• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (25): Helikopter Herkules Mendarat di Lapangan Darmabakti

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (25): Helikopter Herkules Mendarat di Lapangan Darmabakti

Rasanya tak bosan-bosan mengagumi bentuk helikopter yang besar itu. Gagah sekali tampaknya. Kami berkhayal bisa masuk ke dalam dan melihat-lihat bagaimana isinya.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Seperti inilah suasana ketika helikopter Herkules terbang meninggalkan Lapangan Darmabakti, Pameungpeuk. Kami merebahkan badan serata tanah, sambil berpegangan pada rumput yang kuat karena rasanya kami akan diterbangkan angin yang berputar kencang. (Gambar: T Bachtiar)

22 September 2021


BandungBergerak.idAda suara asing yang terdengar dari langit. Keras dan bergema. Baru kali ini kami mendengar suara seperti itu. Serasa berada di atas sekolah. Kami segera berhamburan ke luar, tanpa menunggu perintah Bu Guru. Kami sudah tak lagi menghiraukannya. Semua berlari ke lapangan upacara yang luas. Ternyata sudah ada dari kelas lain yang berdiri mengamati ke langit tempat suara itu berasal.

Kata Bu Guru, itu helikopter jenis Herkules. Besar sekali. Warnanya hijau. Kami tak begitu paham. Yang teringat, itu helikopter. Baling-balingnya yang panjang terus berputar, menimbulkan suara yang khas. Debu di alun-alun beterbangan ke berbagai arah. Daun pohon asam tersibak ditiup angin yang kencang dari baling-baling. Terbayang, buah asamnya beterbangan, nanti akan kami ambil. Kami sudah berencana dengan yang lain akan segera mencari buah asam yang berjatuhan ketika helikopter itu sudah terbang kembali.

Berdesakan di Lapangan Darmabakti

Tidak lama, setelah beberapa saat terbang rendah, seperti akan mendarat di alun-alun, tapi tidak jadi. Helikopter terbang kembali, dengan tubuhnya yang besar sedikit dimiringkan, lalu berbelok ke arah Cigodeg, ke arah Paas. Kata petugas kecamatan, ketika ditanya oleh Bu Guru, helikopter akan mendarat di Lapangan Darmabakti.

Lupa sedang sekolah, anak-anak dengan serempak berlari meninggalkan halaman sekolah. Berlari dengan cepat menuju lapangan bola Darmabakti. Anak-anak perempuan tidak ikut berlari. Mereka tinggal di sekolah. Kami berlari, dari sekolah melewati alun-alun, lurus ke jalan Asisor, menerus ke sasakbeusi, ke Cigodeg, ke Paas. Di dekat tempat pembakaran batu karang menjadi batu kapur, kami berbelok ke arah kiri. Hanya sekitar 50 meter, kami sudah sampai di lapangan rumput.

Lapangan sudah penuh oleh anak-anak dan orang dewasa yang ingin menyaksikan helikopter Herkules itu dari jarak dekat. Helikopter itu besar, panjang, baling-balingnya ada yang di atas badannya, itu yang panjang, dan ada lagi baling-baling di belakang, di ekornya, dengan ukuran yang lebih kecil.

Kami terkagum-kagum melihat helikopter dari jarak yang sangat dekat. Saya ingin sekali memegangnya. Mengusapnya. Tapi titik pendaratan dijaga oleh petugas Hansip (pertahanan sipil). Kami berdesakan. Semua ingin melihat dari jarak yang paling dekat, dan yang sudah melihatnya tak mau bergerak untuk mundur bergantian.

Lapangan bola itu benar-benar penuh oleh orang yang ingin mengetahui bentuk helikopter dari dekat. Selama ini kami hanya melihat helikopter di angkasa, setahun sekali kalau ada PGT (Pasukan Gerak Cepat). Kami tak berani mendekat ke medan latihan PGT di Teluk Cilauteureun. Padahal kami ingin sekali melihat helokipter. Yang berani mendekat itu orang-orang tua dari Kampung Kiarakohok, yang membawa nasi, sambal, dan ikan, yang akan dibeli atau ditukar dengan barang-barang oleh anggota PGT yang sedang berlatih tidak makan berhari-hari. Barter itu tentulah dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ketika sangat jauh dari pelatihnya. 

Rasanya tak bosan-bosan mengagumi bentuk helikopter yang besar itu. Gagah sekali tampaknya. Kami berkhayal bisa masuk ke dalam dan melihat-lihat bagaimana isinya. Terbayang bisa berada di dalamnya, lalu terbang di angkasa. Saya tiba-tiba merasa tidak yakin bisa terbang dengan helikopter dengan nyaman. Menempuh perjalaan dengan naik kendaraan sejauh 9 kilometer saja saya sudah mabuk kendaraan. Tapi, dari obrolan bersama teman yang lainnya, kami akhirnya yakin, kami bisa terbang dengan nyaman.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (24): Mandiri dalam Peralatan Rumah Tangga dan Pertanian
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (23): Berendam di Ci Palebuh sebelum Disunat
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (22): Macam-macam Cara dan Alat Menangkap Ikan

Tak Mau Berpisah

Tiba-tiba sirene ambulans meraung-raung menyeruak, membuyarkan kerumunan. Ambulans menjadi angkutan para tamu karena itulah mobil yang selalu siaga di ruma hsakit Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ambulans itu terus melaju sampai ke dekat helikopter. Dari dalam ambulans, turun beberapa orang. Tidak ada yang menjelaskan mengapa kelikopter itu mendarat di lapangan bola, dan datang untuk apa.

Semua yang hadir mulanya tidak mau mundur, padahal Hansip dari tadi sudah menyuruh agar kami segera mundur, karena helikopter akan segera diterbangkan. Kami hanya mundur beberapa meter saja, mungkin sekitar 25 meter dari helikopter itu. Kalau Hansipnya lengah, kami bergerak lagi mendekat. Rasanya tak mau berpisah. Belum puas melihatnya.

Namun, ketika baling-baling itu berputar dengan suara yang bergemuruh menggetarkan, tanpa disuruh, kami langsung berlari ke pinggir lapang, ke tempat kami berada kalau sedang menonton bola.

Angin bertiup kencang sekali dengan suaranya yang menggetarkan. Baling-baling berputar semakin cepat. Akhirnya helikopter itu mengangkat tubuhnya, terus bergerak ke atas sampai setinggi pohon kelapa. Angin dari baling-baling semakin kencang. Rumput-rumput kering dan tanah lapang beterbangan. Saya merunduk lalu merayap di rumput domdoman, berusaha mencari rumput yang kuat untuk pegangan. Rasanya seperti akan diterbangkan angin yang terus berputar semakin kencang. Dedaunan dan debu merah beterbangan. Daun pisang robek-robek, dan atap lio dari ilalang ada yang terbang.

Helikopter memiringkan badannya, lalu berbalik arah terbang entah ke mana. Tak ada yang meninggalkan tempat, sampai helikopter itu benar-benar menghilang dari pandangan. Kami saling pandang dengan anak yang lain, ternyata rambut dan badan penuh dengan debu dan daun kering.

Dalam perjalanan pulang ke sekolah, sambil ngobrol, betapa kagumnya saya pada helikopter yang besar, dan pada pilotnya yang gagah. Kami berjalan mengikuti gaya pilot itu berjalan. 

Di sekolah, Bu Guru tak bertanya mengapi kami meninggalkan kelas. Terlihat anak-anak perempuan sedang menggambar. Tanpa ada yang menyuruh, serempak kami menggambar helikopter yang terbang di atas lapangan Darmabakti, dan kami bertiarap serata tanah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//