• Narasi
  • Tentang Pasar Kosambi, Sejak Era Kolonial Sampai The Hallway Space #2

Tentang Pasar Kosambi, Sejak Era Kolonial Sampai The Hallway Space #2

Pamor Pasar Kosambi meredup sejak renovasi pasar menjadi gedung enam lantai. Bergeliat kembali sejak hadirnya The Hallway Space pasca pasar terbakar.

Dhika Marcendy

Penerjemah Paruh Waktu di Human Rights Watch

Pesepeda melintas di depan gedung Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/3/2021). (Foto: Arbi Ilhamsyah/BandungBergerak.id)

12 Juli 2023


BandungBergerak.id – Pasar Kosambi diresmikan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1915, usianya sudah jalan 107 tahun. Seperti benda hidup, Pasar Kosambi terus berkembang dan berdinamika dengan zaman. Dari pasar yang awalnya hanya hamparan beralaskan tanah, sampai sekarang sudah tertumpuk lima lantai.

Dan pada bagian kedua, tulisan ini akan menceritakan tentang rekam ingatan pedagang dan warga lokal tentang Pasar Kosambi.

Baca Juga: Tentang Pasar Kosambi, Sejak Era Kolonial Sampai The Hallway Space #1
Pasar Kosambi: Terbakar lalu Dihantam Pandemi
Pasar Kekinian The Hallway Space Menyambut Momen Hari Buku Sedunia

Kisah Ahmad, 68 Tahun

“Saya dari lahir tinggal di sini. Dulu Kosambi masih pasar basah, belum tingkat kayak sekarang. Di belakang sana (Ahmad menunjuk ke arah utara pasar) bangunannya masih Belanda semua. Cuma ya sekarang udah jadi bangunan biasa” kata Ahmad, warga asli Baranangsiang.

Ahmad tinggal di sebelah utara Pasar Kosambi. Tempat yang ia tinggali sekarang, dulunya adalah daerah asrama polisi. Sekarang asrama polisi itu sudah dipindahkan ke daerah Cibiru, Bandung Timur. Menurut Ahmad asrama tersebut dipindahkan pada akhir 90an karena kompleks tersebut akan dibangun ITC.

Ia masih ingat betul bahwa dulu Pasar Kosambi masih pasar basah, semua pedagang yang masih berjualan dengan tenda kayu. Semuanya masih beralaskan tanah. Bahkan jika musim hujan datang, pasar menjadi sangat becek. “Nya baheula emang becek, tapi iyuh pisan, pokokna sajajalan Ahmad Yani, eta teh pohon hungkul,” tambahnya.

Menurut Ahmad, dulu tepat di tengah-tengah Pasar Kosambi, ada pohon kesambi. Pohon tersebut dikelilingi pedagang ikan asin dan gula aren. Karena keberadaan pohon tersebutlah pasar ini dinamai Pasar Kosambi.

“Pasar emang udah rame dari dulu, bisa dibilang pasar ini paling komplit dan murah. Ditambah lagi, dulu Rivoli masih rame. Di ujung sana (menjunjuk ke arah timur laut pasar) ada Srimurni sama toktok bal. Terus di sana (menjunjuk ke arah barat laut) ada Sriwaluyo.”

Rivoli adalah nama bioskop yang terletak di Jalan Jalan Tan Yung Liong, di seberang barat Pasar Kosambi. Bioskon Rivoli pertama didirikan pada tahun 1935 oleh kolonial belanda. Bioskop tersebut digunakan untuk pertunjukan opera dan pemutaran film-film dari luar negeri.

Sedangkan pertunjukan Srimurni dan Sriwaluyo menyajikan hiburan lokal. Pertunjukan Srimurni memainkan sandiwara dengan bahasa Sunda, mereka menampilkan wayang orang. Sriwaluyo juga sama-sama menampilkan sandiwara, namun mereka menggunakan bahasa jawa.

“Tahun 50-60’an mah masih jarang mobil dan motor. Paling bemo. Malah dulu pasar padetnya sama impala udin.”

Sama seperti Yoyoh, Ahmad pun mengakui bahwa dulu di Pasar Kosambi dipadatkan oleh impala udin. Dan, impala udin itu diparkirkan di lahan kosong samping Bioskop Rivoli.

“Pagi, siang, sore rame terus, malem juga ada yang belanja. Kalau saya dulu sore atau malem biasanya di Baranangsiang itu, jajan gorengan atau baso, tinggal cari aja langganannya yang mana. Tapi emang pasar buka sampe malem, kayaknya sampe 24 jam. Orang belanja malem, belanjanya bawa cempor, leungeun teh jadi hararideung,” ungkapnya sambil tertawa.

“Kalau jajanan tradisional memang sudah ada dari dulu. Memang banyak. Tapi yang paling kasohor itu oncom milo, itu masih ada kiosnya di bawah. Apa lagi ya? Oh itu roti Cari Rasa. Itu paling top pas saya masih kecil. Cuma orang berduit yang jajan ke situ. Ya karena dulu roti itu mewah. Dulu mah dia Cuma jualan roti kadet aja, gak ada yang lain, seinget saya. Sekarang kan udah macem-macem, sampe ada roti bakar juga.”

Setelah ia puas menceritakan masa mudanya, Ahmad lanjut menceritakan tentang pembangunan Pasar Kosambi.

Ahmad kecewa dengan pembangunan Pasar Kosambi pada akhir tahun 90an. Waktu itu walikota yang menjabat adalah Ateng Wahyudi dan Ateng lah yang menyetujui pasar dibangun menjadi enam lantai. Sayangnya, apa yang direncanakan anemer dan pemkot tak berjalan lancar.

Set Plan awalnya mah pasar ini teh mau dijadiin pasar paling mewah di Asia Tenggara. Semua warga sini tau. Rencananya di atas pasar mau dibangun semacam apartemen, tapi gak jadi gara-gara pemborongnya banyak yang nipu, cenah mah.”

Pasca pembangunan tahun 1998 itu “diselesaikan”, pasar pada lantai dua sampai enam memang tak pernah berfungsi secara maksimal. Pasar selalu sepi. Hanya lantai semi basement dan lantai satu yang berfungsi. Bagi Ahmad itu adalah hal yang wajar karena pembeli akan memilih lantai bawah ketimbang harus naik ke lantai atas.

“Jadi ya gini hasilnya, pembangunan tidak beres, pasar jadi makin sepi. Gak kayak dulu. Sempet dulu di lantai tiga itu ada Ramayana, tapi gak sampe setahun, diprotes sama pedagang tradisional di bawah. Ramayana itu emang mematikan pedagang baju di bawah.”

Setelah Ramayana diprotes pedagang pasar, Ramayana pun akhirnya tutup. Dan lantai dua sampai enam lagi-lagi terlantar.

“Dampaknya apa? Lantai dua, tiga, seterusnya malah dipake sama gembel. Kalau cuma tidur sih mungkin gak masalah, tapi banyak juga yang buang air di lantai kosong. Malah waktu itu saya nangkep ada sepasang anak muda yang ‘asik main’ di sini”

Ahmad mulai berdagang ijoan di lantai dua Pasar Kosambi pada tahun 2007. Pada saat ia hendak mengisi lantai dua tersebut, ia mengaku kondisi lantai dua tersebut luar biasa kotor. Semua lantai pasar dipenuhi sampah. Sampai ia sulit berjalan. Mau tak mau ia membersihkan lantai dua tersebut karena tak mungkin ia berjualan dengan kondisi pasar yang sekotor itu.

“Tapi setelah kebakaran 2019 kemarin mendingan lah. Emang banyak kios yg tutup tapi ada Hallway. Jadi banyak anak muda. Jadi hegar pasar teh.”

Kebakaran besar yang terjadi di tahu 2019 kemarin memang menghanguskan banyak kios, bahkan ada kios yang merugi hingga ratusan juta. Kebakaran tersebut terjadi setelah pergantian pengelola pasar pada tahun 2018. Hal itu menyebabkan para pemilik kios kelabakan karena karena baru saja memperpanjang sewa.

Kios milik Ahmad juga ikut terbakar. Namun ia masih sempat menyelamatkan barang dagangannya.

“Panas. Kebul asap di dalem gedung. Lantai aja sampe goyang-goyang, mau pecah. Sepatu safety yang saya pake juga meleleh pas lari bulak-balik bawa barang.”

Setelah berhasil menyelamatkan barang dagangannya, Ahmad dan beberapa pedagang pasar lain melihat gedung pasar dilahap api. Tak banyak yang bisa diekspresikan oleh para pedagang pasar saat itu. Hanya bengong dan menangis. Cukup mudah menebak apa yang para pedagang pikirkan kala itu; “Kita rugi, kita harus apa?”

Kebakaran besar itu bukanlah satu-satunya bencana yang Ahmad dan pedagang lain alami. Kerugian yang tak mungkin terganti dalam waktu dekat, pandemi langsung menghajar pipi kiri mereka. Maka tak heran jika sekarang banyak kios di Pasar Kosambi yang kosong, tak terpakai.

“Untung gak lama setelah itu, ada Hallway. Jadi pasar gak sepi-sepi amat, jadi hegar pasar teh. Walaupun menurut saya agak aneh aja ada café-café di tengah pasar.”

Bagi Ahmad, Pasar Kosambi bukan hanya sekedar pasar. Pasar Kosambi menjadi tempat ia tumbuh dan berkembang, bahkan menjadi tempat ia mencari nafkah. Bagi Ahmad kecil, Pasar Kosambi merupakan tempat bermain yang luas. Ia biasanya bermain layangan dan berlari-larian di pasar bersama teman-teman kecilnya. Segala jenis makanan yang dijual di pasar masuk ketubuhnya, jajanan tradisional, gorengan, baso, bahkan makanan yang ibunya masak, semua bahan dasarnya berasal dari Pasar Kosambi. Hiburan seperti Bioskop Rivoli, Pertunjukan Srimurni dan Sriwaluyo, adalah hiburan sewaktu ia remaja. Dan lantai dua pasar adalah tempatnya menyambung hidup dengan berjualan ijoan.

Pameran buku Ngabuburead di The Hallway Space, Pasar Kosambi, Kota Bandung, 22 - 24 April 2022. Acara ini terkait momen Hari Buku Sedunia. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Pameran buku Ngabuburead di The Hallway Space, Pasar Kosambi, Kota Bandung, 22 - 24 April 2022. Acara ini terkait momen Hari Buku Sedunia. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Kisah Evi Ratnawulan, 44 Tahun

“Karena orang tua dagang di sana, ya jadi, gak ada yang spesial gitu. Sewajarnya anak pedagang yang lain. Tapi kan dulu orang tuaku PNS, jadi gak terlalu sering ke pasar. Ngandelin anak buahnya aja.” Kata Evi Ratnawulan, 44 tahun.

Evi adalah anak dari Yoyoh, pedagang barabadan yang sudah tak lagi berjualan di Pasar Kosambi. Evi tak banyak menceritakan pengalamannya di Pasar Kosambi karena ia memang tak menganggap itu sebagai sesuatu yang bisa ia kenang. Baginya, kehidupan di Pasar Kosambi hanya menjadi kesehariannya yang tak perlu di romantisir. Ia pun jarang menghabiskan waktunya di pasar dan lebih memilih bermain di tempat lain.

“Ya gitu aja sih, aku gak pernah disuruh ikut ngurusin jualan di pasar. Juga jarang main di pasar. Nonton di Bandung Theater aja cuma sekali waktu SMP. Nonton G30S doang.”

Menurut Evi, Bandung Theater dan billiard di Pasar Kosambi pada tahun 80an memang menjadi pusat hiburan remaja. Namun memang kondisinya tak terlalu ramai.

“Banyaknya film indo sih kalo di situ mah. Pasti beres lebaran ada film Warkop DKI. Film luar banyaknya di bioskop lain. Ada juga sih film luar, tapi setelah diputer di bioskop-bioskop hits. Jadi kasarnya filmnya udah gak laku, baru diputer di Bandung Theater”

Alasan itu lah yang membuat Evi lebih sering menonton di bioskop lain ketimbang di Bandung Theater, meskipun Bandung Theater sangat dekat dari rumahnya, cuma perlu menyeberang jalan.

Jika Bandung Theater memprioritaskan film-film lokal, kebangkrutannya pada tahun 90’an pun menjadi masuk akal. Pada tahun 90an perfilman Indonesia memang sedang loyo. Tak banyak film yang bisa diputar oleh Bandung Theater. Lambat laun bioskop menjadi sepi pengunjung dan terpaksa harus bangkrut.

Naon atuh nya nu menarik ti Kosambi? Saragam Resko! Eta top pisan, pokokna mun meuli saragam teh kudu di Resko. Aku ge gatau bedanya apa ya sama seragam lain, tapi harus di situ weh kalo mau beli seragam mah.”

Trus patung botol kecap nu gede pisan, di depan Cari Rasa. Eta ikonic sih buat aku.”

“Apa lagi ya? Udah sih cuma segitu aja kalau ngomongin Kosambi jaman aku masih sekolah mah, gak ada lagi yang menarik menurutku. Kalau sekarang ya gitu weh kayak gedung terbengkalai, ada Hallway juga tetep aja looks dari luarnya kayak bangunan teu kaurus.”

Kisah Ghilman, 25 Tahun

Tah dulu eskalator belum ditutup, sampingnya ada tangga. Urang sok sosorodotan didinya. Bari nungguan nini urang ka gudang,” kata Ghilman, anak dari Evi dan cucu dari Yoyoh.

Bagi Ghilman, ingatannya tentang Pasar Kosambi adalah tempat bermain. Ia suka berlarian di lantai semi basement, di sekitar kios neneknya. Pegangan tangga di pasar pun ia jadikan perosotan. Ia bermain sendirian di pasar sampai lelah lalu kembali ke kios neneknya untuk beristirahat dan mengerjakan PR. “Sorangan weh, siga Tom Sawyer hahahaha

Nini urang terakhir dagang teh pas urang kelas opat SD. Saprak teu dagang mah geus tara ka pasar, paling futsal, eta ge pas SMP.

Kemudian Ghilman menceritakan tentang kondisi Pasar Kosambi saat ia SMP. Ia hanya ke pasar hanya untuk bermain futsal di lantai paling atas. Kondisi lapangnya pun seadanya, hanya beralaskan semen cor dan cat penanda garis lapang. Tak ada lift atau eskalator. Ghilman dan teman-temannya harus naik tangga dari lantai dua pasar sampai atas. Dan menurutnya kondisi lantai-lantai pasar pada saat itu sangat kotor. Ia bahkan heran karena di lantai dua dan seterusnya tak ada yang berjualan, tapi banyak sampah berserakan. Menurutnya, lantai tiga dan empat dihuni oleh tunawisma. Mereka memang tak mengganggu. Itu sudah jadi pemandangan biasa di Pasar Kosambi.

Homeless (tunawisma) emang loba. Biasa wae sih teu ngaganggu da, asal punten weh. Nu marabok ge aya, eta nu serem mah ahahahaha, urang can pernah dipalak sih, ngan rada degdegan weh baheula mah, da budak keneh. Iyeu nu parah mah, punten ini mah, sok dipake ewean lantai kosong eta teh, duuuhh… tapi da geus ditutup tangga ka lantai luhur mah, paling tangga ka lapang voli.”

Ghilman membandingkan kondisi pasar saat ia kecil dan ia dewasa sekarang. Menurutnya tak ada perubahan signifikan dari segi arsitektur. Hanya tembok-tembok yang dulu kosong sekarang jadi penuh dengan grafiti dan noda hitam bekas kebakaran. Kios-kios yang dulu hampir semuanya terisi, sekarang sepi dan banyak yang tutup. Pasar yang dulu kondisinya sangat kotor, sekarang lumayan bersih. Tapi perubahan paling terasa yaitu keberadaan The Hallway Space.

Jadi beres kahuruan 2019, aya Hallway. Alus pasar jadi gaul lah, loba budak gaul narangkring didinya. Tenant-tenant na ge unik da, sagala aya. Konsep na mah siga Pasar Santa geningan. Jeung kaitung teu mahal teuing da jajananna, cocok dikantong anak muda kelas menengah mah, mereun. Tapi urang kadinya sabenerna tara jajan sih hehehe… ngilu diuk weh maca buku atau maca cerpen terjemahan di internet. Paling ge meuli es teh leci 7 rebu.

The Hallway Space pertama kali diresmikan oleh pemkot Bandung pada tanggal 1 Oktober tahun 2020. Tempat itu memang digadang-gadang sebagai ruang kreatif bagi anak muda Kota Bandung. Ada sekitar 50 tenant brand lokal dan 25 tenant kuliner. Hallway Space memang diharapkan bisa menjadi sarana industri kreatif yang dikelola oleh anak muda Bandung. Selain itu, Hallway Space sering menjadi tempat pameran seni dan gigs band lokal.

Nu ngaramekeun Hallway lain anak muda hungkul. Basa itu ge aya acara bapak-bapak BMX, festival makanan, pameran foto, gigs, loba lah pokokna. Sabenerna urang can pernah datang sih, hoream, tapi emang sok aya acara macem-macem didinya teh.

Bagi Ghilman yang tak suka keramaian dan lebih memilih membaca buku di kamar, The Hallway Space memang bukan tempat yang terlalu cocok untuknya. Tapi ia masih mengapresiasi keberadaan The Hallway Space yang membuat pasar menjadi lebih muda, tak seperti pasar yang umurnya sudah seratus tahun lebih.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//