SUARA SETARA: Hadirnya Teknologi, Ruang Aman Semakin Samar?
Setiap orang memiliki hak mendapatkan ruang aman. Walaupun perkembangan teknologi informasi telah membuka celah kekerasan seksual dari ranah digital.
Salma Putri Hafidza
Mahasiswa dan aktif di Great UPI
31 Mei 2023
BandungBergerak.id - Kehadiran teknologi dan kemudahan akses media sosial memang terlihat menguntungkan, tapi apakah hal itu mampu memberikan ruang aman bagi penggunanya?
Di era ini, berbagai aspek kehidupan difasilitasi oleh teknologi. Kita tidak perlu membeli koran lagi untuk membaca berita, kita tidak perlu pergi ke supermarket untuk belanja, kita tidak perlu ke atm untuk transfer uang, kita tidak perlu berkirim surat untuk bertanya kabar, dan masih banyak hal lainnya yang tanpa sadar membuat kita sangat bergantung dengan teknologi.
Media sosial merupakan media komunikasi yang paling ramai diakses masyarakat. Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna aktif media sosial di Indonesia sendiri pada Januari 2022 mencapai angka 191 juta, nilai ini bertambah sebanyak 12,35 persen dibanding tahun 2021. Tiga media sosial yang paling sering digunakan oleh penduduk Indonesia per Februari 2022, yaitu Whatsapp sebesar 88,7 persen, lalu Instagram sebesar 84,8 persen, dan Facebook sebesar 81,3 persen dari jumlah populasi. Media sosial memang banyak digunakan oleh banyak orang karena segudang manfaatnya, seperti sebagai sarana komunikasi, hiburan, bisnis, pendidikan, hingga sebagai media berita.
Walaupun mungkin terlihat menguntungkan, tetapi pada kenyataanya sekarang setiap orang bisa melakukan aksi kejahatan apa pun dengan lebih mudah karena difasilitasi teknologi. Seperti halnya pada kehidupan nyata, di media sosial juga terjadi berbagai penyimpangan dengan menyalahgunakan teknologi dan kemudahan akses media sosial, seperti penipuan, perundungan, bahkan pelecehan seksual online atau kerap disebut cyber sexual harassment.
Cyber Sexual Harassment yang Dinormalisasi
Cyber sexual harassment atau pelecehan seksual online merupakan salah satu jenis dari KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Menurut SAFENet, organisasi yang berfokus pada upaya mempertahankan hak digital di kawasan Asia Tenggara, menyebutkan bahwa KBGO adalah tindakan kekerasan yang bertujuan melakukan pelecehan gender dan seksual yang difasilitasi teknologi. Sementara itu, cyber sexual harassment adalah sebuah perilaku menyimpang dengan tujuan untuk memuaskan nafsu pribadi dan merendahkan korban secara seksual di dunia maya, seperti memberikan komentar seksual, mengirim gambar atau video eksplisit yang tidak senonoh, lelucon berbau seksual, permintaan melakukan aksi pornografi, dan pemaksaan/ancaman melakukan aktivitas seksual.
Beberapa contoh cyber sexual harassment yang sering dijumpai di media sosial, yaitu ketika selebgram perempuan mengunggah foto dirinya memakai bikini atau pakaian terbuka. Ada beberapa orang yang berkomentar dan melontarkan lelucon tidak senonoh, seperti “pay*dara lo seksi banget!”, “pasti udah gak perawan nih!”, atau yang bersifat menggoda disertai ajakan hubungan seksual seperti “hai cantik, 10jt per malam bisa kali”, dan masih banyak ujaran tidak senonoh lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Adapun kasus yang sering terjadi, yaitu pelaku mengirimkan foto/video seksual tanpa konsensual. Selain itu, ada juga pelaku yang membuat akun palsu seseorang dan mengunggah ulang foto/video korban disertai caption yang bernuansa seksual. Kasus ini tidak hanya terjadi kepada selebgram saja, tetapi juga kepada para orang biasa yang bahkan tidak terlalu terkenal.
Sebenarnya, masih banyak contoh cyber sexual harassment lainnya yang terjadi di media sosial. Mungkin sebagian orang pernah mengalaminya, namun tidak sadar bahwa hal itu termasuk cyber sexual harassment karena kurangnya pemahaman terkait hal tersebut.
Kemudahan akses internet juga mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab semakin aktif melakukan kejahatannya karena identitas mereka dapat dengan mudah disamarkan sehingga pengguna media sosial lain tidak dapat mengetahui identitas mereka.
Perempuan Seolah Dilihat Bukan Sebagai Manusia yang Memiliki Hak Kebebasan Berekspresi
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan pada tahun 2021, baik dalam ranah publik maupun ranah privat kasus cyber sexual harassment paling mendominasi di antara jenis KBGO lainnya. Pada ranah publik mencapai 472 kasus dan ranah privat mencapai 277 kasus. Platform media sosial yang paling sering dijumpai kasus ini adalah Instagram. Biasanya pelaku melakukan cyber sexual harassment melalui DM (Direct Message) ataupun melalui kolom komentar di akun milik korban. Kebanyakan korban dari kasus ini adalah perempuan.
Kasus ini sangat sering terjadi dan dapat kita temui di berbagai platform media sosial. Tidak hanya di Instagram, di aplikasi baru seperti Tiktok juga sering kali ditemukan kasus serupa. Namun, banyak orang yang malah menormalisasi hal ini. Kenapa?
Banyak orang beranggapan bahwa hal ini wajar dan patut diterima oleh korban karena korban mengunggah foto dengan pakaian yang dianggap terlalu terbuka. Publik menganggap hal itulah yang mengundang nafsu orang-orang yang melihatnya, maka bukan salah pelaku jika terjadi pelecehan seksual. Selain itu, banyak orang juga menganggap bahwa adanya komentar-komentar kotor tersebut seharusnya dijadikan sebagai pengingat agar korban memakai pakaian tertutup. “Itu kan resiko, siapa suruh posting pake baju kayak gitu?!”, begitu kira-kira tanggapan publik. Padahal, terjadinya kasus pelecehan seksual dan pakaian korban tidak ada hubungannya.
Dampak bagi Korban
Walaupun sebagian orang menganggap kasus ini sepele, tetapi dampaknya bisa begitu luar biasa bagi korban. Yuk, simak apa saja dampaknya dan tumbuhkan empati di dalam diri kita.
- Keterasingan Diri
Karena kasus ini sering kali dinormalisasi dan menganggap korban adalah penyebab dari kasus ini membuat korban diasingkan oleh sekitar. Sehingga hal ini berdampak pada keterbatasan untuk mendapatkan manfaat dari peluang yang sama secara online yang biasanya didapatkan oleh orang lain, seperti pekerjaan dan ekspresi diri.
- Kecemasan dan Depresi
Siapa yang tidak cemas ketika banyak orang yang tidak dikenal mengirim komentar bernuansa seksual di media sosial kita? Apalagi komentar tersebut bukan hanya kita yang bisa lihat, tapi semua orang memiliki akses untuk melihat komentar tersebut. Cemas? Pasti!
Menerima perlakuan tidak senonoh dari orang-orang yang bahkan tidak korban kenal membuat mereka semakin takut untuk bertemu dengan orang baru dan merasa tidak memiliki ruang aman baik di kehidupan sehari-hari maupun di online.
- Takut untuk Speak Up
Dinormalisasinya kasus ini oleh masyarakat membuat korban mengalami ketakutan akan dihakimi ketika ingin speak up mengenai apa yang terjadi pada dirinya kepada publik. Hal ini berpengaruh terhadap keputusan korban untuk lebih memilih tidak melaporkan dan memproses kasus ini ke ranah hukum.
Padahal pelaku pelecehan seksual online bisa ditindak pidana berdasarkan Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual nonfisik dan Pasal 14 ayat 1b UU TPKS tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
Baca Juga: SUARA SETARA: Pelaku Kekerasan Seksual pada Warga Difabel kerap Lolos, karena Kesaksian yang Kurang Valid atau Sistem Hukumnya tidak Inklusif?
SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Mencegah?
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan ruang aman. Walaupun online sifatnya tidak terbatas dan kejahatan bisa muncul dari celah apa pun, setidaknya kita bisa bergerak untuk mencegah terjadinya KBGO, khususnya cyber sexual harassment yang marak terjadi. Kita tidak pernah tahu aksi sekecil apa pun yang kita lakukan, bisa jadi menciptakan suatu hal baru yang luar biasa.
Saya percaya, kita dapat menciptakan ruang aman bagi diri kita sendiri dan sekitar kita. Hal itu bisa terjadi jika kita memiliki kesadaran dan keinginan yang kuat atas perubahan yang positif.
Berikut adalah beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah terjadinya cyber sexual harassment:
- Melakukan pelatihan literasi digital berbasis empat pilar, yaitu kecakapan digital, budaya digital, etika digital, dan pemahaman digital;
- Mengedukasi diri dan orang-orang sekitar dengan pemahaman dasar kekerasan/pelecehan seksual;
- Melakukan kampanye solidaritas dengan tujuan menyebarkan kesadaran mengenai KBGO;
- Tidak abai ketika melihat seseorang sedang mengalami kekerasan/pelecehan seksual;
- Memanfaatkan fitur blokir dan report akun kepada pelaku kekerasan/pelecehan seksual;
Tidak dapat dipungkiri bahwa hidup kita saat ini sangat bergantung pada teknologi. Saya harap, seiring berkembangnya teknologi, kesadaran masyarakat semakin kuat tentang betapa pentingnya menerapkan etika digital.
Kita bisa mulai bergerak dari sekarang. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau lebih memilih untuk tidak peduli, sampai kapan kita melanggengkan kekerasan seksual?
*Tulisan Suara Setara merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center (Great) UPI