• Kolom
  • SUARA SETARA: Eksklusi Struktural Pekerja Disabilitas dan Lansia di Universitas

SUARA SETARA: Eksklusi Struktural Pekerja Disabilitas dan Lansia di Universitas

Pembiaran eksklusi struktural oleh universitas menunjukkan kegagalan integritasnya dalam semangat inklusivitas di pendidikan tinggi.

Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi

Perempuan aktivis, berkegiatan di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di @elfaroger

Sejumlah remaja penderita low vision dan tunanetra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping membawa poster saat pawai disabilitas di Bandung, Jawa Barat, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Juli 2023


BandungBergerak.id – Studi ini dilakukan pada universitas yang masuk dalam urutan 1201-1500 world university rankings dan peringkat ke 501 – 600 dari asia university rankings, menurut Times Higher Education tahun 2023. Lebih spesifik lagi analisis ini dilakukan pada fakultas ilmu pendidikan atau college of education yang berada di kampus Indonesia dan Taiwan.

Keduanya ialah universitas negeri yang masing-masing memiliki department jurusan pendidikan khusus atau special education, yang dalam asumsi awal penulis Universitas X Indonesia dan Universitas Y Taiwan memiliki pemahaman yang lebih maju perihal semangat inklusifitas dan pemaknaan perjuangan kesetaraan bagi penyandang disabilitas dalam penghidupan.

Baca Juga: SUARA SETARA: Hadirnya Teknologi, Ruang Aman Semakin Samar?
SUARA SETARA: Perempuan Naif dan Perempuan Liar
SUARA SETARA: Wacana dan Klaim Kampus Ramah Lingkungan

Regulasi bagi Penyandang Disabilitas

Taiwan memiliki Undang-undang Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas. Aturan tersebut mewajibkan perusahaan di negara tersebut yang memiliki tidak kurang dari 34 orang pekerja maka mereka harus merekrut pekerja disabilitas sebanyak 3% dari jumlah pegawai yang ada. Sementara untuk instansi pendidikan, lembaga pemerintah atau lembaga bisnis, serta lembaga swasta dengan pegawai tidak kurang dari 67 maka harus mempekerjakan kurang dari 1% pekerja disabilitas.

Sedangkan di Indonesia, termaktub dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dalam aturan tersebut bahwa pemerintah pusat dan daerah, BUMD, serta BUMN memiliki keharusan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak 2% dari jumlah pekerjanya. Sementara perusahaan swasta sebanyak 1%. Namun tidak dijabarkan lebih detail mengenai penyerapan atau akses serapan tenaga kerja di institusi pendidikan atau sekolah. Indonesia masih berada dalam posisi promosi kuota hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, belum sampai hak pekerja disabilitas diberbagai lini sektor.

Perbandingan level diskriminasi usia di tempat kerja: Taiwan vs Indonesia

Selain penyandang disabilitas, penulis juga meramu pembahasan kali ini dengan kasus pada pekerja lansia yang juga termasuk ke dalam kelompok rentan. Dalam Undang-undang di Taiwan memberikan dasar hukum untuk mensubsidi pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja lansia (orang berusia 60 tahun ke atas). Menurut Direktorat Jenderal Anggaran, Akuntasi dan Data Statistik Taiwan bahwa terjadi peningkatan dari 50 ribu menjadi 1,031 juta pada pekerja lansia dalam 10 tahun terakhir. Hal ini juga mengacu pada angka harapan hidup yang relatif tinggi dengan kondisi Kesehatan yang cukup untuk bekerja. Dewan Pembangunan Nasional Taiwan juga menjelaskan bahwa adanya pelonjakan pekerja lansia terjadi karena faktor angka kelahiran di Taiwan yang rendah.

Di sisi lain diskriminasi pekerja lansia di Taiwan kerap terjadi. Lansia umumnya mendapatkan pekerjaan yang cenderung dihindari oleh kelompok usia muda. Level diskriminasi pada pekerja lansia di Taiwan ada pada akses dan jenis pekerjaan. Secara singkat level diskriminasi pekerja lansia di Taiwan ada pada tahap dorongan untuk menciptakan akses lingkungan kerja yang ramah bagi lansia. Didapatkan bahwa di Universitas Y mempekerjakan pekerja lansia di tatanan non administrative senior.

Sedikit lebih mundur, kondisi di Indonesia dihadapkan pada level diskriminasi pada kelompok lansia memasuki pada tingkat akses lowongan pekerjaan. Di Universitas X tidak lagi mempekerjakan pegawai non akademik jika sudah memasuki usia 58 tahun. Hal ini disebabkan adanya aturan mengenai batas usia PNS yang diterapkan pada Universitas X yang mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja yang memang sudah problematik dari awal.

Eksklusi Sosial

Level struktural menjadi dampak atas terjadinya eksklusi di tatanan kultural masyarakat. Stigma struktural merupakan stigma yang dibangun oleh institusi maupun lingkungan di mana individu tersebut tinggal. Paparan fakta di atas menjadi sebuah pengantar bagaimana gambaran terjadinya eksklusi di lingkungan kerja terhadap kelompok disabilitas dan lansia, yang dalam hal ini keduanya tergolong dalam kelompok rentan. Akses dan sikap diskriminatif terhadap penyandang disabilitas maupun kelompok lansia pada praktek praktek di Institusi pendidikan dalam hal ini universitas, nyata terjadi.

Mental eksklusif sebenarnya sudah diciptakan kepada kelompok penyandang disabilitas sejak dalam praktek akademik seperti pada pemisahan sekolah penyandang disabilitas dan non disabilitas (Rohman, 2019). Belum lagi dengan paradigma kelompok konservatif yang menganggap disabilitas ialah pemberian Tuhan yang harus diterima dan dipandang tidak memiliki kemampuan dalam bersosial. Terlebih secara kultural terkhusus di Indonesia anggapan kelompok lansia seolah harus menikmati usia tuanya dan berleha-leha di rumah saja, hal ini juga menimbulkan beban lain kepada kelompok muda yang terikat relasi genetiknya, ini juga menggambarkan bahwa konstruksi sosial juga tidak memecahkan masalah apapun yang ada hanya mengkoptasi ke dalam landscape masalah lainnya.

Diskusi penulis bersama salah satu profesor Y pada kondisi ini di Universitas Y bahwa nyatanya mau tidak mau universitas harus mempekerjakan disabilitas dan lansia karena terikat regulasi karena sebelumnya juga tidak menerapkan regulasi tersebut dan dikenakan denda sebesar 3 juta NTD atau sebesar 1,4 miliar. Setelah itu terjadi perombakan posisi dalam bentuk penambahan pegawai disabilitas dengan penglihatan yang ditambahkan di bagian Massage SPA Lounge yang kemudian dijadikan fasilitas gratis yang dapat diakses oleh pegawai kampus saja, tidak berlaku untuk mahasiswa maupun non sivitas. Dan dalam lanskap pekerja lansia di Universitas Y, mereka mempekerjakan di bagian non administrative.

Sedangkan di universitas X tidak didapatkan pekerja lansia maupun pekerja disabilitas.

Diskusi

Legitimasi diskriminasi dan stereotip serta tendensi negatif seolah terus dilakukan oleh mayoritas masyarakat. Kelompok dominan dalam hal ini non disabilitas dan non lansia yang memiliki kuasa berada pada posisi struktural menghalangi akses kelompok rentan dan bahkan secara sadar atau tidak dapat mencabut hak-haknya. Belum lagi terjadinya eksklusi ganda karena faktor gender dan ras, seperti dalam studi yang dilakukan oleh McNail mengungkapkan bahwa pekerja kelompok rentan dengan gender perempuan memiliki potensi lebih kecil untuk dipekerjakan di banding dari laki-laki.

Fakta lain yang harus diterima ternyata pekerja kelompok rentan dipekerjakan alih-alih atas nama pembangunan ekonomi. Isu partisipasi juga harus disoroti karena berakhir pada keterpaksaan universitas dalam mempekerjakan kelompok rentan karena tidak memiliki pilihan lain demi terpenuhinya syarat administrasi dalam mempertahankan ranking universitas. Ekslusiftas universitas dan sikap lepas tanggung jawab pemerintah terjadi pada persoalan individu kelompok rentan. Sehingga muncul eksklusi struktural yang diciptakan oleh universitas, hal ini menunjukan kegagalan integritasnya dan mencederai semangat inklusivitas di tatanan perguruan tinggi, dan menjadi lembaga institusi pendidikan yang melakukan peminggiran serta melanggengkan stigma pada kelompok rentan disabilitas dan lansia.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//