• Kolom
  • SUARA SETARA: Pelaku Kekerasan Seksual pada Warga Difabel kerap Lolos, karena Kesaksian yang Kurang Valid atau Sistem Hukumnya tidak Inklusif?

SUARA SETARA: Pelaku Kekerasan Seksual pada Warga Difabel kerap Lolos, karena Kesaksian yang Kurang Valid atau Sistem Hukumnya tidak Inklusif?

Keterangan saksi dan/atau korban warga difabel mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan/atau korban nondifabel.

Andily Aprilia Rahmawati

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) dan Ketua BEM KEMA FIP UPI, bisa dihubungi di [email protected]

Sejumlah remaja penderita low vision dan tunanetra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping membawa poster saat pawai disabilitas di Bandung, Jawa Barat, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Mei 2023


BandungBergerak.idPernahkah kamu mendengar anggapan bahwa warga difabel aseksual? Anggapan tersebut jelas keliru karena kebutuhan seksual mereka sama dengan yang lainnya. Anggapan keliru lainnya adalah bahwa kondisi disabilitasnya lebih penting daripada seksualitasnya, penyandang disabilitas tidak tahu bagaimana cara berhubungan seks, penyandang disabilitas adalah makhluk tidak berdaya yang tidak memiliki hasrat seksual, sampai penyandang disabilitas tidak berisiko mengalami pelecehan seksual. Padahal penyandang disabilitas memiliki tubuh yang juga tersusun dengan hormon reproduksi.

Anggapan keliru yang akhirnya mendarah daging di masyarakat Indonesia akhirnya membentuk sebuah kebijakan yang keliru juga terhadap penyandang disabilitas, sehingga kasus kekerasan seksual yang menimpa penyandang disabilitas masih menjadi kasus yang sulit ditangani. Hal tersebut tentunya bukan karena pengalaman penyandang disabilitas yang tidak valid, tetapi  hukum yang mengaturnya sering kali tidak inklusif menjangkau mereka sebagai rakyat dengan hak atas pengakuan hukum yang setara.

Penyandang Disabilitas Rentan Menjadi Korban

Tingginya kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas dapat dilihat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Pada tahun 2021, terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan. Data tersebut mengungkapkan bahwa jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual dengan jumlah 561 korban. Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) pada tahun 2020 terdapat 29 kasus kekerasan namun tidak ada satupun yang berakhir dengan hukum pidana.

Kasus konkretnya menimpa seorang wanita difabel ganda di Sukoharjo yang secara hitungan kalender berumur 22 tahun namun secara hitungan mental setara dengan anak usia 8 tahun. Wanita tersebut pun ditolak laporannya oleh polisi karena menganggap ingatan dan komunikasinya tidak valid.

Kasus kedua menimpa seorang perempuan tunarungu dan bisu yang menjadi korban pemerkosaan oleh enam laki-laki. Namun dalam proses pengadilan, dia tidak mendapat layanan bantuan bahasa isyarat yang memadai. Akibatnya, korban kesulitan untuk mengutarakan pernyataan diri dan akhirnya kasus ini ditutup dengan kesimpulan bahwa tidak terjadi pemerkosaan namun hanya sebuah kasus atas dasar suka sama suka.

Penyelesaian kasus bagi penyandang disabilitas memerlukan pelayanan dan pendekatan yang berbeda karena kebutuhan khusus yang harus diakomodir. Hal tersebut menjadi tugas penting bagaimana aksesibilitas tersebut terpenuhi bagi mereka.

Kondisi disabilitas yang beragam membuat penanganannya juga berbeda sesuai kondisi dan kebutuhan. Menurut Kemendikbud, ragam disabilitas terdiri dari hambatan penglihatan (tunanetra), hambatan pendengaran (tunarungu), hambatan fisik (tunadaksa), kesulitan belajar spesifik (learning disability), gangguan emosi dan tingkah laku (tunalaras), gangguan perhatian (ADD/ADHD), Autism Syndrome Disorder (ASD), disabilitas intelektual (tunagrahita), lamban belajar (slow learner), disabilitas ganda (tuna ganda), dan tunawicara.

Ragam disabilitas tersebut menunjukkan bahwa negara perlu memperhatikan dan menyiapkan pendamping disabilitas bagi semua ragamnya. Penanganan tersebut contohnya keterlibatan pendamping khusus baik itu psikolog khusus, adanya juru bahasa isyarat dalam pendampingan korban, adanya asesmen kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas, serta fasilitas yang aksesibel seperti penggunaan huruf braille atau teknologi untuk menerjemahkan tulisan menjadi suara bagi penyandang disabilitas visual, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: SUARA SETARA: Sebelum Merayakan Hari Kemerdekaan, Refleksi terhadap Kasus Kekerasan Seksual di Zaman Jepang
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?
SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat

Penyandang Disabilitas juga Korban dari Budaya Patriarki

Ternyata kondisi disabilitas dapat dianalisis dari sudut pandang gender. Penyandang disabilitas turut menjadi korban dari kultur patriarki yang terbentuk. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Kultur patriarki melahirkan penilaian tentang gender mana yang dianggap utama dan mana yang dianggap marjinal.  Dengan kaca mata patriarki, isu gender dan disabilitas tumbuh dari tafsir manusia atas jenis kelamin dan tubuh lalu melahirkan sebuah stereotip sosial. Akhirnya isu tubuh pun berdampak pada tatanan politik, agama, budaya yang membentuk konsep “kenormalan” tubuh yang akhirnya dijadikan patokan.

Selanjutnya konsep ketubuhan dan kenormalan pada penyandang disabilitas membuat kondisi mereka dianggap sebagai posisi yang inferior dibanding tubuh nondisabilitas. Menurut analisis gender dari Simone de Beauvoir’s, kultur patriarki menjadikan perempuan adalah gender kedua di bawah laki-laki. Dengan demikian, penyandang disabilitas perempuan mendapatkan diskriminasi ganda. Tanpa bermaksud untuk memperbandingkan bagaimana dampak patriarki pada laki-laki dan perempuan, namun akhirnya patriarki mempengaruhi konstruksi identitas laki-laki disabilitas dari segi gender, seksualitas, dan aspek lainnya dalam kehidupan keseharian mereka. Kurangnya akses yang diraskan penyandang disabilitas berdampak pada terbatasnya akses mereka terhadap hak-hak, seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan kesehatan, dan hak atas tempat tinggal yang layak. Kondisi marjinal dan rentan yang didapatkan menjadi lebih besar tertama secara seksual.

Produk Hukum yang Mengecilkan Suara dan Gerak Penyandang Disabilitas

Hasil pemeriksaan kondisi dari penyandang disabilitas seharusnya menjadi rujukan untuk hal yang harus diakomodir negara dalam memproses kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas. Alih-alih memberikan perlindungan hukum namun justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi atau korban penyandang disabilitas.

Produk hukum yang dinilai diskriminatif bagi penyandang disabilitas, misalnya pasal 178 KUHAP bahwa penyediaan penerjemah bagi penyandang disabilitas hanya diperuntukan dan terbatas bagi penyandang disabilitas bisu atau tuli. Pasal tersebut tidak mengakomodir banyaknya ragam disabilitas. Selain itu, dalam KUHAP penentu kedewasaan dihitung menggunakan usia kalender bukan berdasarkan usia psikologis sehingga usia mental penyandang disabilitas tidak diakui.

Pasal 1 angka (26) KUHAP dan juga Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pasal tentang saksi ini membatasi kemampuan penyandang disabilitas—utamanya penyandang disabilitas rungu dan netra—dalam kedudukannya sebagai saksi maupun saksi korban.

Selanjutnya, dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, pasal 1 angka (3) menjelaskan tentang perlunya pemeriksaan kesehatan jiwa terhadap seseorang yang diduga sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Ketentuan pasal ini seolah menempatkan keadaan penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang harus dicegah atau dikendalikan, bukan diposisikan sebagai kondisi yang harus diakomodir dan diberikan kebutuhan khusus sehingga tidak mengalami diskriminasi.

Beberapa pasal tersebut menunjukan gambaran bahwa inklusivitas hukum bagi penyandang disabilitas masih sulit dirasakan. Akibatnya banyak kasus kekerasan pada penyandang disabilitas yang sulit menemukan jalan keluar yang berpihak pada korban penyandang disabilitas. Keragaman pada penyandang disabilitas seharusnya menghasilkan ketentuan berbeda-beda dalam hal kecakapan hukum. Menyamakan ragam tersebut sebagai ketidakcakapan hukum adalah perilaku diskriminatif. Disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya menjadi angin segar bagi perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas.

Ruang Aman Harus Bisa Dirasakan Semua Orang

Hukum seharusnya mengakomodasi kebutuhan dan kondisi seluruh warga negaranya. Hukum juga menjadi sebuah harapan untuk mendapatkan perlindungan dan hak yang setara. Hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan perlindungan hukum yang berkeadilan diatur dalam Pasal 5 UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal ini menyebutkan, penyandang disabilitas memiliki hak keadilan dan perlindungan hukum serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan termasuk eksploitasi seksual. Hal ini dipertegas dalam UU Penyandang disabilitas Pasal 2 Huruf g bahwa pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan kesetaraan. Kesetaraan yang dimaksud adalah kondisi berbagai sistem di masyarakat dan lingkungan yang dapat mengakomodasi semua orang tanpa kecuali

Perubahan paradigma baru dalam memandang disabilitas juga diperlukan. Contohnya, disabilitas semula dipandang sebagai masalah individu menjadi dipandang sebagai masalah sosial. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan perubahan pada individu disabilitas menjadi perubahan pada perilaku masyarakat. Dalam menangani masalah disabilitas, semula terarah pada pemenuhan kebutuhan praktis saja menjadi pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis, solusi yang diberikan semula bersifat partial solution menjadi integrated solution, program yang dibuat untuk menangani permasalahan disabilitas semula berupa eksklusif menjadi inklusif. Dengan begini maka penciptaan sistem lingkungan yang inklusif dan ramah gender dapat dirasakan bersama termasuk untuk penyandang disabilitas.

Banyak kerugian yang didapatkan secara materiil maupun immateriil seperti rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau traumatik. Bagi saya, perjuangan keadilan untuk penyandang disabilitas adalah sebuah isu tentang kemanusiaan. Hal itu berarti seharusnya semua orang tergerak untuk memperjuangkan hal tersebut sebagai masalah bersama sebagai sesama manusia. Saya percaya dengan kutipan yang mengatakan bahwa perubahan adalah karya berjuta-juta massa, termasuk perubahan sebuah sistem hukum dan lingkungan yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//