• Opini
  • Mesin Parkir Elektronik di Bandung: Nisan di Kuburan Smart City

Mesin Parkir Elektronik di Bandung: Nisan di Kuburan Smart City

Menelan biaya besar, mayoritas mesin parkir elektronik di Kota Bandung gagal berfungsi untuk melayani warga. Ibarat nisan di kuburan Smart City.

Frans Ari Prasetyo

Peneliti independen, pemerhati tata kota

Warga melintas di trotoar tempat sebuah mesin parkir yang tidak berfungsi di Jalan Oto Iskandar di Nata, Kota Bandung, Jumat (23/12/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Juni 2023


BandungBergerak.id - Menyusuri jalan-jalan di Bandung, kita akan mendapati kotak persegi panjang vertikal berwarna merah berserakan di trotoar. Entah ruas jalan primer, sekunder, maupun tersier. Itulah mesin parkir elektronik yang diklaim canggih sebagai bagian dari infrastruktur Bandung Smart City yang digagas Wali Kota Ridwan Kamil sejak tahun 2013.

Tercatat ada 455 mesin parkir elektronik di 221 titik di 57 lokasi yang mulai dipasang sejak tahun 2016. Bermerek Cale, proyek penyediaan infrastruktur dengan harga 125 juta rupiah per unit ini menyedot dana publik bersumber APBD hingga 80 milyar rupiah.

Ajaibnya, pengoperasian mesin parkir elektronik tersebut tetap melibatkan 700 orang juru parkir. Ini kan sangat paradoks. Mesin canggih nan mahal yang dibuat untuk memodernisasi sistem parkir dan menguranggi informalitas tukang parkir tetap membutuhkan kerja manual dalam jumlah besar.

Parkir meter memang bukan budaya kita yang terbiasa dengan keberadaan tukang parkir. Masalahnya, Pemkot Bandung sendiri hampir pasti tidak memiliki data akurat tentang urusan perparkiran ini. Apalagi yang menyangkut keberadaan tukang parkir liar yang entah bagaimana caranya muncul di setiap ruas jalan. Sebuah pendiaman, mungkin?

Jenis mesin parkir elektronik yang tersedia di Bandung tampaknya ketinggalan zaman. Tabel informasi di badannya cukup rumit untuk membuat awam cepat paham. Cara kerjanya dengan menggunakan uang tunai (cash) juga amat merepotkan. Tak heran, tenaga manusia dalam jumlah besar pada akhirnya masih sangat dibutuhkan.

Apakah ini akal-akalan untuk pengadaan jenis mesin parkir yang baru?

Kenaikan Tarif Parkir

Di tengah timbunan masalah pengelolaan mesin parkir elektronik, pada awal tahun 2023 lalu Pemerintah Kota Bandung dikabarkan menaikkan secara signifikan tarif parkir di ketiga zona parkir: zona pusat kota, zona penyangga, dan zona pinggiran. Minim informasi, kebijakan ini juga tidak dibarengi perbaikan infrastruktur dan peningkatan mutu layanan.

Di lapangan, apakah semua petugas parkir sudah tahu tentang kriteria zona berikut tarif barunya ini? Jangan-jangan tarif parkir flat yang tidak resmi kembali berlaku. Karena ada kebijakan penaikan tarif parkir, harga tarif jalanan ini pun ikut-ikutan naik. Seenaknya, baik oleh petugas parkir resmi maupun yang ilegal. Tarif kian tak masuk akal begitu ada kegiatan atau keramaian.

Yang seharusnya segera dilakukan Pemkot Bandung adalah membenahi sistem perparkiran jalanan. Bisa dimulai dari pendataan ulang kondisi dan potensinya. Menaikkan tarif tanpa memperbaiki layanan jelas bukan pilihan tepat. Ada sekian banyak hal yang mendesak untuk dirumuskan ulang dalam urusan perparkiran ini.

Pembagian zona yang dilakukan Pemkot, misalnya, terbukti tidak efektif melihat distribusi perkembangan kota dan mobilitas warga. Pemerintah terlihat tidak sensitif dengan transportasi publik, permukiman penduduk, keberadaan spot-spot keramaian, serta kawasan-kawasan yang muncul sporadis.

Sepengalaman saya, hanya ada beberapa mesin parkir elektronik yang beroperasi dan itu pun tetap harus mennggunakan bantuan tukang parkir untuk mengoperasikannya. Sebagian besar ada di jantung kota. Tarif parkirnya lebih mahal dari ketentuan dan sifatnya progresif, diberikan oleh tukang parkir resmi yang tidak juga pernah memberikan tiket.

Baca Juga: Hantu Smart City itu, Kereta LRT Bandung
Di Puncak Pandemi, Pemkot Bandung Gulirkan Lelang Smart Camera Senilai 3 Miliar Rupiah
RISET UNPAR: Menelisik Kegagalan Penerapan Parkir Elektronik di Kota Bandung

Transportasi Terintegrasi

Selain patuh pada Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, proyek mesin parkir elektronik merujuk pada aturan tata ruang Kota Bandung. Terutama Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Akses parkir sangat terkait dengan transportasi dan permukiman. Keliru besar kalau pembangunan dan pengelolaannya dilakukan semata demi urusan pusat kota, pertokoan, atau destinasi wisata.  

Lebih dari itu. Dalam pengelolaan mesin parkir, layanan transportasi terintegrasi adalah kunci. Titik-titik parkir menjadi melting pot atau hub yang berfungsi sebagai feeder bagi mobilitas warga. Setelah memarkir kendaraan pribadi, warga menggunakan transportasi publik yang lebih murah dan nyaman untuk mobilitas mereka.

Keberadaan sarana parkir juga semestinya didukung oleh sistem keamanan yang terintegrasi dengan sistem informasi kota. Begitulah smart city. Basis data pengguna digunakan untuk meningkatkan mutu layanan publik, yang kemudian laporannya bisa diakses secara transparan.

Apakah mesin parkir di Bandung Smart City sudah seperti itu? Atau jangan-jangan ia berhenti menjadi nisan di kuburan kota pintar. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//