• Opini
  • Cat Warna-warni dan Hiperealitas Kota

Cat Warna-warni dan Hiperealitas Kota

Pemerintah semakin gemar membalut infrastruktur kota dengan cat warna-warni agar menarik dan tampak ceria. Mengaburkan realitas keseharian warga.

Jejen Jaelani

Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban

Berkat cat warna-warni, kawasan Jalan Cingised yang jadi langganan banjir, disebut mirip dengan Venetian Burano. (Sumber foto: Diskominfo Kota Bandung)

28 Juni 2023


BandungBergerak.id - Di dalam beberapa tahun belakangan ada fenomena menarik di lanskap kota kita. Cat warna-warni di ruang terbuka menjadi gejala yang umum kita lihat di berbagai tempat. Taman-taman kota, saluran sanitasi, pinggiran sungai, gang, dinding tembok pinggir jalan, atap-atap rumah, jembatan layang, dan berbagai tempat lain dicat dengan warna-warna meriah. Ruang-ruang kota menjadi tampak menarik dan ceria.

Warna-warni di ruang kota ini tentu dibuat untuk menarik perhatian warga kota dan juga wisatawan. Tidak jarang lokasi-lokasi tertentu diburu oleh orang-orang untuk dijadikan lokasi foto untuk kemudian diunggah ke media sosial.

Tren ini kemudian membentuk anggapan bahwa di dalam pembangunan infrastruktur kota seakan-akan ada keharusan untuk mengecatnya dengan warna-warna yang meriah. Akibatnya berbagai infrastruktur kota, baik yang baru maupun yang revitalisasi, dibuat dengan mengikuti tren warna-warni ini. Berbagai kota di Indonesia mengalaminya.

Ruang Imajinasi

Menarik jika kita melihat bagaimana ruang diimajinasikan oleh pemerintah kota. Ruang kota menjadi ruang yang diandaikan dan diimajinasikan sebagai ruang yang lain. Di dalam banyak kasus, ruang-ruang ini diimajinasikan menjadi ruang-ruang yang tidak memiliki keterkaitan latar belakang historis atau kesamaan kondisi geografis.

Kita dapat melihat bagaimana misalnya ruas Jalan Cingised di Kota Bandung yang bertahun-tahun kondisinya cukup memprihatinkan karena banjir setiap hujan turun dan aspal yang rusak. Pada awal tahun 2023 ruas jalan ini direvitalisasi dengan trotoar dan sejumlah bangunan yang dicat warna-warni. Yang kemudian menarik adalah Jalan Cingised ini diimajinasikan sebagai Venetian Burano, sebuah tempat di Italia. Venetian Burano sendiri disebutkan merupakan perkampungan nelayan tua di sebuah pulau wilayah Northern Venetian Lagoon Italia.

Berbagai media yang meliput peresmian proyek revitalisasi ini kemudian juga beramai-ramai mengutip pejabat pemerintah Kota Bandung bahwa Cingised kini tampil glowing dan menjadi wisata selfie yang dijuluki Venetian Burano. Media-media ini juga menuliskan bahwa Cingised Bandung cocok dijadikan destinasi wisata selfie gratis karena penuh bangunan warna-warni yang apik untuk dijadikan latar berfoto.

Contoh lain dapat kita lihat juga pada taman-taman. Ada banyak taman yang direvitalisasi dengan menerapkan konsep yang sama sekali baru. Taman Lampion atau Lampions Park di Tegalega Bandung, misalnya, menjadi salah satu proyek revitalisasi yang diresmikan pada 24 Mei 2019. Yang menarik, taman ini hadir dalam wajah yang sama sekali baru berkat lampion dengan dominasi bentuk patung-patung dinosaurus. Begitu masuk gerbang taman ini, pengunjung akan disambut patung lampion Tyranosaurus Rex atau T-Rex. Ada berbagai bentuk dinosaurus lain, bahkan termasuk telur-telur dinosaurus. Patung-patung lampion ini dibuat dengan warna-warna yang mencolok dan menyala pada malam hari.

Contoh lainnya adalah pembangunan Teras Cihampelas. Alih-alih menjadi solusi bagi pedagang kaki lima (PKL), Teras Cihampelas lebih cenderung merupakan utopia pemerintah kota tentang sebuah ruang yang estetis secara visual. Ruang ini menghadirkan simulasi yang hanya merujuk pada dirinya sendiri. Ruang ini tidak merujuk pada konsep yang berdasarkan fungsi sebagai sarana penunjang bagi para pejalan kaki yang menghubungkan gedung-gedung perkantoran atau lokasi-lokasi lain yang terpisah oleh jalan. Teras Cihampelas menjadi utopia pemerintah kota yang diwujudkan untuk memenuhi ambisi akan terbangunnya sebuah kawasan wisata yang fotogenik.

Infrastruktur dan taman-taman kota dihadirkan dengan melepaskan diri dari asal-usul lingkungan dan budaya Kota Bandung. Infrastruktur dan taman-taman ini menghadirkan sebuah utopia dan fantasi bagi warga kota dan wisatawan tentang tempat nun jauh di sana atau bahkan dunia yang tidak ada.

Kendaraan melintas di bawah bangunan Teras Cihampelas di Jalan Cihampelas, Kota Bandung, Juli 2021. Menghabiskan dana puluhan milyar rupiah, infrastruktur ini dinilai keliru sejak peruntukannya. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kendaraan melintas di bawah bangunan Teras Cihampelas di Jalan Cihampelas, Kota Bandung, Juli 2021. Menghabiskan dana puluhan milyar rupiah, infrastruktur ini dinilai keliru sejak peruntukannya. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Mesin Parkir Elektronik di Bandung: Nisan di Kuburan Smart City
Ketiadaan Politik Kewargaan di Tengah Pemilu

Kota dan Simulasi

Di dalam kacamata budaya, fenomena ini dapat dibaca sebagai sebuah simulasi. Simulasi merupakan penanda yang merujuk pada dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan representasi yang merujuk pada sebuah realitas, sebuah penanda yang merujuk pada petanda yang nyata. Jean Baudrillard di dalam esainya “The Precession of Simulacra” (2006, hal. 456) menjelaskan bahwa representasi berasal dari prinsip kesetaraan tanda dan realitas. Simulasi, sebaliknya, bermula dari utopia prinsip kesetaraan, dari negasi radikal tanda sebagai nilai, dari tanda sebagai pembalikan dan hukuman mati dari setiap referensi.  

Yasraf Amir Piliang di dalam Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika (2004, hal. 4) menjelaskan bahwa ketika realitas-realitas alamiah tersebut lenyap, dan diambil alih oleh pelbagai realitas yang artifisial, manusia lalu terkurung di dalam perangkap dunia artifisial, yaitu dunia yang serba permukaan, imanen, dan dangkal, serta tak mampu lagi menemukan jalan kembali ke arah realitas alamiah, kekayaan kultural, dan kedalaman pengalaman transendental.

Infrastuktur yang warna-warni dan taman-taman ini menawarkan daya tarik eksperimental bagi para pengunjung. Tempat-tempat ini dihadirkan demi kepentingan sensasi melihat tanda-tanda yang merujuk pada dirinya sendiri. Tempat-tempat ini hadir sebagai sesuatu yang menutupi ketidakhadiran realitas kota yang sesungguhnya. Ia menutupi ketidakhadiran kekacauan dan kesemrawutan kota yang ada di seberang tempat atau taman itu: kriminalitas, kemacetan lalu lintas, banjir, sampah, penggusuran, gentrifikasi, premanisme, dan sebagainya.

Batas-batas antara yang nyata dan yang fiksi semakin kabur. Batas di antaranya tidak lagi dapat dipisahkan secara tegas dan jelas. Di dalam kondisi seperti ini, manusia akan sangat mudah tersesat di antara kaburnya batas yang nyata dan yang fiksi. Hal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah hiperealitas. Hiperealitas adalah sebuah kondisi yang melampaui seluruh pemahaman tentang realitas.

Ketimbang menyerap dan merepresentasikan realitas, warna-warni yang hadir di kota kita cenderung mengaburkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam keseharian warga kota.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//