SAWALA DARI CIBIRU #30: Jalan Menuju Rasionalisasi Agama
Semua agama bersifat transenden. Namun, esensi di luar transendental itu sebetulnya dapat diterima oleh akal manusia, terutama oleh para penganutnya.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
23 Juni 2023
BandungBergerak.id – Di sela-sela mengampu perkuliahan ilmu kalam, seorang mahasiswa bertanya ihwal corak pemikiran rasional Muktazilah. Pertanyaan tersebut berujung pada diskursus agama dengan memunculkan beberapa persoalan kritis. “Memangnya Islam tidak rasional, ya, Pak?” tanya mahasiswa tersebut. Sesaat kemudian saya jawab pertanyaan itu dengan berbagai analogi dalam praktik keseharian umat Muslim. Termasuk persoalan hablu min annaas (hubungan sesama manusia) di tengah kekisruhan yang terus-menerus mencuat. Ada banyak contoh yang saya sampaikan dalam pembahasan itu. Tetapi saya lebih menyoroti aspek ilahiahnya untuk membuktikan bahwa agama mempunyai sisi rasionalitasnya tersendiri.
Dalam sesi itu, saya juga menganggap jika pertanyaan tersebut bukan sebatas ungkapan untuk meminta penjelasan soal Islam, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa agama masih dipandang sebagai suatu hal yang betul-betul transenden. Bagi saya sendiri, semua agama bersifat transenden. Namun, esensi di luar transendental itu, sebetulnya, dapat diterima oleh akal manusia, terutama oleh para penganutnya.
Dalam konteks Islam, umpamanya, Allah mewajibkan umat Muslim untuk melakukan ritual salat lima kali dalam sehari. Ritual tersebut memperlihatkan gerakan-gerakan yang bagi sebagian orang terkadang dianggap tidak masuk akal. Seperti memulai takbir sambil mengangkat kedua tangan, kemudian diakhiri dengan mengucapkan dua kali bacaan salam seraya menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Kerap kali muncul pertanyaan, apa makna dari semua gerakan itu? Lalu, mengapa salat mesti dihadapkan pada arah Kakbah? Untuk menjelaskan jawaban ini memang diperlukan dasar-dasar ilmu keislaman yang kuat. Akan tetapi di samping itu kita juga perlu merasakan kekhusyukan dalam beribadah dan menghayati bacaannya agar menghasilkan kenyamanan dalam diri. Dari kenyamanan inilah semua yang transenden lazimnya akan mudah diterima oleh rasio. Karena praktik salat sudah tidak lagi sekadar perintah yang harus ditunaikan oleh para penganutnya dengan proses permenungan menggunakan akal. Permenungan tersebut boleh jadi merupakan cara seseorang merasionalkan segala sesuatu dalam beragama, kendatipun berada di luar nalar manusia.
Baca Juga: SAWALA DARI CIBIRU #27: Sejarah dan Refleksi Filosofis
SAWALA DARI CIBIRU #28: Apakah Orientasi Seksual Itu Kodrati?
SAWALA DARI CIBIRU #29: Melampaui Monopoli Elite, Sains Berasal dari Tangan Rakyat
Aliran Muktazilah
Pada pertemuan kali itu, kami memang sedang membahas seluk-beluk dan karakteristik aliran Muktazilah. Selama pembahasan itu berlangsung berbagai pertanyaan terus mencuat dan mengarah pada stigma negatif terhadap Muktazilah. Wajar saja, karena pada konteks ini kaum Muktazilah dianggap terlalu berlebihan dalam mengorek sifat-sifat Allah.
Muktazilah sendiri merupakan kelompok dalam Islam yang pertama kali menggagas paham rasional. Pada abad kedua Hijriah, seorang tokoh bernama Wasil ibn Atha keluar dari suatu majelis yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Hal ini bermula ketika seseorang bertanya tentang orang yang yang melakukan dosa besar, lalu Wasil ibn Atha menjawabnya dengan mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak juga seorang yang beriman namun berada pada posisi di antara keduanya. Sesaat setelah memberikan pendapat itu Wasil kemudian berdiri dan meninggalkan Hasan al Basri menuju tempat lain di sekitar masjid tempat majelis tersebut berlangsung. Di situ Wasil mengulangi pendapatnya, hingga Hasan al Basri menyatakan bahwa Wasil telah meninggalkan majelisnya (i’tazala ‘anna). Dari sinilah, konon, nama Muktazilah muncul (Al-Syahratasni dalam Nasution, 1986: 38).
Pandangan Wasil ibn Atha mengenai dosa besar itu merupakan salah satu bukti pemahaman rasional kaum Muktazilah. Beberapa pemikiran lain mengenai sifat-sifat Allah juga ditunjukkan Muktazilah sebagai bagian corak pandang rasionalismenya. Menurut Harun Nasution, aliran Muktazilah memiliki lima dasar ajaran utama atau al-Usul al-Khamsah. Kelima dasar itu yakni at-Tauhid, al-Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah bayna Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar. Dari semua ajaran ini, asas yang paling penting bagi aliran Muktazilah adalah at-Tauhid atau keesaan Tuhan. Menurut ajaran Muktazilah, Allah akan benar-benar esa jika Allah merupakan zat yang unik. Dengan kata lain, tidak ada yang dapat menyerupai Allah karena Dia Mahaesa. Berangkat dari sini Muktazilah kemudian menolak pandangan antropormofisme, yaitu paham yang menggambarkan kemiripan Tuhan dengan makhluk-Nya (Nasution, 1986: 52).
Selain pandangan itu, Muktazilah juga meyakini bahwa Tuhan tidak dapat dilihat oleh kasat mata. Bahkan mereka berpandangan jika satu-satunya sifat Allah yang tidak melekat pada makhluk-Nya ialah qadim. Qadim sendiri dapat diartikan dengan makna tidak mempunyai permulaan dan hanya Allah-lah satu-satunya yang memiliki. Dengan pandangan tersebut muncullah dorongan untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang mengandung wujud sendiri di luar zat-Nya meskipun Muktazilah tidak menghilangkan sifat-sifat Allah yang melekat dalam diri-Nya. Seperti Mahatahu, Mahakuasa, Mahahidup, Mahamelihat dan Mahasegalanya (Nasution, 1986: 52).
Terlepas dari metode berpikir Muktazilah yang dipandang keliru, saya sendiri menganggap bahwa hal itu hanyalah sebagai proses menuju rasionalisasi agama. Islam sendiri lahir dari aspek transendensi yang kuat, sehingga akan sulit diterima oleh orang-orang yang sekadar melihatnya dari satu sisi.
Pada konteks Muktazilah akal memang menjadi dasar utama dalam menentukan keyakinan. Akan tetapi mereka sebetulnya tidak berpaling terhadap keesaan Tuhan karena akal hanyalah instrumen. Bahkan pada praktik sehari-hari kita sekarang ini penggunaan akal justru sangat berfungsi dalam mengenal Tuhan. Apa yang harus dijawab dari sebuah pertanyaan terkait keberadaan Tuhan? Misalnya, “Allah itu ada di mana?” Jika akal tidak diberi ruang dalam memahami agama tentu saja kita akan kesulitan saat dibenturkan dengan pertanyaan sejenis itu. Oleh karena itu pada wilayah inilah akal berfungsi untuk menangkis serangan keraguan yang disematkan terhadap agama dan keberadaan Tuhan. Maka ajaran rasionalisme Muktazilah tidak sepenuhnya keliru dan tidak juga sepenuhnya benar, karena itulah jalan tempuh mereka dalam memahami agama.
* Tulisan Sawala dari Cibiru merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan UKM Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)