• Kolom
  • SUARA SETARA: Wacana dan Klaim Kampus Ramah Lingkungan

SUARA SETARA: Wacana dan Klaim Kampus Ramah Lingkungan

Saat pandemi, kampus bisa menciptakan inovasi. Mereka mestinya bisa melakukan inovasi serupa untuk mewujudkan kampus ramah lingkungan.

Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi

Perempuan aktivis, berkegiatan di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di @elfaroger

Dispenser versi outdoor di kampus luar negeri, 2023. (Foto: Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi/Penulis)

21 Juni 2023


BandungBergerak.idHalo, aku Elfa seorang mahasiswi yang memiliki previlese untuk studi lanjutan di dua kampus baik di dalam maupun luar negeri dalam waktu yang bersamaan. Aku mengamati banyak hal, salah satunya perihal bagaimana wacana dan klaim kampus dalam isu lingkungan.

Sering terdengar bahwa setiap pidato para pimpinan kampus, bahwa kampus di kita memenangkan penghargaan kampus ramah lingkungan, kampus go green dan lain-lain. Sampai sejauh ini kampusku di Indonesia masih menggunakan kontrol manual belum menggunakan smart home, sehingga memasifkan ajakan untuk hemat listrik saja, itu pun ku rasa bukan karena sensitivitasnya terhadap isu lingkungan, namun masalah penghematan anggaran.

Lalu aku juga memastikan ke salah satu kawanku, bagaimana kondisi kampus perihal isu lingkungan, apakah sudah banyak kemajuan?

“Ga ada, bahkan banyak banget pohon yang ditebang, depan FPEB, depan LPPM, justru malah banyak pohon yang ditebang untuk kepentingan pembangunan,” kata kawanku.

Lagi-lagi atas nama pembangunan, namun mirisnya klaim kampus asri itu digunakan dalam beberapa kepentingan seperti akreditasi, dan klaim itu dirasa bukan karena majunya kampus perihal isu lingkungan, tapi karena diuntungkan dengan letak geografis kampus yang berada di dataran tinggi, jadi lebih adem.

Baca Juga: SUARA SETARA: Jadi Tuli di Indonesia itu Susah!
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Perempuan sebagai Pecinta Alam

Style Tumbler

Bagi aku yang suka minum air putih, kampanye membawa tumbler juga belum cukup efesien, karena tidak diimbangi dengan dispenser gratis dan aksesibel. Aku harus merogoh rupiah untuk beli air putih di kampus, dan lebih konyolnya lagi kampanye penggunaan tumbler ini tidak dipahami dengan esensi penggunaannya. Misalnya, banyak yang membawa tumbler dari rumah atau kosan dan mengisinya dengan air kemasan dari warung atau mini market di sekitar kampus. Tentu goals-nya untuk meminimalkan sampah jadi gagal total, karena hanya terjadi perubahan style bawa tumbler saja, namun esensinya belum tercapai.

Ini merupakan catatan penting dan fundamental terkait dispenser air, yang kalau ditarik lebih jauh akan berpengaruh pada kesehatan fisik maupun mental seseorang, bagaimana kampus juga harusnya bertanganggung jawab perihal kesehatan sivitasnya. Ibarat sekali mendayung dua pulau terlampau, menyediakan dispenser gratis di setiap lantai dan di mana pun yang mudah dijangkau.

Kampus tidak harus menggunakan metode yang beli galon sekali pakai seperti fasilitas yang ada di dalam ruangan dosen-dosen. Kampus harusnya mendesain dispenser dan mengelola airnya secara mandiri. Metode ini mungkin akan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit di awal, namun berbicara investasi seperti yang sering dilakukan kampusku, ini juga merupakan investasi penting kepada sumber daya manusia, lingkungan dan memiliki kontribusi pada kebaruan teknologi.

Aku rasa kampusku mampu mengingat saat kondisi krisis pandemi kemarin mereka membuat inovasi produk sanitasi bernama SP-WASH-O, wastafle portable, dan disinfectant gate, yang disebarkan bukan hanya di titik kampus namun di luar kampus juga. Artinya, kampus bisa melakukan itu kalau mau dan serius perihal masalah lingkungan. 

Menciptakan habit itu bisa dilakukan dengan perombakan sistematik yang dilakukan universitas, toh universitas bisa mengklaim kontribusinya terhadap krisis lingkungan hidup. Klaim kampus ramah lingkungan saja tak apa, asal kontribusinya nyata.  

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//