CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #36: Walking Tour Cicalengka, Menghadirkan Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Kegiatan Tjitjalengka Historical Trip menjadi upaya memberi edukasi kepada warga mengenai keberadaan tempat-tempat bersejarah di Cicalengka.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
3 Juli 2023
BandungBergerak.id – Sekitar tiga cangkir kopi memenuhi meja. Meja itu bagian dari salah satu ruangan di Fathul Khayr. Menemani sebuah kertas putih yang mulai dipenuhi oleh imaji-imaji coretan Kang Bob Ujo. Di depannya sudah ada Kang Dadan Muttaqien beserta rekan sambil mengobrol. Ia sedang merekonstruksi gereja St. Antonius. Gereja tersebut pernah berdiri di Cicalengka, namun kini sudah tidak ada jejaknya sama sekali.
Hal itu mengingatkan saya kepada mendiang Mama yang sering bercerita tentang daerah jalan gereja yang konon katanya pernah berdiri di Cicalengka. Begitupun dengan burung-burung gereja. Saya sering tak percaya karena memang tak pernah ada penampakan gereja yang sesungguhnya. Mungkin sekarang waktunya menjawab soalan gereja yang pernah ada dan lantas mengapa hilang?
Itulah salah satu tujuan diadakannya kegiatan Tjitjalengka Historical Trip, membuat sarana edukasi kepada warga Cicalengka yang bertanya-tanya mengenai keberadaan tempat-tempat bersejarah di Cicalengka. Acara ini dikemas dalam bentuk edukasi wisata berjalan kaki. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Lefebvre, intelektual Prancis, berjalan kaki merupakan upaya mendengarkan sebuah rumah, sebuah jalan, dan juga sebuah kota, ritme dan tempo. Pergerakan pejalan kaki memberikan ruangan dan gelombang tempat melalui gerak taktik dan kinestetik. Sehingga tubuh akan merekam apa yang ada di dalam tempat dan kota tersebut.
Walking tour yang diawali dari Bumi Kapungkur, tidak hanya sekedar berjalan saja. Di perhentian terakhir terdapat pemaparan, diskusi, dan pameran dokumen Cicalengka yang telah dikumpulkan oleh Kang Atep Kurnia. Dalam acara kali ini, saya berjaga di Al-Muhsinat Fathul Khayr. Satu tempat sebelum perhentian terakhir, yaitu di gedung Kecamatan Cicalengka.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #33: Mewacanakan Hari Jadi Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #34: Quo Vadis Kolecer dan Posisi Para Instansi Penyelenggaranya
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #35: Kolecer dan Kinerja Buruk Pemerintah dalam Menyokong Kerja Literasi
Belajar dari Perubahan
Lingkungan dan bangunan merupakan sebuah fondasi dari sebuah tempat. Bagaimana bentuknya, bagaimana ia terbentuk, bagaimana ia dibangun, dan suasananya akan kembali dirasakan bagi orang yang pernah menginjakkan kakinya. Menurut Prof. Dr. Dakir, pakar psikologi pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, suasana tanah kelahiran yang dijaga akan menambah efek penyembuhan bagi orang-orang yang pernah lahir dan tinggal di sana
Saya pernah membayangkan atau melihat pada gambar-gambar bangunan di Eropa yang sengaja dirawat. Beberapa memang merupakan arsitektur asli berabad-abad yang lalu. Jika kita berjalan dan membandingkannya, seolah tak ada yang berbeda dan menyimpan ingatan masa lalu bagi para pengunjungnya. Seharusnya, masing-masing daerah pun begitu. Ia pun perlu melestarikan satu suasana yang khas di daerahnya.
Berbeda lagi cerita dengan di daerah kami. Beberapa tempat bersejarah diganti dengan berbagai macam gaya baru yang dipandang lebih modern. Beberapa hilang. Salah satunya adalah Gereja St. Antonius yang sedang direkonstruksi melalui imajinasi oleh Kang Bob Ujo.
Menurut Mang Dadan Dania, bangunan gereja itu bukan menghilang atau dihilangkan. Tetapi memang secara alami roboh sebab minimnya perawatan. Bangunan gereja tersebut tidak dikosongkan secara penuh, tetapi pernah dialihfungsikan sebagai sekolah dasar. Seperti yang kita ketahui, penggunaannya sebagai sekolah dasar tidak memadai untuk merawat gedung yang terlampau cukup tua. Di sisi lain, jemaat gereja waktu itu sudah mulai berkurang.
Terbukti melalui pernyataan Azizi tahun 2016, bahwa dalam melakukan konservasi pemeliharaan gedung di antaranya adalah faktor manusia, teknis, lingkungan, finansial, dan organisasi. Perlu diakui, bahwa pekerjaan untuk melindungi cagar budaya merupakan pekerjaan yang kompleks. Sebelum kepada finansial, memang perlu ada organisasi dan teknis yang melindungi sebuah bangunan tersebut. Entah organisasi yang bersifat perorangan atau pemerintah yang memiliki kuasa atas wilayah tersebut.
Hal ini tidak berlaku untuk madrasah Fathul Khayr. Kepemilikan Fathul Khayr yang dikelola oleh orang Palembang menjadikannya ia masih terawat. Kang Dadan Muttaqien menceritakan bahwa meskipun bangunannya baru, namun strukturnya masih dipertahankan dengan struktur yang lama. Terlihat atap-atapnya yang dijaga masih tinggi. Sekitar tahun 2000an, bangunan ini ditambah lantai dua. Bukan hanya sekedar bangunan, madrasah Fathul Khayr kini sering menjadi pusat pendidikan masyarakat selain dipakai oleh menjadi sekolah taman kanak-kanak maupun TPA. Ia juga menjadi pusat pendidikan untuk warga Cicalengka dan sekitarnya.
Belajar dari Sejarah
Bagi Mang Dadan Dania acara walking tour ini merupakan salah satu kegiatan pembelajaran sejarah. Sejarah bukan hanya untuk dihafal, tetapi bagaimana merefleksikan masa lalu untuk menjawab tantangan-tantangan di masa depan.
Aktivis Senior Pelajar Islam Indonesia itu, menceritakan bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga melalui lingkungan. Bukan hanya guru yang berceramah di kelas, tetapi juga murid aktif dalam belajar. Setidaknya itulah yang dinamakan sebuah proses pembelajaran aktif. Ia pun memaparkan bagaimana revolusi definisi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengacu kepada referensi pendidikan yang cukup modern, sumber pembelajaran bukan hanya satu dari guru tetapi juga hal hal yang lain yaitu pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Dengan tersedianya sumber belajar di masyarakat, hal itu akan memantik rasa penasaran kepada orang-orang yang melihatnya. Tak hanya itu, akan adanya sense of place yang akan didapatkan dengan dipeliharanya bangunan-bangunan itu.
Alvin Toffler menuliskan bahwa hubungan manusia modern dengan benda maupun tempat sekarang sudah memiliki nilai kesetiaan yang semakin menipis. Semakin lama, manusia berhubungan dengan kesementaraan, membentuk sebuah masyarakat nomad yang baru. Semakin ke sini, manusia akan sulit mengekalkan keabadian dan pelan-pelan akan menghilangkan identitas aslinya karena akar di mana ia pernah tinggal tak pernah ia akan temui kembali dalam rasa yang sama..
Rombongan terakhir sudah selesai mengunjungi madrasah Fathul Khayr. Kami pun bergegas mengikuti rombongan ke perhentian terakhir yang bangunannya sambil membawa kopi dan camilan-camilan yang kami gelar di meja.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka