• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ambigu Pemerintah dalam Menyikapi Praktik Khitan Perempuan

MAHASISWA BERSUARA: Ambigu Pemerintah dalam Menyikapi Praktik Khitan Perempuan

Praktik khitan perempuan tidak direkomendasikan secara medis. Sunat perempuan berdasarkan tradisi banyak dilakukan di Indonesia.

Victoria Rara

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Kegiatan ibu-ibu pada kegiatan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di halaman Masjid At Taqwa di Sukagalih, Bandung, Jawa Barat, 2 Agustus 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Juli 2023


BandungBergerak.id“Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk aturan dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah kemuliaan” (Fatwa No.9A Tahun 2008). Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, tidak dapat dipungkiri terdapat sejumlah praktek ibadah syariah di Indonesia, salah satunya yang cukup terkenal pada satu dasawarsa ini adalah sunat perempuan atau khitan perempuan.

Pelaksanaan khitan perempuan pun bermacam-macam tergantung budaya masing-masing daerah di Indonesia. Salah satu tradisi yang tidak kalah unik adalah budaya khitan perempuan ada pada masyarakat Suku Bugis, Sulawesi Selatan, yang dinamakan Makkatte.

Makkatte sendiri adalah tradisi yang diterapkan pada anak-anak dengan rentang  usia 4-7 tahun dengan dipabbajui atau memakai tujuh lapis baju bodo atau dikenal lipa sabbe dan rias wajah yang cantik. Berlapis-lapis baju bodo itu sendiri melambangkan kelahiran kembali di mana ia akan berpijak pada dunia baru kelak sudah dewasa. Selain itu, dipersiapkan juga beras ketan hitam dan putih dan kelapa yang sudah dibuka sabutnya pada sebuah nampan lebar, satu sisir pisang ambon yang melambangkan sebagai penarik rezeki, gula merah dengan harapan memeluk kehidupan yang senantiasa manis pada sebuah piring kecil, dua butir telur agar kelak memiliki keturunan serta seekor ayam jago kampung hidup.

Anak tersebut diajak untuk berwudu, dippabajui, lalu didudukkan pada bantal berlapiskan sarung, daun pisang muda, sajadah sambil mengucapkan dua kalimat syahadat saat Sanro, dukun perempuan yang sudah dipercayai oleh keluarga turun-temurun untuk mengkhitankan, melakukan penggoresan dengan pisau kecil pada klitoris anak tersebut di mana hasil kotoran tersebut akan dicampurkan dengan darah ayam jago kampung dengan jengger lebat. Setelah itu, anak perempuan tersebut diberi suapan gula merah lalu digendong oleh orang tuanya ke tempat yang tinggi. Setelah acara selesai, tamu undangan akan memberikan amplop berisi uang kepada anak tersebut.

Sunat Perempuan dari Kacamata Medis dan Internasional

Meskipun tradisi sunat perempuan sudah dilakukan secara turun temurun, namun wajib diingat bahwa praktik sunat perempuan bukanlah tindakan yang direkomendasikan secara medis, melainkan hanyalah sebuah tradisi pada etnis atau suku tertentu saja (Permenkes, 2011). Selain itu, WHO atau World Health Organization sudah menetapkan resolusi pengeliminasian FGM (Female Genital Mutilation) atau khitan perempuan sejak tahun 2008 untuk menghentikan praktik ini pada negara-negara di seluruh dunia secara holistik melalui petugas-petugas kesehatan serta pengoptimalan di bidang-bidang pendidikan, hukum, keuangan, serta bidang perempuan dan anak terutama pada negara-negara anggotanya, tak terkecuali Indonesia yang seharusnya sudah menetapkan suatu pengilegalan terhadap praktik ini sebagai anggota WHO sejak tanggal 23 Mei 1950.

Terbukti juga pada tahun 2012, UN General Assembly, di mana Indonesia sudah menjadi anggota UN atau PBB sejak 28 November 1960, mendeklarasikan International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation atau Hari Internasional Penolakan Terhadap Sunat Perempuan. Sejak tahun 2008, UNFPA atau Dana Penduduk Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai badan yang ditempatkan di bawah Majelis PBB, bekerja sama dengan UNICEF untuk membuat program internasional untuk memberlakukan eliminasi sunat perempuan.

Selain itu, Permenkes Nomor 6 tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan pada konsiderans huruf a Permenkes nomor 6 tahun 2014 mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan seputar bidang kedokteran harus terbukti secara alamiah, sementara khitan perempuan belum terbukti memiliki utilitas bagi tubuh. Namun, hingga pada saat ini, Indonesia masih belum memberlakukan suatu legalitas yang pasti untuk melawan praktik sunat perempuan ini sehingga masih menimbulkan celah bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk melakukan praktik ini atas dasar keagamaan tanpa menghiraukan komplikasi-komplikasi apa yang dapat terjadi.

Salah satu tradisi yang menjadi sorotan adalah tradisi Makkatte dari suku Bugis yang sudah dilakukan secara turun temurun. Menurut Durkheim, penentuan suatu perilaku karena adanya tekanan eksternal memiliki suatu kekuatan meskipun itu merupakan suatu tindakan yang merupakan pilihan yang bebas bagi seorang individu.

Lazimnya, anak yang sudah berumur 4-7 tahun dan sudah bisa mengatakan 2 kalimat syahadat serta sudah bisa baca tulis Al Quran dapat dikhitan dengan harapan saat dewasa, ia  menjadi anak perempuan yang bebas dari pergaulan buruk. Ini menjadi salah satu bukti bahwa pergaulan anak perempuan menjadi salah satu faktor yang mengkorelasikan kewajiban tradisi ini dengan lingkungan sosialnya.

Dengan kata lain, orang tua di masyarakat suku bugis akan mengatakan bahwa jika seorang anak tidak dikhitan, pasti anaknya akan berperilaku nakal.  Oleh karena itu, adanya suatu aspek kontrol sosial yang tebal dari tradisi khitan perempuan ini.

Dilema Masyarakat dan Ambiguitas Pemerintah

Masyarakat akhirnya menghadapi suatu dilema antara melakukan perintah keagamaan atau penyimpangan budaya yang telah dilakukan secara turun temurun. Salah satunya adalah efek yang keluarga dapat terima berupa pengucilan atau isolasi dari masyarakat setempat karena melihat bahwa mereka tidak setuju untuk mencegah anak perempuan mereka untuk tidak berperilaku “binal”.

Sampai sekarang, terdapat ambiguitas terkait posisi pemerintah terhadap praktik sunat perempuan. Pasal 2 Permenkes no. 6 tahun 2014 justru memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan atau dalam isu pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP). Permenkes ini masih belum ada tindakan lanjut yang pasti. Apakah pemerintah sebagai posisi yang menolak? Atau mungkin yang setuju terkait praktik ini?

Oleh karena itu, masih banyak ragam tradisi khitan perempuan ini yang masih tersebar di seluruh Indonesia, seperti Mandi Lemon dari Gorontalo, Oiwael dari Maluku yang memakai gata gata atau sumpit papeda untuk dimasukan ke dalam organ intim anak perempuan, dan masih banyak lagi yang seharusnya pemerintah tidak pandang sebelah mata.

Tidak adanya landasan hukum yang jelas bagi para eksekusi khitan perempuan ini mengakibatkan dukun maupun tabib tidak memiliki batasan untuk melakukan praktik ini. Melukai kesehatan organ reproduksi anak perempuan dapat berkomplikasi saat dia dewasa kelak karena mayoritas dari mereka melakukan tradisi ini atas dasar agama dan kepercayaan dari keluarga tersebut secara turun temurun.

Sayangnya, ada banyak hal yang seharusnya dihiraukan oleh setiap keluarga yang merencanakan Makkatte bagi anak perempuan mereka. Terdapat berbagai macam komplikasi yang dapat terjadi, antara lain masalah kesehatan mental anak maupun secara fisik yang berkenaan dengan organ intim anak perempuan tersebut. Hal ini tercermin ketika kedua anak perempuan dari Ibu Andi Ika Mardita (33), seorang warga masyarakat suku Bugis, melihat kedua anaknya diberikan sedikit goresan dengan pisau oleh Sanro, lalu hasil dari goresan tersebut dicampurkan dengan darah jengger ayam jago.

Luka dari goresan tersebut tidak diberikan obat apa pun. Hal ini kemudian menjadi sangat berbahaya mengingat jikalau pisau tersebut belum disterilisasi maka dapat menimbulkan masalah infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit serta dapat sekali menular ke orang lain. Terlebih lagi, anak perempuan tersebut dapat memiliki berbagai macam penyakit infeksi seperti infeksi pada alat kelamin sebagai bekas dari goresan tersebut maupun infeksi saluran kemih yang menyebabkan sulit buang air kecil, demam, pendarahan, dsb. Selain itu, komplikasi persalinan juga dapat terjadi saat anak tersebut sudah dewasa yang dapat meningkatkan risiko persalinan secara caesar, pendarahan postpartum, dsb.

Masalah kesehatan mental juga dapat diderita oleh anak perempuan setelah khitan, yaitu depresi atau gangguan kesehatan mental berupa kehilangan minat akan sekitarnya dan memiliki perasaan tidak berharga. Hal ini dapat sekali terjadi mengingat bahwa praktik sunat perempuan ini bukanlah pilihan mereka, melainkan disetujui oleh keluarganya, terutama orang tuanya. Gangguan mental iannya berupa PTSD atau gangguan stres pascatrauma, yaitu penyakit mental yang diderita seseorang setelah mereka mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa yang tidak mengenakkan sama sekali.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Bahayanya Dampak Pelecehan Seksual pada Anak
MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Anak Muda Indonesia Terkait Sampah Plastik
MAHASISWA BERSUARA: Bahaya Busa Deterjen yang Melimpah

Menunggu Sikap Tegas Pemerintah

Makkatte merupakan sebuah tradisi yang dipercaya oleh banyak generasi sebagai tradisi yang dapat menghapuskan sifat nakal anak perempuan mereka secara turun temurun berdasarkan agama dan budaya. Sayangnya, tidak hanya Makkatte, melainkan banyak sekali tradisi sunat perempuan yang menyebar di seluruh Indonesia di saat praktik sunat perempuan ini sudah ditolak secara internasional oleh berbagai macam traktat global.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menjadi anggota beberapa organisasi internasional yang sudah menolak praktik P2GP, masih belum memiliki posisi yang pasti terkait menolak atau menerima praktik ini. Padahal, sudah jelas, banyak sekali alasan yang seharusnya pemerintah sadari akibat alasan-alasan yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu tekanan sosial yang berat yang dapat mengakibatkan komplikasi secara medis maupun psikologis.

Belum lagi dengan ketidakjelasan dari pemerintah selama 9 tahun ini menjadi alasan-alasan yang jelas mengapa pemerintah seharusnya membuat dan memberlakukan undang-undang melarang khitan perempuan secara umum di Indonesia. Pemerintah dan medis sebaiknya bekerja sama untuk menghadirkan sosialisasi terkait bahayanya khitan perempuan.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//