• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (26): Kegembiraan di Malam Purnama

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (26): Kegembiraan di Malam Purnama

Di setiap malam dengan terang bulan, anak-anak bermain di lahan kosong milik Pak Patih. Yang besar bermain galah dan gurila, yang kecil bermain turih oncom.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Dalam permainan galah, pemain nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 (hijau) berperan sebagai pemain yang berusaha meloloskan diri dari penjagaan nomor 1, 2, dan 3 (biru). Yang lolos sampai ke kotak akhir menjadi pemenang pada babak itu. (Gambar: T. Bachtiar)

29 September 2021


BandungBergerak.id - Setiap malam di luar rumah selalu gulita. Terang bulan menjadi kegembiraan. Selama beberapa malam, anak-anak dengan sukacita bermain di luar rumah. Terang bulan selalu kami nantikan.

Saat itu di kampung kami di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ada tiga jenis lampu yang umum dinyalakan antara menjelang magrib sampai menjelang tidur setelah isya. Ada lampu tempel, lampu gembréng, dan lampu pompa atau lampu patromaks. Cahaya lampu tempel tidak begitu terang dibandingkan dengan lampu gembréng, apalagi dengan lampu patromaks yang sangat benderang.

Lampu grembréng itu digantungkan di tengah rumah. Demikian juga di masjid yang dibangun di atas kolam Lurah (Manten) Nenen, dengan imam tetapnya Ajengan Idim. Lampu gembréng digantung di tengah masjid. Agar minyak tanahnya awet, karena yang mengaji di sana selalu “lupa” membayar iuran untuk membeli minyak tanah, nyalanya diatur agar tidak terlalu terang. Nyaris remang-remang dan selalu dimatikan setelah salat isya.

Kalau bulan sedang purnama, tak ada yang kuat untuk berlama-lama di masjid. Begitu Ajengan Idim mengucapkan salam sebagai pertanda salat sudah selesai, tak menunggu berlama-lama, anak-anak sudah berlarian ke luar masjid.

Beragam Permainan

Beres magrib, bila di luar ada tanda-tanda akan terang bulan, anak-anak tidak pulang ke rumah, tapi melanjutkan permainan di lapangan, berupa lahan yang belum dibangun milik Pak Patih yang berbatasan dengan masjid. Tanpa dikomando, anak-anak sudah berkumpul di lapangan, dengan sarung dibelitkan agar tidak mengganggu gerak.

Anak-anak yang agak besar dibagi menjadi dua kelompok, lalu bermain gurila. Permainan adu cepat untuk menyentuh lawan dengan tangan kosong. Para pemainnya harus gesit, cepat, dan pandai mentukan kapan harus menyentuh dan kapan harus menghindar, agar jari lawan tidak menyentuh mereka. Kadang tak terhindarkan, saking cepatnya gerakan, sabetan jari itu kena ke lawan dengan keras.

Yang tidak bisa ikut bermain gurila, mereka bermain galah atau gobag. Lapangannya dibuat sendiri di lahan yang luas. Garis-garis batasnya dibuat polanya dengan menggariskan ranting ke tanah, lalu yang lainnya menaburkan abu putih yang diambil dari pembakaran sekam padi yang sudah dingin dari saung lisung, tempat menumbuk padi milik Mok Ayah.

Kelompok yang satu berusaha agar anggota kelompok yang lain tidak lolos dari penjagaannya. Paling susah kalau yang mengecoh itu ada dua orang atau lebih. Satu orang di ujung kiri dan yang lainnya di ujung kanan. Akhirnya kelompok lawan memilih mana yang paling harus dijaga, sementara yang satunya dipersilahkan lolos.  

Anak-anak yang lebih kecil yang tidak bisa ikut bermain galah dan gurila, bermain turih oncom. Dibagi ke dalam dua kelompok, masing-masing kelompok langsung pergi ke tepas rumah orang yang ada di sekitar lapangan kosong itu. Saat itu, tepas, ruang tamu setiap rumah panggung tidak berpintu dan hanya berdinding rendah. Selebihnya dibiarkan terbuka.

Dipilih satu orang ketua yang bertugas mengatur teman-temannya agar segera membentuk formasi lutut. Telapak tangannya ditegakkan di atas lantai rumah, berjajar, berdempetan empat atau lima orang. Setelah itu, punggung dan seluruh tubuh ditutupi sarung milik masing-masing anggota kelompok dengan rapat sekali, agar tidak mudah diketahui lawan. Aroma sarung bercampur bau keringat yang menyengat, tapi kami tetap diam, menahan batuk, walau sesak.

Ketua kelompok yang lain, sesuai kesepakatan, harus menebak siapa saja yang ada di balik tutupan sarung tersebut. Aturannya, penebak hanya boleh meraba punggung sekali saja, lalu segera menebak. Yang di dalam sarung tidak boleh tertawa walau geli karena dipegang.

Ketua yang sudah meraba masing-masing punggung anggota kelompok lawannya, menyebutkan nama-namanya. Semua tebakannya harus benar, baru menang. Baru setelah semua tebakan disebutkan, sarung diangkat, dibuka, agar diketahui ketepatan jawaban tadi.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (25): Helikopter Herkules Mendarat di Lapangan Darmabakti
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (24): Mandiri dalam Peralatan Rumah Tangga dan Pertanian
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (23): Berendam di Ci Palebuh sebelum Disunat

Tidur di Masjid

Bermain sudah lebih dari satu jam. Azan terdengar terbawa angin. Para pemain berhenti dengan seketika dan membubarkan diri, tanpa perhitungan kelompok mana yang kalah atau yang menang. Kami segera berwudu di kulah, kolam kecil dekat masjid. Salat isya dijalankan dengan keringat yang masih mengucur.

Selama bermain, kami tidak lepas dari sarung. Ada cara bagaimana membelitkan sarung sehingga tidak mengganggu gerak lari. Bagi kami, sarung itu banyak gunanya. Saat tidur di tajug, di masjid, sarung menjadi selimut.

Masjid kami tidak pernah dikunci, tapi pintunya selalu ditutup, sehingga anak-anak dapat dengan mudah masuk ke dalam masjid pada malam hari, bila sudah ngantuk sehabis bermain kemalaman. Tidur di masjid itu terasa sejuk karena angin bertiup dari celah-celah lantai papan, membawa uap air dari kolam di bawahnya. Tidurnya cukup beralas tikar pandan, bantalnya lengan yang dilipat.

Tidur di atas lantai papan beralas tikar pandan, tidak membuat tubuh terasa sakit, karena begitu kebiasaan tidur anak-anak di sana sejak awal. Nyenyak-nyenyak saja sampai subuh, bahkan sampai digusur Ajengan Idim kalau kami masih tidur pada saat azan sudah berkumandang.

Tidur di masjid juga banyak cerita seremnya. Cerita itu dikisahkan sambil tiduran sampai mata terlelap, sehingga cukup kaget bila ada bunyi berderak atau air kolam berkecipak. Ada yang bercerita tentang marebot di kaum, masjid agung, yang dipindahkan ke dalam lubang bedug. Ia terbangun dengan kaget saat bedug dipukul tanda salat subuh sudah datang. Ada juga yang dipindahkan ke dalam kentongan yang ukurannya lebih besar diri lesung. Pemukulnya saja sebesar betis orang dewasa.

Meski banyak cerita seram yang diumbar, tapi tak ada yang kapok untuk tidur di masjid. Asal ramai-ramai.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//