• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (29): Pesan yang Dibawa Irama Bedug

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (29): Pesan yang Dibawa Irama Bedug

Suara bedug membawa pesan. Warga memahaminya dengan mendengarkan irama pukulan bedug itu setiap hari.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kendi dan botol berisi air bening ditaruh berderet di lantai masjid paling depan yang berbatasan dengan dinding. Air doa ini akan diminum oleh mereka yang sakit. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

20 Oktober 2021


BandungBergerak.id.idMemukul bedug, atau beduk dalam Bahasa Indonesia, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada aturan yang tidak tertulis, tapi disepakati dan dimengerti oleh semua warga di desa kami di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kesepakatan yang diturunkan tapi tidak pernah dilisankan. Masyarakat menjadi paham akan makna bunyi itu karena setiap hari mendengar suara bedug dengan irama pukulan yang sama dan berulang terus setiap harinya, setiap minggunya.

Bedug itu berpasangan dengan kohkol, kentongan. Bedug terdiri dari kayu gelondongan berbentuk selinder, dengan bagian tengah yang kosong seperti drum minyak tanah Si Otong, Si Ayung, dan Ugin.

Ukuran bedug di masjid Ajengan Idim, garis tengahnya 50 sentimeter. Panjang kayunya dua meter. Kulit kerbaunya dipasang di ujung kayu yang diameternya lebih lebar. Bedug di Kaum itu ukurannya besar sekali. Diameter kayunya lebih dari 100 sentimeter. Demikian juga kentongannya, lebih besar dari lesung.

Dikerjakan Bersama-sama

Ketika kayu bedug sudah rusak karena pecah atau ada yang lapuk, warga di sekitar masjid Ajengan Idim itu segera berunding, menentukan pohon milik siapa yang akan disumbangkan. Setelah dipotong sesuai dengan ukuran bedug, potongan batang pohon itulah yang digotong bersama-sama hingga halaman masjid.

Kayu diikat dengan tali bambu yang kuat, lalu digotong oleh delapan orang menggunakan palang bambu yang kuat. Empat orang di sisi kiri kayu, berpasangan dengan empat orang yang berada di sisi kanannya.

Setalah sampai di dekat masjid, kayu gelondongan itu dijemur dengan cara ditegakkan. Setelah seminggu, bagian ujung atas kayu mulai dipahat membentuk cekungan sebesar panci. Di dalam cekungan itu dimasukkan sedikit kain bekas, lalu diguyur minyak tanah. Api menyala siang malam, membakar bagian tengah kayu dari dalam.

Besok pagi atau siang, ada yang berinisiatif memahat kayu menggunakan linggis, potongan besi sepanjang 125 sentimeter dengan ujungnya yang pipih dan dan diasah sampai tajam. Lubang kayu semakin hari semakin dalam, dan pinggirannya terus dirapikan.

Setelah mencapai kedalaman satu meter, kayu tegak itu dibalikkan, yang semula di atas menjadi di bawah. Prosesnya dimulai lagi dari awal, membuat cekungan, lalu kain bekas diletakkan di sana, diguyur minyaktanah, lalu dibakar.

Bila kayu itu sudah berlubang, pinggirannya dirapikan dan dibersihkan. Baru kemudian dipasang kulit kerbau. Karena sudah kering, kulit kerbau itu akan direndam di kolam semalam agar lebih mudah dipasang dan direntangkan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (28): Rasa Makanan yang Lekat dalam Ingatan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (27): Kegembiraan di Gulita Malam
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (26): Kegembiraan di Malam Purnama

Ragam Pukulan Bedug

Suara bedug membawa pesan, bukan saja mengabarkan waktu sekaligus saat salat, tapi juga mengabarkan bahwa besok adalah hari Jumat, bila pada waktu bedug asar dipukul dengan irama yang berbeda.

Kesepakatan tak tertulisnya, yang pertama dipukul adalah kentongan. Dipukul dengan ayunan yang keras, agar suaranya terdengar sampai jauh. Umumnya dengan nada pukulan berselang tiga hitungan. Tooong… (1-2-3), tooong… (1-2-3), tooong… (1-2-3), baru dititirkeun, dipukul lebih cepat tanpa jeda, melambat lagi seperti semula, kemudian dipukul keras satu kali, lalu tiga kali dipukul secara beruntun, baru memukul bedug tiga kali. Duuur… (1-2-3), duuur… (1-2-3), duuur… (1-2-3), berikutnya pinggir kayu bedug dipukul beruntun tok... tolok… tok… tok, lalu bedug dipukul duuur… Itulah irama kentongan dan bedug sebagai pesan waktu salat subuh, asar, magrib, dan isya.

Sebagai penanda waktu salat zuhur, bedug dipukul bukan tiga kali, tapi lebih lama. Iramanya dititirkeun, dipukul tanpa jeda. Setelah kentongan seperti biasa, lalu bedug dipukul dengan irama duuur… duuur… duuur… duuur, duuur duuur duuur duuur, duuur… berulang dari awal sampai tiga kali. Irama memukul bedug seperti waktu duhur ini akan dilakukan pada waktu salat asar hari Kamis, sebagai penanda pesan, bahwa esok hari Jumat.

Bila mendengar suara bedug asar yang dititirkeun, maka besok pagi, para bapak dan anak-anak, sambil mandi di Ci Palebuh, akan mencuci sarung. Tak perlu memakai sabun, cukup digosok-gosok dan dibanting-banting di atas batu besar. Cara menjemur sarungnya digantung agar rapi walau tidak disetrika.

Ke dalam sarung itu dimasukan dua batang bambu yang ukurannya lebih panjang sedikit dari panjang sarung, yang berfungsi untuk mengikatkan tali. Kedua ujung satu batang bambu di bagian atas sarung diikatkan di tiang yang sudah tersedia, satu batang bambu yang ukurannya lebih besar berada di bawah. Batang bambu yang di bawah berfungsi menarik sarung sampai terentang kencang tanpa kerutan.

Sarung itulah yang akan dipakai Jumatan di kaum yang berada di sebelah barat alun-alun. Pada jam sepuluh pagi, mereka yang akan Jumatan sudah berdatangan. Pada jam sebelas, kaum nyaris sudah penuh. Bila di rumah ada yang sakit, salah seorang anggota keluarganya akan membawa air bening dalam kendi atau botol, lalu disimpan di jajaran paling depan yang menempel ke dinding depan masjid. Air doa untuk diminum oleh yang sakit.

Begitu selesai Jumatan, saya bergegas pulang, setengah berlari. Sudah terbayang, Ema menyajikan reumbeuy ketan, campuran nasi ketan dengan kacang merah. Reumbeuy ketan yang wangi santan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//