CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #35: Kolecer dan Kinerja Buruk Pemerintah dalam Menyokong Kerja Literasi
Kotak Literasi Ceras (Kolecer) yang terbengkalai, lalu Pojok Baca yang tak juga mendapat izin. Ada lagi masalah efektivitas program Duta Baca di Kabupaten Bandung.
Muhammad Luffy
Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka
24 Juni 2023
BandungBergerak.id – Dalam tulisan yang berjudul Quo Vadis Kolecer dan Posisi Para Instansi Penyelenggaranya pada 10 Juni yang lalu, Nurul Maria Sisilia menyinggung soal peran pemerintah ihwal terbengkalainya Kotak Literasi Cerdas (Kolecer) yang berada di sudut Alun-alun Cicalengka. Tentu saja tulisan itu bukan tanpa data yang kuat. Malah disajikan juga dengan berbagai pendapat warga net yang menyayangkan adanya Kolecer tanpa terurus dengan baik.
Bila merujuk pada selebaran Tugas Sekretariat Dinas Perpustakaan dan Kearsipan dalam laman bandungkab.go.id, terdapat bagian-bagian kerja yang semestinya wajib dilakukan oleh jajaran Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kabupaten Bandung. Tugas yang berlaku pada tahun 2017 itu menguraikan, salah satunya, mengenai tugas pokok Seksi Pengembangan Bahan Perpustakaaan, yakni “Merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanan tugas seksi pengembangan bahan perpustakaan”.
Sebetulnya, ada banyak bagian tugas dari masing-masing seksi, terutama dalam soal pemeliharaan perpustakaan, baik yang terdapat di kawasan Dispusip sendiri maupun yang berada di luar. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah, apakah Kolecer yang sengaja disimpan di Alun-alun Cicalengka itu bukanlah kewenangan Dispusip selaku bidang pemerintahan yang membawahi soal literasi? Jika iya, lalu siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola buku-buku di dalam Kolecer? Gubernur Jawa Barat atau aparat pemerintahan desa dan kecamatan?
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #32: Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #33: Mewacanakan Hari Jadi Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #34: Quo Vadis Kolecer dan Posisi Para Instansi Penyelenggaranya
Libatkan Komunitas
Yang jelas bagi saya, siapa pun yang mempunyai kewenangan untuk merawat atau menjaga Kotak Literasi Cerdas, semestinya dikomunikasikan dahulu kepada pihak-pihak yang turut bergiat dalam dunia perbukuan. Jika konteksnya di Cicalengka, alangkah baiknya mengundang berbagai komunitas literasi seperti Lingkar Literasi Cicalengka, atau komunitas-komunitas yang memiliki kepedulian terhadap tingkat minat baca di masyarakat.
Di Cicalengka sendiri kurang lebih terdapat sembilan Taman Baca Masyarakat (TBM) yang tersebar di beberapa desa. Dari sembilan Taman Baca Masyarakat tidak ada satu pun yang dilibatkan untuk mengurus atau mengelola Kolecer sejak pertama kali disimpan di Alun-alun Cicalengka. Bukan saja perihal koordinasi, posisi penyimpanan dan juga pengadaan buku Kolecer itu seakan-akan tidak diniatkan dengan baik. Ibarat ungkapan, “ini mah program Gubernur Jawa Barat”, sehingga alih-alih program bersama hal ini malah seperti saling melempar tanggung jawab.
Persoalan literasi di Cicalengka sebetulnya dapat diselesaikan sendiri tanpa bantuan pemerintah. Tetapi dalam konteks ini ada hal serius yang memang mesti dituntaskan oleh pemerintah. Pemerintah yang seharusnya menyediakan fasilitas dan senantiasa memantau dengan baik perangkat-perangkat literasi, nyatanya sangat jauh dari pencapaian yang diharapkan. Sebelum persoalan Kolecer ini ramai di media sosial, masalah Pojok Baca yang tersendat perizinan juga masih belum ada jawaban yang pasti dari Dispusip. Padahal kami sudah beberapa kali menagih dan berkomunikasi dengan para stakeholder itu, tetapi masih tidak ada titik terang yang membuat kami merasa lega. Pasalnya, jika Pojok Baca terealisasikan, imbasnya bukan saja memusatkan kegiatan literasi di Alun-alun namun juga sekaligus dapat merawat dan mengontrol Kolecer yang kini terbengkalai.
Dengan terus munculnya persoalan baru tentu saja hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah tak lagi peduli dengan progresivitas kinerja dalam mengampanyekan pentingnya membaca. Yang ditekankan hanyalah sebuah gimik tanpa menampilkan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
Balik lagi pada persoalan Kolecer. Berdasarkan hasil penelusuran Nurul saya sepakat pada pernyataan salah satu warga net, bahwa gelaran lapakan buku oleh pegiat perpustakaan jalanan lebih efektif ketimbang pengadaan Kolecer yang bukunya hanya tampak beberapa saja. Apalagi buku-buku yang berada di dalam kotak berwarna kuning itu dibiarkan berdebu dan tidak menarik perhatian sama sekali. Padahal bila dilihat dari dekat ada beberapa buku berkualitas seperti buku Dari Junghuhn ke Bosscha yang ditulis oleh Hawe Setiawan, Hafidz Azhar dan Atep Kurnia, serta buku-buku filsafat dalam bahasa Indonesia. Anehnya, di tengah hiruk-pikuknya Alun-alun, buku-buku teknis seperti manajemen organisasi lebih banyak daripada genre buku sejarah dan fiksi yang dapat dibaca secara santai.
Mempertanyakan Peran Pemerintah
Tentu saja lagi-lagi pemerintah seolah tidak berniat mengadakan tempat penyediaan buku yang mudah untuk diakses. Karena, bila direncanakan dengan sungguh-sungguh, pemerintah akan memilah dan memilih mana buku yang terbaik. Bahkan mereka tidak asal-asalan menyajikan berbagai buku yang cocok dibaca di tempat ramai.
Bagi saya pentingnya membaca seharusnya tidak melulu disematkan kepada khalayak publik. Jangan-jangan ketika pemerintah menggemborkan program kampanye membaca, mereka sebetulnya tidak mau menyempatkan waktu untuk terbiasa dalam aktivitas membaca. Malah yang saya temui pemerintah kerap kali sibuk berkutat pada hal-hal administratif daripada melibatkan diri pada aktivitas membacanya. Maka jangan heran bila segelintir orang menaruh kecurigaan terhadap pemerintah akibat kurangnya aktivitas intelektual yang ditonjolkan.
Persoalan Kolecer dan Pojok Baca bukanlah dua masalah yang sekarang ini mesti segera dituntaskan oleh pemerintah. Dalam urusan literasi, ada banyak problem yang belum tersentuh termasuk efektivitas Duta Baca yang berada di bawah naungan Dispusip.
Beberapa waktu yang lalu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bandung telah mengadakan pemilihan Duta Baca Kabupaten Bandung tahun 2023. Dari 100 orang kandidat terpilihlah dua orang, yakni Marliana Nur Hasanah bersama Ghifar Jauhari Yajri.
Masalah yang hadir kemudian, yakni setelah pengurus Duta Baca Kabupaten Bandung yang telah dibentuk merasa kebingungan ihwal garapan yang mesti direalisasikan. Menurut salah satu pengurus Duta Baca Kabupaten Bandung sekaligus pengurus dalam Lingkar Literasi Cicalengka, Dispusip selaku pemberi kewenangan cenderung melepaskan begitu saja jajaran pengurus Duta Baca yang telah membuat program ke depan, termasuk dalam urusan penggalangan dana.
Ironisnya, para nonoman yang masih perlu bimbingan itu dianjurkan untuk membuat proposal bahkan mencari sponsor dalam setiap menggelar kegiatan rutin. Hal ini tentu mengherankan. Duta Baca sebagai anak sah dari Dispusip, semestinya mendapat sokongan lebih bukan saja soal pendanaan namun juga soal kerterlibatan semua pihak terkait dalam kegiatan literasi. Itulah mengapa bagi saya pemerintah jelas tidak bersungguh-sungguh untuk mendorong kerja-kerja literasi yang dilakukan oleh para pegiat yang concern secara serius, termasuk dalam pengadaan Kolecer dan realisasi Pojok Baca yang masih diabaikan.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka