar lengan anak-anak panjangnya 15 centimeter, ditusuk bagian tengahnya dengan bambu sebesar kelingking, lalu dipanggang.

Satu nyiru yang lain isinya beragam kue buatan Ema dan saudaranya, ada bugis, opak, kolontong, peuyeum ketan, dan apem. Untuk semua makanan yang tersaji itu, yang disunatlah yang berkuasa. Yang lain boleh ikut makan, tapi atas seizinnya.

Setelah disunat mendadak jadi banyak uang. Semua saudara dan tetangga datang untuk mengucapkan doa selamat, lalu memasukkan uang ke dalam wadah yang sudah disiapkan. Di kampung kami, kebiasaan ini disebut nyecep, yakni memberi uang selamat untuk yang disunat.

Saya baru disunat pada usia 9 tahun lebih, ketika sudah duduk di bangku kelas tiga. Tidak seperti anak-anak lain, mereka umumnya disunat pada usia 5 tahunan, bahkan ada yang masih bayi. Pernah terjadi beberapa kasus, ada yang disunat dua kali. Pertama disunat pada saat bayi, namun setelah usia 7-9 tahun bentuknya kembali seperti belum disunat, sehingga perlu dilakukan sunat untuk kedua kalinya.

Kampung lain pernah dihebohkan dengan kejadian seorang anak yang bangun pagi dan mendapati ternyata kemaluannya sudah disunat. Beritanya begitu cepat menjalar. Ada yang datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk melihat karena penasaran.

Semua ikut percaya, katanya yang menyunat anak itu adalah jin. Kejadian disunat oleh jin ini pernah terjadi sekitar tiga atau empat kali.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//