SAWALA DARI CIBIRU #31: Jam dan Penundukan atas Manusia
George Woodcok memandang jam telah berubah menjadi tirani, membuat kita terasing, tidak merdeka, membuat manusia tunduk pada benda yang ia ciptakan sendiri.
Raja Cahaya Islam
Pegiat Kelas Isolasi
8 Juli 2023
BandungBergerak.id – Sebagai manusia modern, kita hidup dalam arus waktu mekanis. Waktu mekanis yang dimaksud adalah jam. Jam sendiri berfungi sebagai alat bantu untuk mengatur kehidupan kita. Keberadaan jam, membuat kita menjadi tahu, kapan kita harus bangun tidur, kapan kita harus makan, kapan kita harus beristirahat, dan tentu saja yang paling penting adalah agar kita tahu kapan kita harus bekerja.
Rasa-rasanya sebagai orang yang hidup di perkotaan, kita akan merasa kesulitan untuk hidup jika tidak diatur oleh jam. Kita bisa bayangkan betapa dunia akan menjadi kacau, tidak teratur atau tidak terorganisir. Tidak ada lagi jadwal yang pasti, tak ada perhitungan presisi tentang berapa lama durasi yang harus kita habiskan saat kita melakukan aktivitas tertentu. Bahkan dalam kasus yang paling sederhana, kita akan kesulitan untuk membayangkan bagaimana kita membuat janji dengan orang lain, menonton konser, nongkrong dengan teman, dan berbagai aktivitas lainnya; karena kita tidak mempunyai acuan waktu yang pasti.
Namun, pernahkah kita bertanya: mengapa kita berpikir bahwa hidup yang tidak diatur oleh jam akan membuat kehidupan kita menjadi kacau? Apakah kita mungkin hidup tanpa bantuan jam? Atau apakah kita salah dalam memaknai fungsi dari sebuah jam selama ini? Bukankah sebelum jam ditemukan, orang jaman dahulu masih tetap bisa tetap beraktivitas? Pertanyaan ini mestinya membuat kita berpikir ulang, tentang asal muasal konsep kita tentang jam, atau lebih spesifik tentang bagaimana kita memaknai jam atau waktu itu sendiri.
George Woodcok pernah menulis tulisan dengan judul The Tyranny of the Clock (tulisan tersebut penulis temukan dalam kumpulan tulisan dalam buku Why Work? Argument For the Leisure Society (2019). Tulisan tersebut konon pertama kali terbit pada tahun 1944. Tulisan ini menarik, sedari judulnya saja kita bisa menerka bahwa sang penulis mencoba menjelaskan bagaimana jam dapat menjadi sebuah tirani bagi kita semua. Sebagai sebuah tirani, jam telah membuat kita terasing, membuat kita tunduk alias tidak merdeka. Jam dalam penjelasan Woodcok membuat kita tunduk pada benda yang kita ciptakan sendiri.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #28: Apakah Orientasi Seksual Itu Kodrati?
SAWALA DARI CIBIRU #29: Melampaui Monopoli Elite, Sains Berasal dari Tangan Rakyat
SAWALA DARI CIBIRU #30: Jalan Menuju Rasionalisasi Agama
Jam Sebagai Pengontrol
Woodcok menjelaskan bahwa di peradaban Cina atau Yunani waktu direpresentasikan sebagai proses siklus dari alam, yang tampak pada perubahan siang ke malam dan dari musim ke musim. Para petani menentukan waktu dari pergantian matahari terbit dan terbenam, dari gugurnya dedaunan, dan dari mencairnya es di danau, juga di sungai.
Orang-orang di peradaban lampau itu kemudian mengembangkan sebuah alat untuk mengukur waktu, mereka menggunakan jam pasir, tetesan air di dalam gelas kaca, dan dari lilin. Alat tersebut memang dimaksudkan untuk mengukur waktu secara presisi, tapi tetap saja, perhitungan jam sederhana itu belum terlalu presisi, sehingga tidak bisa terlalu diandalkan sebagai pengatur.
Kemudian di abad ke 11, jam mulai digunakan sebagai alat untuk membunyikan lonceng yang diperuntukkan untuk kegiatan kebiaraan. Lalu jam semakin berkembang hingga abad ke 13, dan baru pada abad ke 14, jam sudah menjadi sebuah ornamen di bangunan-bangunan publik di kota-kota Jerman. Namun, lanjut Woodcok, tetap saja jam-jam tersebut belum begitu presisi perhitungannya, barulah pada 1657 saat pendulum ditemukan, perhitungan atas waktu mulai menjadi presisi. Kepresisian itu tentu ditopang berkat penerapan pembagian waktu menjadi menit dan detik, dan barulah pada abad ke 18 jam menjadi sangat presisi.
Woodcok menganalisis bahwa kepresisian jam tersebut beriringan dengan perkembangan kapitalisme, di mana kepresisian jam tersebut digunakan demi kepentingan produksi di industri. Tepat pada perkembangan industri inilah jam memiliki dimensi sosialnya. Waktu kini menjadi amat begitu “berharga” untuk mengatur kapan kita harus bekerja di industri. Namun tak hanya pada ranah industri, efek atau pengaruh jam menjadi semakin luas. Jam sendiri mulai memengaruhi kehidupan sosial.
Setiap orang mulai mematok segalanya berdasarkan durasi dari jam. Jadi tidak hanya pada ranah kerja, jam juga difungsikan untuk mengatur berbagai aktivitas lainnya. Jam mulai mendikte seluruh kehidupan kita. Jam, sebagaimana yang sudah disebutkan di awal tulisan ini, telah mulai menentukan kapan kita harus berinteraksi dengan orang lain, kapan kita harus tidur, kapan kita harus istirahat.
Woodcok kemudian menjelaskan, bahwa di abad 19, jam telah menjadi sebuah tirani. Jam kini menjadi penentu segala hal, sehingga apa pun yang tidak dipatok dan dijangkarkan pada jam akan dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Jam kini telah menjadi waktu itu sendiri. Tidak ada lagi waktu alamiah yang bersifat relatif dan tak tentu.
Siapa pun yang tidak tunduk pada jam akan dianggap sebagai pendosa. Hal ini menurut Woodcok terepresentasi dari perkataan: “jangan membuang-buang waktu”. Mengapa perkataan itu muncul? Karena waktu telah menjadi objektif dan pasti, kita bisa membagi-bagi waktu dalam perhitungan yang presisi. Sehingga ketika kita tidak tunduk pada kepresisian tersebut, artinya kita telah menyia-nyiakan waktu. Sedangkan waktu yang presisi atau jam, adalah representasi dari produktivitas (karena dalam kemunculannya, jam berhubungan erat dengan perkembangan industri kapitalisme).
Woodcok sendiri sangat menyayangkan kondisi tersebut, karena jam telah membuat manusia tunduk pada benda yang ia ciptakan sendiri. Manusia telah menjadi budak dari mesin. Jam telah menentukan tempo kehidupan manusia. Kita tidak lagi bisa mengontrol jam, hal ini terbukti dari bagaimana kita sulit untuk membebaskan imajinasi kita tanpa patokan kepada jam, membuat kita susah beraktivitas tanpa patokan dari jam.
Ketika Woodcok menyayangkan kondisi yang kita alami sekarang, ia tidak bermaksud agar kita berhenti menggunakan jam. Ia hanya ingin agar jam tidak memperbudak kita. Ia ingin agar kita kembali menjadi tuan atas mesin yang kita ciptakan.
* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)