SAWALA DARI CIBIRU #29: Melampaui Monopoli Elite, Sains Berasal dari Tangan Rakyat
Clifford D. Conner memaparkan sejarah sains selalu dijelaskan dalam narasi yang bersifat elitis. Fakta sejarah menunjukkan penemuan sains justru tidak dimulai dari p
Muhammad Taufik
Aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
8 Juni 2023
BandungBergerak.id - Ketika mendengar kata sains pada umumnya kita selalu merujuk pada segelintir orang yang mempunyai kapasitas kecerdasan di atas rata-rata, seperti Isaac Newton, Albert Einstein, Richard Feynman, Charles Darwin, Archimedes, ataupun tokoh-tokoh yang dianggap super genius. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah mengingat kita sering diceritakan bahwa dunia sains semacam itu memang kita pelajari dari buku pelajaran sekolah dasar. Kita mendengar saat sekolah bagaimana Galileo menggunakan teleskopnya untuk menunjukan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Kemudian bagaimana Newton meramal gravitasi dari peristiwa apel yang jatuh, atau juga bagaimana Einstein membuka misteri ruang dan waktu dengan persamaan sederhana.
Tanpa mereka (orang-orang genius) perjalanan sejarah manusia dianggap selalu terdiri dari periode ketidaktahuan dan kebingungan. Dan saat beberapa gelintir orang jenius muncul, munculah "Eureka!!"—peradaban mulai mendapat suatu pencerahan. Dalam catatan kepahlawanan sejarah sains seperti ini, kita merasa berutang ilmu pengetahuan kepada orang-orang jenius itu.
Setelah mendengar narasi sains semacam itu ada suatu pertanyaan mendesak yang mesti diajukan, yakni bagaimana dengan sisa-sisa manusia lainnya? Apakah mereka tidak mempunyai kontribusi apa pun dalam dunia sains? Apakah orang-orang biasa ini, seperti para budak, artisan, nelayan, buruh pabrik, kuli pertambangan, dan orang-orang yang dianggap bukan jenius tidak mempunyai tempat sama sekali di kehidupan sains? Dan pertanyaan yang lebih penting juga untuk diajukan di sini benarkah sains seperti itu? Di mana ia hanya dimiliki oleh para elite jenius saja?
Sejarawan asal Amerika Serikat Clifford D. Conner dalam bukunya A People's History of Science (2005) justru mengemukakan suatu hal yang bersifat sebaliknya dalam kehidupan sains. Conner menuturkan dunia sains sebenarnya hadir bukan karena milik beberapa gelintir orang, tetapi dibangun dari orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja. Conner memaparkan, sains adalah ilmu tentang kehidupan alam. Bukankah akan lebih masuk akal jika hal tersebut akan banyak ditemukan oleh mereka yang hidup paling dekat dengan alam? Semisal, para nelayan, pelaut, kuli pertambangan, artisan, dan lain sebagainya?
Conner melihat pemaparan sejarah sains selalu dijelaskan dalam narasi yang bersifat elitis. Namun, dalam penelusuran fakta sejarah yang ia temukan kebanyakan penemuan sains justru tidak dimulai dari pemikiran unik para jenius ataupun percobaan-percobaan yang terisolasi di dalam laboraturium ilmuwan. Sains bagi Conner muncul di dalam kehidupan masyarakat yang biasa kita anggap sebagai kehidupan yang bersifat menyehari. Di sinilah menurut Conner sejarah sains mesti dievaluasi ulang dan tidak lagi menempatkan segelintir orang-orang tertentu yang dianggap sebagai pemilik dunia sains.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #28: Apakah Orientasi Seksual Itu Kodrati?
SAWALA DARI CIBIRU #27: Sejarah dan Refleksi Filosofis
SAWALA DARI CIBIRU #26 : Kesehatan Mental dan Kapitalisme
Bermula dari Pekerjaan Tangan Alih-alih Otak
Dalam mengemukakan pendapatnya bahwa sains dibentuk oleh masyarakat kebanyakan, Clifford D. Conner pertama-tama mendudukan kembali apa yang dimaksud dengan sains itu sendiri. Menurut Conner pemaknaan sains yang cukup dominan dalam masyarakat sering kali dimaknai sebagai sebuah pengetahuan teoritis. Namun, Conner melihat bahwa apa yang dimaksud sains sebagai pengetahuan ilmu alam sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pengetahuan yang bersifat praktis-empiris. Sebagaimana Conner sendiri sampaikan, “Saya berpendapat bahwa dasar-dasar pengetahuan ilmiah jauh lebih berhutang pada eksperimen dan prosedur triall-error (coba-coba dan gagal) di dalam aktivitas menyehari daripada pemikiran abstrak.”
Melalui pemaknaan sains semacam itu Conner mengantisipasi anggapan bahwa perkembangan saintifik muncul dari para ilmuwan teoritis yang terisolasi di laboraturium. Di era modern sekarang ini menurut Conner definisi yang cukup dominan terhadap sains selalu dimulai dari teorits. Padahal di zaman Yunani antik dulu ketika para matematikawan menjelaskan soal definisi Euclid tentang garis lurus, di baliknya kita bisa merasakan keberadaan seorang kuli batu dengan pengukurannya.
Selain itu dunia sains yang disteorotipkan hanya berkutat pada persoalan abstrak dan terpisah dari teknologi. Di dunia modern teknologi sering kali dianggap sebagai sebuah sains terapan dan dipisahkan dengan sains yang bersifat teoritis. Hal ini bagi Conner menimbulkan sebuah interpretasi di mana perkembangan teknologi selalu muncul setelah refleksi abstrak dari para ilmuwan. Akan tetapi menurut Conner bukti-bukti sejarah justru menunjukan sains dan teknologi adalah sesuatu yang tidak terpisah. Bahkan, pada permulaannya teknologi lebih dulu muncul dan selanjutnya dilengkapi dengan penalaran saintifik. Teknologi sendiri dalam interpretasi Conner lebih memusatkan diri pada aktivitas yang bersifat praktis. Hal ini menyangkut pengubahan apa yang berada di alam menjadi sesuatu hal yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Aktivitas praktis yang menjadi pusat pengembang teknologi tersebut menurut Conner lebih banyak dibebankan pada pekerjaan tangan alih-alih otak.
Kaitan antara pengembang teknologi dan pekerjaan tangan ini didapat Conner dari penelitian Antropologi Frederick Engels dalam esai berjudul “The Part Played by Labor in the Transition from Ape to Man”(1876). Melalui esai ini, Engels sebagaimana yang dijelaskan oleh Conner menerangkan bahwa titik peradaban manusia mulanya akibat penggunaan tangan manusia untuk mengadopsi benda-benda. Dari penggunaan tangan tersebut manusia mulai beradaptasi dengan operasi-operasi yang lebih kompleks. Tentu pekerjaan tangan ini akan lebih banyak ditemukan pada aktivitas menyehari masyarakat.
Berangkat dari definisi sains yang bersifat praktis-empiris dan diawali dari pekerjaan tangan (penciptaan teknologi), menurut Conner kita tidak akan terkejut manakala menemukan bahwa banyak catatan sejarah yang menunjukan penemuan Sains bermula dari masyarakat nonilmuwan. Conner memberikan contoh tentang asal-usul hampir setiap spesies tumbuhan dan hewan yang kita makan sampai saat ini. Hal itu sebenarnya didomestifikasi melalui eksperimen dan rekayasa genetika yang dilakukan oleh orang-orang kuno yang belum melek huruf. “Kita,” kata Conner justru akan jauh lebih berutang budi kepada orang Amerindian pra-Colombus di benua Amerika daripada ahli genetika tumbuhan modern untuk pengetahuan ilmiah yang mendasari produksi pangan. Bahkan, dalam waktu yang relatif baru, diketahui sebuah catatan sejarah penanaman padi di Amerika sebenarnya dibuat oleh para budak Afrika. Hal ini karena para budak Afrika lebih mengetahui pengetahuan tentang ekologi tanaman padi sebagaimana cara hidupnya di kampung halamannya.
Demikian pula mengenai ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran pada permulaannya banyak dirintis dari pengetahuan tentang tumbuhan yang ditemukan oleh masyarakat prasejarah. Misalnya, orang-orang Amerindian menunjukkan kepada orang Eropa kemanjuran kulit pohon Kina dalam mengobati Malaria. Kemudian, hingga abad ke-19, kemajuan ilmu kedokteran lebih disebabkan oleh ahli bedah pangkas rambut. Hal ini mulanya tukang cukur mempunyai kemampuan untuk menggunakan pisau cukur secara terkoordinasi dan karena hal itu ia diperlukan untuk tugas membedah (operasi). Dalam bidang kedokteraan sebelum masa modern tukang cukur sering dipanggil tidak hanya untuk memotong rambut, tetapi juga mengamputasi anggota tubuh.
Selanjutnya geografi dan kartografi di Amerika dan Samudra Pasifik mulanya didasarkan pada pengetahuan penduduk asli yang sering didiskreditkan sebagai primitif atau “orang-orang liar”. Sementara itu para pelaut dan nelayan anonim merupakan sumber asli data ilmiah mengenai pasang surut dan arus laut. Kemudian, kimia, metalurgi, dan ilmu material pada umumnya berasal dari pengetahuan yang dihasilkan oleh penambang kuno, pandai besi, dan pembuat tembikar.
Di lain hal, matematika berutang keberadaannya kepada para surveyor, pedagang, dan juru tulis-akutansi selama ribuan tahun. Dan akhirnya, metode empiris yang mencirikan revolusi ilmiah abad ke-16 dan 17, serta kumpulan data ilmiah yang menjadi dasar pembuatannya muncul dari bengkel pengrajin Eropa. Bahkan menurut Conner, penemuan ilmiah dalam bidang fisika yang sering dianggap teoritis dan abstrak, pada dasarnya bermula dari pekerjaan praktis. Dalam hal ini Conner menunjuk para artisan. Di tahun 1903 (permulaan diskursus teori relativitas dan kuantum), sebenarnya dirintis bukan oleh para fisikawan teoritis, tetapi oleh dua mekanik sepeda bernama Wright yang memberikan dorongan kritis pada ilmu aeordinamika.
Melalui catatan sejarah sains yang ditunjukan oleh Conner kita bisa melihat bahwa kemajuan ilmiah tidak terutama didorong oleh para pemikir super genius yang terisolasi. Tetapi, dunia sains adalah sesuatu hal yang bersifat kolektif dan berada di sekitar kehidupan masyarakat. Ia (sains) dibangun oleh kebanyakan orang yang jarang (bahkan tidak sama sekali) disebut dalam catatan-catatan sejarah sains. Namun sayangnya, narasi sejarah sains yang bersifat kolektif dan dilakukan oleh orang biasa ini tidak banyak diungkapkan oleh para sejarawan. Hal ini menjadi suatu penulisan sejarah sains yang tidak berimbang dan lebih banyak berkutat pada narasi romantis tradisional figur Newton, Darwin, dan Einstein yang mengubah dunia dengan kekuatan otak mereka yang unik.
Penulisan sejarah semacam itu dalam anggapan Conner memang lebih bersifat politis ketimbang ilmiah. Salah satunya adalah dominasi kekuasaan dan struktur hierarkis dalam masyarakat yang mempengaruhi siapa berhak untuk menjadi ilmuwan. Di masa lampau, ilmu pengetahuan sering kali dimonopoli oleh kelas elite, seperti kaum bangsawan, aristokrat, dan kalangan terpelajar yang memiliki kekayaan dan waktu luang untuk mengeksplorasi pengetahuan. Kelas-kelas yang telah disebutkan tersebut mempunyai suatu kekuasaan politis dibandingkan kelas-kelas yang lainnya. Oleh karenanya ilmu pengetahuan menjadi monopoli kekuasaan mereka.
Faktor yang krusial dari corak hierarki masyarakat dan monopoli ilmu pengetahuan tersebut adalah pembedaan antara pekerjaan tangan dan otak. Pekerjaan tangan bagi para bangsawan, aristokrat, dan kalangan terpelajar dipandang sebagai pekerjaan yang rendah dan hanya boleh dilakukan oleh para budak serta pekerja kasar lainnya. Sementara pekerjaan otak dianggap lebih mulia dan lebih cocok dilakukan oleh kelas elite. Pembagian kerja tangan dan otak inilah yang membuat kelas-kelas elite memiliki kekuasaan dan otoritas yang berefek pada penciptaan struktur sosial yang menguntungkan kelas mereka sendiri.
Itulah sebabnya bagi Conner narasi sejarah Sains pun tidak lepas dari bias suatu kekuasaan di dalam masyarakat. Akibatnya, sains akan selalu ditafsirkan milik orang-orang tertentu dan segelintir orang. Narasi sejarah seperti ini membuat peran para pekerja kasar, seperti kuli pertambangan, buruh pabrik, petani, dan pekerja manual lainnya diabaikan dan hanya sekadar menjadi latar belakang dalam kemajuan saintifik. Kelas-kelas elite tidak akan pernah mengakui bahwa sejarah sains dibangun selalu bersifat kolektif dan justru lebih banyak dilakukan oleh para pekerja manual. Alasannya, ketika kelas elite mengakui hal tersebut, maka hal itu akan membahayakan prestis status politis mereka di dalam kehidupan sosial.