• Kolom
  • MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #5: Wage Rudolf Supratman, Komponis dan Jurnalis Pergerakan

MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #5: Wage Rudolf Supratman, Komponis dan Jurnalis Pergerakan

Wage Rudolf Supratman (1903-1938) komponis pencipta lagu Indonesia Raya. Berkecimpung dalam dunia pergerakan setelah terjun menjadi jurnalis di Bandung.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

W. R. Supratman 1924 (Sumber: Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, 1972)

5 Juli 2023


BandungBergerak.id – Pada pertengahan tahun 1926, Wage Rudolf Supratman membaca artikel majalah Timboel, yang menyeru komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan yang dapat menggugah semangat rakyatnya. Berbekal kepiawaiannya dalam memainkan biola, ia mulai menggarap pembuatan lagu "Indonesia Raya".

Lagu tersebut, dimainkan untuk pertama kalinya pada 28 Oktober 1928, sebagai penutup Kongres Pemuda II di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat, Batavia. Setelah itu, lagu “Indonesia Raya” dikenal luas, terutama di kalangan kaum pergerakan. Karena dianggap mengganggu ketertiban dan kestabilan, maka pada tahun 1930, pemerintah kolonial melarang lagu tersebut dinyanyikan dan diperdengarkan di hadapan umum.

Sepanjang hidupnya sebagai komponis pergerakan, ia menciptakan lagu-lagu yang dipersembahkan untuk menggugah pergerakan bangsanya, seperti: "Dari Barat Hingga ke Timur", “Bendera Kita Merah Putih”, “Bangunlah Hai Kawan, "Ibu Kita Kartini", "Mars KBI", "Mars Parindra", "Mars Surya Wirawan", hingga "Indonesia Muda".

Apa yang telah dikerjakannya, tentunya bukan tanpa risiko. Suatu kali pada tahun 1938, ia pernah ditahan oleh aparat kolonial, setelah lagunya yang berjudul "Matahari Terbit" dinyanyikan oleh KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di studio Radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep), Surabaya.

Dalam kacamata sempit kolonial, lagu tersebut dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap kebangkitan Jepang, yang saat itu merupakan ancaman bagi eksistensi Belanda di tanah jajahannya. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, tidak ada bukti akurat yang menunjukkan dugaan tersebut, dan Supratman akhirnya dibebaskan.

Ajal menjemputnya lebih cepat, mengalahkan kedatangan waktu kemerdekaan bangsanya yang turut ia perjuangkan. Sang komponis menutup mata untuk selama-lamanya di Surabaya pada malam hari tanggal 17 Agustus 1938 (meski sebagian meyakini tanggal 18 Agustus karena lewat pukul 24.00), setelah sebelumnya menderita gangguan jantung. Sebagai penghormatan, Supratman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1971.

Ia adalah komponis agung yang dimiliki Indonesia. Namun dalam perkara cinta, ia gagal. Sebagaimana pengakuannya kepada Imam Soepardi (Pemred Penyebar Semangat), ia berujar "Mas, saya ini manusia yang bernasib malang. Saya tidak merasa bahagia dalam percintaan." Sepanjang hidupnya, Supratman telah dua kali ditinggalkan wanita, termasuk oleh istrinya, Salamah. Tulis Soebagijo I. N. dalam Tragedi Kehidupan Seorang Komponis (Riwayat Hidup Wage Rudolf Supratman) (1985).

Baca Juga: MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #2: Abdoel Moeis, Jurnalis yang Antikomunis
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #3: Secuplik Kisah Perjalanan Politik dan Jurnalistik S. K. Trimurti
MEREKA YANG PERNAH BERGERAK DI BANDUNG #4: Maskoen Soemadiredja dalam Gemuruh Zaman Bergerak

Belajar Biola dan Mengenal Pergerakan

Wage Supratman lahir di Somongari, Purworejo, pada tanggal 9 Maret 1903 (versi lain mencatat tanggal 19 Maret 1903). Ia merupakan anak ketujuh dari pasangan Jumeno Senen Kartodihardjo dan Siti Senen. Tidak lama kemudian, ayahnya yang berpangkat sersan dua KNIL, membawa keluarganya pindah ke tangsi militer di Meester Cornelis (Jatinegara).

Karena itu, tidak mengherankan jika dalam akta kelahirannya, Supratman lahir di Meester Cornelis (Jatinegara). Hal ini tentu berhubungan dengan kewajiban ayahnya dalam memenuhi kewajiban administrasi ketentaraan.

Saat menginjak usia empat tahun, Supratman mengikuti pendidikan pra-sekolah di Frobel School. Dua tahun kemudian, ia didaftarkan ayahnya untuk mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Budi Utomo pada tahun 1909. Satu tahun berselang, ayahnya pensiun, dan keluarganya kemudian tinggal di Warung Contong, Cimahi.

Menurut Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman (1985), Setibanya di Cimahi, ia kembali didaftarkan ke sekolah Budi Utomo. Namun, pada tahun 1914, dua tahun setelah kematian ibunya, ia bertolak menuju Makassar untuk tinggal bersama kakak sulungnya Rukiyem dan suaminya W. M. Van Eldick di Kees (tangsi Bintara golongan Indo di KNIL).

Kakak iparnya tersebut adalah orang yang menyematkan nama “Rudolf” untuk Supratman. Hal tersebut, dilakukannya sebagai siasat untuk memasukan adik iparnya ke sekolah orang Belanda, ELS (Europeesche Lagere School). Namun, siasat tersebut akhirnya terbongkar dan Supratman dikeluarkan oleh pihak sekolah.

W. M. Van Eldik sebenarnya telah melakukan berbagai upaya, agar adik iparnya dapat bertahan di sekolah tersebut. Namun, karena kerap mendapat perlakuan diskriminatif, Supratman lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke sekolah Melayu.

Rentang tahun 1917-1919, di samping belajar di sekolah Melayu, Supratman mulai mendalami bahasa Belanda dan berhasil mengantongi ijazah KAE (Klein Ambtenaar Examen). Sebenarnya dengan ijazah tersebut, ia memiliki peluang untuk dapat bekerja di pemerintahan kolonial. Namun, ia memilih untuk melanjutkan pendidikan di Normaal School (sekolah guru), hingga diangkat menjadi guru bantu di salah satu sekolah pribumi di Makassar.

Sementara itu, di bawah bimbingan W. M. Van Eldik, ia belajar memahami not balok dan teknik memainkan biola. Dengan penuh kesungguhan, bakatnya semakin berkembang. Maka, sebagai bentuk apresiasi, pada tahun 1920, kakak iparnya tersebut menghadiahinya sebuah biola dan menjadikannya sebagai violinis untuk band yang didirikannya, Black and White Jazz.

Warsa 1923, Supratman keluar dari pekerjaannya sebagai guru. Hal ini terjadi, tidak lama setelah ia menolak kenaikan pangkat sebagai guru tetap dengan syarat bersedia dipindahkan ke daerah Singkang. Selanjutnya, ia memutuskan untuk bekerja di Firma Nadem. Namun, dengan alasan tidak betah, ia memutuskan untuk keluar dan melanjutkan karir sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Melayu di kantor advokat milik Mr. Sculten.

Sejak saat itu, ia rutin membaca berita-berita seputar pergerakan bangsa yang sedang terjadi dari surat kabar Sin Po, De Indier, hingga Het Indische Volk. Meski belum mendorong dirinya untuk turun langsung dalam gelanggang pergerakan, namun, setidaknya bacaan-bacaan tersebut berdampak pada kesadaran politik dalam dirinya, terlebih Mr. Sculten merupakan simpatisan NIP (Nationaal Indische Partij).

Barulah pada tahun 1924, seiring dengan berdirinya kantor-kantor organisasi politik di Makassar, ia mulai bergaul dengan aktivis dan jurnalis pergerakan. Ia kerap menghadiri diskusi dan ceramah politik yang diselenggarakan organisasi-organisasi pergerakan yang ada di Makassar. Maka, tidak mengherankan, jika di kemudian hari, ia masuk dalam radar pengawasan PID (polisi rahasia Belanda) dan MID (dinas intelijen tentara Belanda).

Akibatnya, Rukiyem dan W. M. Van Eldik menjadi khawatir, setelah mengetahui adiknya masuk dalam radar pengawasan tersebut. Terlebih hal tersebut, akan berdampak pada karier ketentaraan W. M. Van Eldik. Tidak ingin menjadi beban bagi kedua kakaknya, segera ia berhenti mengikuti kegiatan politik. Meski begitu, melalui surat kabar dan majalah, ia tetap mengikuti perkembangan politik dan pergerakan yang terjadi di Pulau Jawa.

Sejak saat itu, ia mulai memikirkan untuk kembali ke Pulau Jawa. Selain didorong kesadaran politik, ingatan akan silsilah keluarganya yang berasal dari salah satu prajurit Pangeran Diponegoro, menjadi dorongan besar baginya untuk turun langsung ke gelanggang pergerakan yang sedang terjadi saat itu, sebagai bentuk nyata melanjutkan perjuangan leluhurnya. Maka dengan tekad yang sudah bulat, ia dengan berat hati pamit kepada Rukiyem dan W. M. Van Eldik untuk pergi menuju Pulau Jawa.

Surat kabar Kaoem Moeda, corong Sarekat Islam cabang Bandung. (Sumber: Dokumentasi Perpustakaan Nasional)
Surat kabar Kaoem Moeda, corong Sarekat Islam cabang Bandung. (Sumber: Dokumentasi Perpustakaan Nasional)

Bekerja Sebagai Jurnalis Pergerakan

Kapal yang membawa Supratman tiba di Surabaya pada Juli 1924. Tinggal sementara bersama keluarga Kusnandar Kartodiredjo, suami dari Rukinah (kakak keduanya). Tidak lama kemudian, ia kembali ke Warung Contong, Cimahi dan untuk sementara waktu ia kembali tinggal bersama ayahnya.

Sebelum mendapatkan pekerjaan, hari-harinya dihabiskan untuk memamah berita-berita seputar pergerakan yang diwartakan surat kabar Kaoem Moeda. Terpikat dengan surat kabar tersebut, ia segera hijrah ke Bandung untuk melamar pekerjaan pada surat kabar milik Sarekat Islam cabang Bandung tersebut.

Setelah diterima sebagai jurnalis Kaoem Moeda, ia kerap bergaul dengan tokoh dan kelompok pergerakan di Bandung, salah satunya ASC (Algemene Studie Club) Bandung. Meski tidak terdaftar resmi sebagai kader, ia rutin mengikuti ceramah dan dialog politik yang diadakan kelompok studi yang dipimpin Sukarno tersebut. Selain itu, untuk menambah penghasilannya, ia bergabung dengan salah satu band jazz yang ada di Bandung. Tentu, Supratman bertindak sebagai penggesek biola di band tersebut.

Seturut Indra Prayana dalam Jejak Pers di Bandung (2021), di penghujung tahun 1924, setelah mengundurkan diri dari Kaoem Moeda, ia kemudian bekerja di surat kabar Kaoem Kita. Surat kabar ini tidak berusia lama, sebelum berhenti penerbitannya, Supratman tercatat pernah menjabat sebagai wapemred mendampingi E. Kartawidjaja.

Memasuki tahun 1925, ia hijrah ke Batavia dan bekerja bersama Parada Harahap di Kantor Berita Alpena (Algemeene Pers en Nieuws Agentschap). Lagi-lagi, merasa honorium yang diterimanya kecil, ia kemudian bekerja sebagai wartawan surat kabar Sin Po. Mulai sejak itu, ia bergaul dengan tokoh pemuda pergerakan di Batavia, seperti. M. Tabrani, Sugondo Djojopuspito, hingga kelompok PPPI (Perhimpunan-Perhimpunan Pelajar Indonesia).

Mengutip kembali Soebagijo I. N. (1985), sebagai jurnalis pergerakan, ia turut meliput dan mewartakan Kongres Pemuda I dan II di surat kabar Sin Po. Selain itu, di tengah kesibukannya sebagai wartawan, atas saran kawannya, Saeroen (wartawan Sin Po), ia menciptakan karya roman yang berjudul "Perawan Desa". Namun, roman yang berisi kritik sosial tersebut pada akhirnya disita pemerintah kolonial Belanda.

Hidup dalam Pelarian

Pada tahun 1934, kesehatannya memburuk. Ia berhenti dari pekerjaannya sebagai wartawan Sin Po dan memutuskan untuk kembali ke Warung Contong, Cimahi, guna menghindari pengawasan PID (polisi rahasia Belanda), yang kerap membuntutinya sejak ia mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”.

Sebelum tiba di Cimahi, atas saran istrinya, Salamah, ia berkunjung ke tempat praktek pengobatan Drs. Sosrokartono (kakak kandung Kartini) di Bandung, yang saat itu kesohor sebagai guru kebatinan. Setibanya di tempat praktek, Supratman kemudian diberi nasihat dan sebotol air sebagai obatnya. 

Setelah selesai, ia bersama istrinya menuju Cimahi. Keluarganya yang sudah menunggu dikejutkan dengan kondisi fisik Supratman yang memprihatinkan. Terjadi percekcokan antara Salamah dengan Rukiyem. Akibatnya, beberapa hari kemudian Salamah pergi meninggalkan suaminya. Kepergiannya tentu bukan atas keinginan sendiri, melainkan atas perintah Rukiyem dan saudara-saudaranya yang sejak awal tidak mengakuinya sebagai istri dari Supratman.

Memasuki tahun 1935, kesehatannya semakin membaik, ia kemudian memutuskan untuk mengunjungi Salamah di Batavia. Namun, yang dicarinya tidak ada, bahkan ia dikejutkan setelah mengetahui rumahnya di Kampung Sawah dijual beserta isinya oleh Salamah. Ia kemudian menemui rekan-rekannya di Batavia untuk mencari keberadaan istrinya.

Setelah tidak ada kejelasan tentang keberadaan istrinya, ia memutuskan untuk kembali ke Warung Contong, Cimahi. Ia sangat terpukul dengan keadaan tersebut. Waktu terus berlalu, memasuki tahun 1936, kesehatannya semakin membaik. Namun, kehadirannya di Cimahi terendus PID (polisi rahasia Belanda) setempat. Merasa terancam, ia segera meninggalkan Cimahi menuju Randudongkal, Pemalang.

Pada tahun 1937, ia memutuskan untuk menetap di Surabaya. Kali ini kehadirannya mengundang perhatian kaum pergerakan, salah satunya Oerip Kasansengari yang merupakan tokoh Surya Wirawan (kelompok pemuda Parindra). Darinya, Supratman kemudian diperkenalkan kepada sosok yang dihormatinya, dr. Sutomo, yang saat itu memimpin Parindra (Partai Indonesia Raya). Pungkas Bambang Sularto (1985).

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//