CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #33: Mewacanakan Hari Jadi Cicalengka
Peresmian hari jadi Cicalengka tidak dapat dilepaskan dengan konteks sosial dan ekologis. Jika hanya sekadar peresmian, hal tersebut merupakan usaha sia-sia.
Muhammad Luffy
Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka
31 Mei 2023
BandungBergerak.id - Kegiatan diskusi buku Dari Bosscha ke Junghuhn pada tanggal 18 Mei silam menyisakan serangkaian pekerjaan yang mesti dilakukan secara kolektif. Hal ini terutama menyangkut peresmian hari jadi Cicalengka, Kabupaten Bandung, yang belum dapat diputuskan oleh satu pihak.
Selepas diskusi tersebut usai, kami diajak oleh salah seorang petinggi pemerintahan yang diwakili Dindin Hikmat sebagai sekretaris Camat. Dindin sendiri bukanlah orang asing dalam lingkungan tokoh-tokoh Cicalengka. Konon, dirinya pernah menjadi ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Cicalengka, selain menunjukkan kedekatan dengan para sesepuh yang sudah lama melakoni hidup dalam menelusuri berbagai problem di Cicalengka.
Terkait ajakan Dindin tersebut, kami (Lingkar Literasi Cicalengka – LLC) bersama Hawe Setiawan, Hafidz Azhar, dan Atep Kurnia, mula-mula dijamu di ruang pertemuan pendopo Cicalengka. Awalnya, tidak ada obrolan yang khusus dalam jamuan itu. Akan tetapi Dindin tiba-tiba melontarkan suatu wacana yang semula dimunculkan satu tahun yang lalu saat Festival Pasar Biru digelar di pendopo kecamatan. Wacana tersebut berkenaan dengan hari jadi Cicalengka yang pernah didiskusikan dalam salah satu rangkaian acara Pasar Biru.
Tanpa tedeng aling-aling Dindin membuka pertanyaan kepada Atep, tentang tanggal dan tahun yang seharusnya dapat dijadikan patokan untuk hari jadi Cicalengka. Atep kemudian menjelaskan bahwa Cicalengka sendiri telah menjadi afdeeling pada 1 Juni 1871, setelah terjadi reorganisasi di Priangan pada tahun 1870. Meski demikian, pada 1 November 1901, pemerintah kolonial kembali melakukan reorganisasi di Priangan, dengan menurunkan kedudukan Cicalengka menjadi controle-afdeelingen yang juga membawahi tiga distrik, termasuk distrik Cicalengka.
Dari data ini, Atep menawarkan, hari jadi Cicalengka dapat merujuk pada tahun 1871 saat Cicalengka menjadi afdeeling, atau tahun 1901 saat Cicalengka menjadi distrik. Bahkan tawaran Atep tersebut sebetulnya lebih condong pada Cicalengka tahun 1871, berdasarkan reorganisasi pertama yang terjadi di Priangan.
Setelah pembahasan ini diputuskan, Dindin mengklaim bahwa dirinya pernah beberapa kali mewacanakan hari jadi Cicalengka di forum-forum pejabat pemerintahan. Ia merasa mesti menetapkan hari penting bagi kampung halamannya itu melalui upaya-upaya birokratis yang dijalaninya. Kendati pun bagi sebagian pengurus LLC, upaya-upaya tersebut hanya sebatas seremonial.
Pembahasan ihwal hari jadi Cicalengka itu terus mengarah ke arah yang lebih serius. Hawe pun memberikan sumbangan pendapat, bahwa dalam penetepan hari jadi harus mempersiapkan soal-soal lain di luar pencocokan data. Seperti terus menggeliatkan wacana hari resmi kelahiran Cicalengka dalam tulisan di media-media. Lalu membuat tim kajian akademik terkait peresmian hari jadi itu. Bukan hanya mengandalkan sumber tertulis, tetapi juga mengandalkan sumber lisan yang masih hidup. Kebetulan, pada waktu pembicaraan ini berlangsung, Agus Rama, sesepuh sekaligus sumber penting dalam penggalian data Cicalengka, juga ikut terlibat memberikan pendapat. Dengan demikian, Hawe pun mengusulkan agar Agus Rama dapat dijadikan narasumber utama sebagai data lisan yang masih dapat dijumpai kini. Selain diperkuat dengan data lisan lainnya dan dicocokan dengan data tertulis yang sudah diperoleh.
Sebetulnya, kilasan sejarah Cicalengka yang bisa dijumpai sekarang sudah pernah ditulis oleh Atep Kurnia secara berseri dalam portal ayobandung.com. Di sana Atep juga menyinggung kelahiran Cicalengka sebagai wilayah administratif bahkan menampilkan bagaimana proses Cicalengka menjadi afdeeling. Bukan hanya itu. Dalam bandungbergerak.id Atep sempat menulis sejarah kereta api di Cicalengka. Di situ Atep pun menyinggung awal mula Cicalengka menjadi afdeeling hingga menjadi distrik. Sehingga dari data-data temuan Atep tersebut sebetulnya bisa kami manfaatkan bahkan mencocokan dengan data lain jika nantinya kami mendapat data baru.
Sementara itu, persoalan hari jadi Cicalengka yang dibicarakan di ruang pertemuan kecamatan juga membahas tentang tahapan lain peresmian. Di samping mengumpulkan dan mencocokan data, hal yang perlu dilakukan setelah semua kajian itu selesai, yakni merancang master plan dan melegalisasi secara hukum. Pembahasan ini sebetulnya tidak terlalu panjang, namun perlu dibicarakan untuk mendorong hari jadi tersebut agar dapat terlaksana.
Pada dasarnya, kami yang tergabung sebagai panitia THT atau pengurus LLC, hanya bisa mendengarkan berbagai sumbangan pendapat, baik dari Hawe Setiawan, Atep Kurnia, serta para inohong seperti Bob Ujo dan Agus Rama yang kerap disapa sebagai Abah. Bagi saya sendiri, berbagai pendapat ini tidak hanya memantik gairah untuk membantu peresmian hari jadi Cicalengka, tetapi bisa menjadi dorongan untuk kegiatan lainnya dalam membangun Cicalengka pada kondisi yang lebih baik.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #30: Masa Depanku atau Masa Depanmu?
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #31: Para Ibu dan Pekerjaan Rumah Mereka Mendidik Anak
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #32: Tjitjalengka Historical Trip dan Upaya untuk Memperkenalkan Literasi Sejarah
Faktor Sosial dan Ekologis
Hasil perenungan saya usai mengikuti pertemuan tersebut mengarah pada problem-problem bersama yang mesti dituntaskan secara lambat-laun. Setelah mendengar persoalan ekologis berupa pengeboran air oleh PT Mayora dari Abah Agus, pikiran saya seketika merespons agar segera melakukan tindakan secara kolektif. Menurut Abah Agus, kerusakan ekologis memang bukan barang baru di Cicalengka. Dari waktu ke waktu akan muncul persoalan baru yang banyak merusak lingkungan. Tetapi, pada kasus yang dilakukan PT Mayora itu, kondisi air di sebagian kawasan Cicalengka akan terganggu. Bahkan mungkin tidak akan memperoleh air yang bersih.
Dalam konteks ekologis ini, Hafidz pun menyinggung keberadaan pengerukan lahan yang ada sekitar Dampit. Padahal di depan lahan tersebut tertancap sebuah plang yang menginformasikan kawasan longsor dari BPBD. Persoalan ekologis di Dampit sendiri menurut Abah Agus sudah bukan lagi bencana ekologis biasa, namun sudah masuk pada tahap luar biasa, mengingat sering terjadi banjir bandang dan longsor di kawasan itu.
Akhirnya, dengan muncul pembahasan masalah ekologis, pertanyaan yang hadir kemudian, yakni jika peresmian hari jadi Cicalengka sudah berlaku, apa yang akan dilakukan pemerintah setempat dalam mengurangi kerusakan ekologis di Cicalengka yang kian masif dan tak dapat dibendung ini? Sebab, dengan keberadaan perumahan dan pabrik-pabrik yang telah beroperasi, mustahil tidak dapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah setempat. Jika tanpa IMB, tentu saja bangunan-bangunan itu dapat dikatakan cacat secara hukum. Artinya, kami juga mempunyai hak untuk melarang mereka beroperasi.
Di sisi lain, soal peresmian hari jadi Cicalengka, saya kira hal itu tidak dapat dilepaskan dengan konteks lainnya sebagaimana problem sosial dan ekologis yang tengah terjadi. Sehingga, jika hanya sekadar peresmian, saya sendiri hanya dapat mengatakan bahwa hal tersebut merupakan usaha yang sia-sia yang didorong oleh kepentingan satu pihak. Oleh karena itu, upaya untuk menentukan hari jadi Cicalengka ini, seharusnya, dapat dijadikan momen dalam mengamati dan memberikan solusi terhadap peliknya persoalan yang terus menjamur. Bahkan, menurut saya sendiri, hal ini dapat mempersatukan semua elemen sebagai bagian kerja kolektif.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka