• Opini
  • Saatnya Kota Melihat Desa dengan “Utuh” Lewat Jurnalisme Warga

Saatnya Kota Melihat Desa dengan “Utuh” Lewat Jurnalisme Warga

Jurnalisme warga dapat menjadi kanal bagi warga desa menginformasikan sekitarnya. Membuka peluang pada literasi, promosi, dan mengkritisi yang terjadi di sekitarnya.

Ratu Arti Wulan Sari

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung

Sesi diskusi dalam Citizen Journalism Camp bersama para pemuda warga Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. (Foto: Asep Mas’ud)

4 Juli 2023


BandungBergerak.id – Riuhnya informasi yang kita terima berseliweran di berbagai platform, mulai dari isu yang bikin mikir sampai yang menggelitik, namun kebanyakan memiliki sudut pandang yang sama. Sudut pandang orang kota.

Kita terbiasa menonton, membaca dan mendengar informasi mereka yang ada di kota, cara hidup mereka, cara pandang mereka hingga masalah-masalah mereka. Pernah sesekali media menceritakan desa, namun tentu dengan meminjam mata orang kota.

Cara media mengabarkan desa seperti orang kota melihat desa, pernah ditulis Triyo Handoko dalam (Remotivi, 2021). Bagaimana media hanya peduli terhadap asri, sejuk dan uniknya desa tanpa peduli dengan krisis yang dialami desa.

“Stereotip desa di media nampak dari penggunaan standar kota untuk desa, padahal tak semua standar kota sesuai dengan desa,” tulis Triyo.

Ia bahkan mencontohkan bagaimana media hanya peduli pada pertumbuhan pariwisata desa dengan kalkulasi ekonomi tanpa pertimbangan ekologi. Padahal kondisi desa  mengkhawatirkan; bencana ekologi, krisis air, hingga ketimpangan agraria.

Baca Juga: Jurnalisme Warga sebagai Media Advokasi Daerah Pelosok
Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma
Warga Berharap Stasiun Cicalengka tidak Digusur

Jurnalisme Warga Konsep Lama Namun Perlu

Jurnalisme warga bukan hal spektakuler lagi, konsep ini telah lama ada menurut Shayne Bowman & Chris Willis, sebagai cara warga untuk berperan aktif mengumpulkan, meliput, menganalisis dan menyebarkan informasi.

Pada praktiknya, cara jurnalisme warga bekerja ini bermacam-macam, mulai dari mengirim tulisan, foto dan video pada kanal-kanal media arus utama yang memiliki kanal khusus liputan warga seperti Yoursay.id milik Suara.com.

Adapula konten “tak sengaja” yang terekam lewat telepon pintar warga yang menginformasikan keadaan sekitar, kecelakaan lalu lintas, banjir, aksi kejahatan, hingga kejadian mengundang simpati. Semua itu warga kirimkan pada akun media sosial berbasis Twitter dan Instagram, kebanyakan dari mereka berawalan @Info (nama daerahnya).

Jurnalisme warga seperti ini, banyak kita temui di media sosial. Berisi bukan hanya konten “tak sengaja” yang dibuat warga tetapi juga informasi lainnya. Namun jika kita melihatnya lebih seksama kanal ini seperti “papan informasi mainstream” banyak informasi yang sama, yang bisa kita baca melalui media daerah. Juga tak luput dipenuhi oleh berbagai iklan.

Padahal Nadine Jurrat dalam Citizen Journalism and The Internet, mengatakan bahwa kegiatan Jurnalisme Warga harusnya dapat mengisi berbagai informasi yang tak tersentuh oleh media dan bahkan oleh media daerah itu sendiri. 

Kelemahan yang sering kali kita temui, ketika informasi dari warga ini dikumpulkan, diliput dan disebar tanpa mengindahkan etik standar yang digunakan. Etik standar ini tentu mengacu pada Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

Dewan Pers pernah menyebut setidaknya untuk Jurnalisme Warga penuhi empat etik ini yaitu, jujur, adil, hanya menampilkan kepentingan publik dan bertanggung jawab atas informasi yang diberitakan (Dewan Pers, 2009).

Sebagai konsep lama namun perlu, Jurnalisme Warga seharusnya menjadi salah satu aktivitas yang dapat membuat warga aktif menginformasikan sekitarnya dengan tetap berpedoman pada etika yang berlaku.

Media Warga yang Kita Butuhkan

“Karena tiada kabar, tanpa warga” salah satu tagline yang digaungkan Bale Bengong, sebuah media warga berbagi cerita di Bali yang sudah ada sejak 2006 lalu. Tak berlebihan jika Bale Bengong kita jadikan contoh Jurnalisme Warga yang perlu digugu dan ditiru berkat konsistensinya.

Berselancarlah di media Instagramnya dengan nama akun yang sama @balengong, kita akan menemukan berbagai tulisan, foto dan video dengan konteks yang otentik khas warga Bali. Bahkan mereka dapat melakukan Rapat Redaksi bersama publik di area persawahan.

Media warga Bale Bengong, bukan hanya menampilkan budaya, keunikan dan keindahan Pulau Dewata namun juga peduli terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, sampah tak terpilah, buruh migran di Bali hingga kemungkinan pariwisata toksik.

Bale Bengong menjadi contoh ideal bagaimana informasi warga bisa menjadi media alternatif, penting, dan dibutuhkan oleh warga. Agenda media yang mereka buat, mengisi kealpaan media arus utama saat meliput tentang Bali.

Media warga ini juga rutin mengadakan Anugrah Jurnalisme Warga (AJW) sebagai apresiasi penuh pada gerakan warga yang juga turut serta membangun medianya sendiri. Serta program lainnya seperti workshop jurnalisme warga dan beasiswa liputan untuk mengajak publik turut serta.

Melihat Bale Bengong yang menggunakan Jurnalisme Warga untuk membangun desa, membuat kami tim Dosen dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Nusantara (UNINUS) berkendara sejauh 46 KM ke arah selatan Bandung, pada Sabtu (17/6/2023) lalu. 

Kami berdiskusi dengan para pemuda potensial warga Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang antusias menyambut kami di sebuah tempat bertajuk Citizen Journalism Camp. Diskusi yang kami lakukan seputar pembuatan konten tulisan, video, foto juga tak lupa kode etik yang bisa mereka lakukan selama melakukan aktivitas jurnalisme.

Aktifnya jurnalisme warga membuka peluang akan literasi, promosi, serta tak lupa bisa mengkritisi apa yang terjadi di sekitar mereka. Jurnalisme warga membuat desa menjadi lebih peduli dan menghargai potensi wilayah, melihat dengan jelas sumber masalah, juga memahami sumber daya manusia yang tak melulu dimiliki orang kota.

Serta mereka memiliki kanal, untuk menuliskan, memotret dan merekam apa yang sebenarnya terjadi di desa. Sudah saatnya orang di seluruh penjuru dunia melihat desa dengan kacamata desa tak perlu meminjam kacamata orang lain, apalagi kacamata orang kota.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//