• Budaya
  • Kisah Rahwana dan Parikesit Dibandingkan dengan Raja-raja Masa Kini

Kisah Rahwana dan Parikesit Dibandingkan dengan Raja-raja Masa Kini

Kisah dalam lakon wayang banyak menginspirasi sastrawan untuk mengkritik suatu rezim yang serakah dan korup.

Pementasan wayang golek Rahwana Gugur oleh unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas di Plaza Kampus II, Tamansari, Bandung, Sabtu (24/6/2023). (Sumber: Unpas)*

Penulis Iman Herdiana7 Juli 2023


BandungBergerak.id - Rahwana Gugur menggambarkan kisah tragis Rahwana, raja yang dikenal bengis dan serakah dalam cerita Ramayana. Dikisahkan bahwa Rahwana yang tergila-gila pada Dewi Sinta, istri Ramayana. Haus akan kecantikan istri orang, Rahwana rela mengorbankan anak dan saudaranya sendiri di medan perang.
 
Pementasan wayang golek lakon Rahwana Gugur disajikan unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas di Plaza Kampus II, Tamansari, Bandung, Sabtu (24/6/2023). Ada pesan moral di balik Rahwana Gugur, bahwa kerakusan pada akhirnya kalah. 

“Melalui pementasan ini, unit Kesenian Daerah Sunda (KDS) Lisma Unpas ingin menyampaikan pesan moral kepada penonton, bahwa kekayaan materi adalah nikmat sesaat. Kalau kita mengikuti hawa nafsu, yang akan didapat hanya penyesalan,” jelas Koordinator KDS Isna Septiani, dikutip dari laman Unpas, Kamis (6/7/2023).

Kisah Rahwana ini dimainkan oleh dalang Rival Awalludin juga anggota KDS Lisma Unpas, diiringi 10 nayaga dan lima penari. 

Baca Juga: Merenungkan Pancasila dalam Sebuah Teater Musikal
Alumni GSSTF Unpad Luncurkan Platform Budaya Menuai.id
Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras

Raja-raja Masa Kini

Lakon wayang banyak menginspirasi pengarang atau sastrawan. Kusmarwanti dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta dalam tulisan ilmiah berjudul “Etika Politik dan Wayang dalam Sastra Indonesia”  menarik relevansi kisah wayang dengan situasi politik di Indonesia. Kusmarwanti menelaah lakon wayang  “Perjamuan Ular” tentang Parikesit. 

Lakon “Perjamuan Ular”, menurut Kusmarwanti, mengangkat cerita kematian Parikesit yang dibunuh oleh Naga Taksaka sebagaimana tampak pada kutipan berikut:

“Prabu Parikesit diramal seorang pendeta bahwa ia akan mati karena gigitan ular. Karena ular itu pasti tempatnya di bawah, dekat tanah, maka dia membangun menara yang tinggi sekali. Seekor naga, Naga Taksaka, berusaha merenggut jiwanya. Tapi apa akal, Prabu Parikesit tinggal di menara dijaga prajurit. Suatu kali dia melihat kesempatan. Seorang pendeta menghaturkan jambu air pada raja, ia menjelma jadi ulat dalam buah jambu. Tanpa curiga jambu pun sampai di meja raja. Maka Naga Taksaka keluar dan jadi naga yang sesungguhnya. Menggigit Raja Parikesit sampai meninggal … (Kuntowijoyo, 2000:59).

Kematian Parikesit bermula dari kutukan Srenggi, anak seorang pertapa yang pernah diganggu oleh Parikesit. Saat itu Parikesit sedang berburu dan kehilangan sasaran buruannya seekor rusa. Parikesit bertanya kepada ayah Srenggi yang baru bertapa dan tidak dijawab. Parikesit marah dan mengalungkan bangkai ular ke leher ayah Srenggi.

Srenggi pun marah dan menjatuhkan kutukan bahwa dalam waktu tujuh hari Parikesit akan digigit ular. Ayah Srenggi pun membatalkan tapanya dan menyarankan agar Parikesit meminta maaf pada Srenggi agar kutukan itu dicabut tetapi Parikesit tidak bersedia. Sebagai raja ia malu meminta maaf kepada rakyat biasa seperti Srenggi.

Parikesit mewakili penguasa yang sewenang-wenang pada rakyatnya. Ia seharusnya paham bahwa orang bertapa harus diam dan tidak boleh bicara. Nafsu menangkap hewan buruan yang tidak bisa terkendalikan pun mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji, yaitu mengalungkan bangkai ular ke leher sang pertapa.

Nafsu menangkap hewan buruan bagi Parikesit seperti nafsu memperoleh harta dunia. Karena kepentingan harta ini, banyak penguasa melakukan segala cara untuk mendapatkannya, di antaranya adalah korupsi yang merugikan negara dan rakyat.

Menurut Kusmarwanti, Parikesit mewakili penguasa otoriter. Segala keinginan penguasa harus terpenuhi. Orang-orang yang ada di bawahnya harus tunduk pada penguasa, termasuk rakyat seperti Srenggi.

“Ia mengambil jarak dengan rakyatnya sehingga untuk meminta maaf pun ia enggan. Ia tidak mau ditentang dan selalu merasa benar,” tulis Kusmarwanti.

Baik Rahwana maupun Parikesit kerap dianalogikan sebagai penguasa yang serakah. Pada masa Orde Baru, Sastrawan memakai analogi wayang untuk mengkritik Suharto.

Kusmarwanti memaparkan, menurut laporan Bank Dunia tahun 1997, diperkirakan 20-30 persen dana pembangunan diselewengkan selama Orde Baru. Sementara itu, tahun 2004 Tranparency International mengumumkan 10 pemimpin paling korup di dunia. Dari 10 pemimpin itu, 3 di antaranya adalah pemimpin Asia Tenggara yang selalu menggembar-gemborkan pembangunan, yaitu Soeharto presiden Indonesia dengan nilai korupsi 15–35 miliar dolar, Ferdinand Marcos presiden Filipina dengan nilai korupsi 5-10 miliar dolar, dan Joseph Estrada presiden Filipina juga dengan nilai korupsi 78-80 juta dolar (Collins, 2008:257).

Namun paparan dari Kusmarwanti tersebut kasus lama yang terjadi di masa Orde Baru. Di masa kini di mana banyak raja-raja di pusat maupun daerah, korupsi tetap ada.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//