• Narasi
  • Tentang Pasar Kosambi, Sejak Era Kolonial Sampai The Hallway Space #1

Tentang Pasar Kosambi, Sejak Era Kolonial Sampai The Hallway Space #1

Pasar Kosambi diresmikan Belanda tahun 1915. Pernah menjadi pusat perekonomian perantau bersuku Jawa hingga kini menjadi salah satu pasar besar di Bandung.

Dhika Marcendy

Penerjemah Paruh Waktu di Human Rights Watch

Jalan Kosambi di Bandung sekitar tahun 1938. (Koleksi KITLV 183283, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

10 Juli 2023


BandungBergerak.idNgomongin soal Pasar Kosambi hari ini, pasti tidak akan terlepas dari The Hallway Space, si tempat serba ada, dan kebakaran pada tahun 2019 lalu. The Hallway Space digadang-gadang sebagai pusat UMKM dan tempat nangkring anak muda Bandung. Dan dampak dari kebakaran 2019 lalu pun masih membayangi para pedagang maupun pembeli di Pasar Kosambi.

Jika dihitung dari pertama kali Pasar Kosambi diresmikan oleh pemerintah kolonial, usianya sudah jalan 107 tahun. Meskipun tak diketahui pasti kapan pertama kali Pasar Kosambi beroperasi, Kang Alex dari Komunitas Aleut berasumsi bahwa kemungkinan Pasar Kosambi sudah ada sejak akhir abad 19—ia mengutip dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, karya Haryoto Kunto. Menurutnya dulu Pasar Kosambi menjadi pusat perekonomian perantau dari suku Jawa yang tinggal di Bandung Timur karena Pasar Baru dianggap terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Selain menjadi pusat perekonomian, ada juga pusat hiburan berbahasa Jawa di Pasar Kosambi.

Seperti benda hidup, Pasar Kosambi terus berkembang dan berdinamika dengan zaman. Dari pasar yang awalnya hanya hamparan beralaskan tanah, sampai sekarang sudah tertumpuk lima lantai. Dari pusat perekonomian perantau bersuku Jawa, sampai menjadi salah satu pasar besar di Bandung. Dari dari pedagang jajanan tradisional dan sembako, sampai brand fesyen lokal dan berbagai makanan dari belahan dunia yang lain.

Pada bagian pertama, tulisan ini akan menceritakan bagaimana Pasar Kosambi diresmikan oleh pemerintah kolonial. Dan pada bagian kedua, tulisan ini akan menceritakan tentang rekam ingatan pedagang dan warga lokal tentang Pasar Kosambi.

Sebelum Anda lanjut membaca, dengan segala ketidakmampuan saya, saya tak mampu mencari satu foto pun tentang apa yang diceritakan di tulisan ini. Arsip foto yang dulunya disimpan di kantor pengelola pasar, semuanya hangus terbakar pada tahun 2019 lalu. Mohon maaf sebesar-besarnya.

Baca Juga: Pasar Kosambi: Terbakar lalu Dihantam Pandemi
Harga Bahan Pokok di Pasar Kosambi Merangkak Naik, Pedang Kecil Paling Terdampak
Pasar Kekinian The Hallway Space Menyambut Momen Hari Buku Sedunia

Pasar Kosambi di Zaman Kolonial

Pemerintahan kolonial pada Mei 1914 merencanakan pembangunan ulang Pasar Kosambi, bersama dua pasar besar lainnya; Pasar Andir dan Pasar Baru, karena Pasar Baru dirasa tak cukup untuk memajukan perekonomian Bandung dan memperbaiki “kebersihan” pasar-pasar di Bandung yang mereka anggap kumuh. Namun pembangunan yang direncanakan pada bulan Mei tersebut tertunda sampai September 1914.

Pembangunan Pasar Kosambi akhirnya selesai pada Juli 1915 dan sudah mulai beroperasi tapi belum diresmikan oleh pemerintah kolonial. Peresmian Pasar Kosambi rencananya akan dilakukan pada bulan Agustus 1915. Bangunan untuk para pedagang sudah hampir semua terisi dan ramai pengunjung. Meskipun pasar basah untuk pedagang sayur belum siap digunakan.

Peresmian yang direncanakan pada bulan Agustus 1915 ditunda karena ada permasalahan internal di pemerintahan kota dan akhirnya Pasar Kosambi diresmikan pada 7 September 1915.

Peresmian Pasar Kosambi diadakan sangat meriah. Orang Eropa, para pejabat pemerintahan, dan masyarakat lokal menghadiri acara peresmian tersebut. Bahkan masyarakat lokal sudah memadatkan lokasi peresmian, di depan bangunan baru, sebelum acara dimulai.

Sekitar jam 9 pagi acara pembukaan dimulai. Kepala dewan kota memberikan sambutan sebagai pembukaan acara. Ia membicarakan tentang latar belakang pembangunan pasar-pasar di Bandung dan manfaat dari pembangunan tersebut. Ia juga membahas soal donasi yang dewan kota berikan kepada anak yatim sebesar 375.000 Gulden. Terakhir ia memberikan ucapan terima kasih dan pujian untuk Heetjans dan para anggota dewan pasar yang sudah merencanakan dan membangun sistem pasar di Bandung.

Kata sambutan pun selesai dan botol sampanye dibuka! Dengan itu Pasar Kosambi resmi dibuka. Masyarakat pun bersorak dan bertepuk tangan. Riuh dari sorak dan tepuk tangan lalu disambung dengan musik batalion, dengan suara drum dan trompet.

Musik batalion berhenti. Keramaian pun beralih ke tempat ritual penguburan kepala sapi. Tepat di hadapan kerumunan ada sebuah pagoda berhiaskan kertas berwarna dan bunga. Di dalam pagoda tersebut ada dua kepala kerbau besar yang siap dikuburkan.

Kepala kerbau tersebut mulai dikuburkan pada lubang yang kedalamannya sekitar 1,5 meter dan penghulu pun mulai melantunkan doanya. Sementara prosesi penguburan berlangsung, bupati memberikan penjelasan tentang arti dan maksud dari acara penguburan tersebut dengan bahasa melayu.

Setelah acara penguburan selesai, bupati masih melanjutkan pidatonya. Di tengah-tengah pidato, ada seorang wanita paruh baya yang pingsan. Pidato terpaksa dihentikan sejenak. Untungnya wanita itu cepat siuman acara bisa dilanjutkan kembali.

Pukul sepuluh pagi seluruh rangkaian acara peresmian telah selesai. Tapi pesta yang sebenarnya baru akan dimulai. Orang-orang Eropa memisahkan diri dari masyarakat lokal dan masuk ke salah satu bangunan baru yang sudah didekorasi. Di dalam bangunan tersebut ada makanan-makanan Eropa yang sudah disediakan untuk para tamu dan pejabat yang hadir. Sedangkan masyarakat lokal masih ramai di sekitaran pasar untuk merayakan pesta peresmian dengan gaya mereka sendiri.

Pesta pun dirayakan seharian penuh…

Kisah Yoyoh Herlina, 83 Tahun

Yoyoh Herlina. Yoyoh adalah seorang mantan pedagang barabadan di Pasar Kosambi. Bisnis ini ia teruskan dari orang tuanya. Pasca kepergian orang tuanya ia mulai mengelola bisnis ini bersama suaminya. Ia memiliki empat kios dan dua kios sewa.

Yoyoh sebenarnya bukan orang asli Bandung. Ia dan orang tuanya berasal dari Tasikmalaya. Ia tak ingat pasti kapan ia pindah ke Bandung. Namun ia masih ingat ketika ia pindah ke Bandung, orang tuanya sudah berjualan di Pasar Kosambi. Ia dan orang tuanya tinggal di sebrang selatan Pasar Kosambi, Cipaera.

Namun sayang, di akhir milenium kiosnya terbakar dan bisnisnya hanya bisa berlanjut beberapa tahun setelah itu.

Yoyoh memang sudah tak berdagang lagi, namun ia mengalami setiap perubahan pasar dari dekade ke dekade. Ia merasakan keadaan pasar yang masih beralaskan tanah sampai Pasar Kosambi sudah dibangun sampai lima lantai.

“Kosambi mah maju, kadua lah setelah Pasar Baru,” kata Yoyoh.

Menurutnya Pasar Kosambi adalah pasar yang lengkap, serba ada, karena suplai barang setiap harinya pasti datang dari desa-desa. Dulu barang diangkut oleh impala udin.

Impala udin adalah kereta kuda khusus pembawa barang. Biasanya ia ditenagai oleh seekor kuda dan seorang kusir. Impala udin kerap digunakan oleh para suplier pasar untuk memenuhi kebutuhan pasar.

“Baheula mah, pasar teh lega pisan, seeur nu dagang. Ayeuna mah heurin.”

Yoyoh, dengan jujur, mengeluhkan bahwa ia lebih menyukai bentuk pasar sebelum di bangun seperti sekarang. Pasar Kosambi sewaktu masih pasar basah menurutnya jauh lebih luas dan kios pedagang yang lebih banyak dari sekarang. Pada pembangunan bioskop Bandung Theater pada tahun 70an, ia mengaku pasar menjadi lebih sempit. Apa lagi pasca pembangunan lima lantai pada tahun 1998.

Menurut Yoyoh, Pasar Kosambi sudah beberapa kali terbakar. Ia tak ingat pasti kapan saja Pasar Kosambi terbakar, tapi ia mengatakan “sering”. Hanya kebakaran pada akhir milenium itulah yang menghanguskan usahanya.

Ia juga mengatakan bahwa setiap Pasar Kosambi terbakar, para pedagang sementara berpindah ke Jalan Tan Yung Liong (sekarang Jalan Baranang Siang) sampai kondisi pasar kembali seperti semula.

Namun saya tak menemukan satu artikel koran pun, di internet, tentang kebakaran-kebakaran yang diceritakan oleh Yoyoh.

Di usianya yang ke 83, Yoyoh sudah agak pikun. Namun kenangannya tentang Pasar Kosambi masih samar-samar mengendap di kepalanya. Raut wajah dan tone suaranya berubah-ubah sesuai manis-pahit pengalaman yang ia ceritakan. Kenangan kejayaan kiosnya di pasar tergambar pada senyum yang menambah lipatan keriput di pipinya. Dan kisah kebangkrutannya pun tergambar dari kerutan dahi yang mempertontonkan penat kepalanya kala itu.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//